(Adat
yang Menjadi Hukum)
Oleh:
M. Maulana Hamzah, Rahmat Budiman, dan Yudi Yudiana
Mahasiswa
Pascasarja Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (MB-IPB),
Magister
Manajemen Syariah, Angkatan EK18
A. Pendahuluan
A.1. Pengertian
Al-‘Aadah Muhakkamah
Secara bahasa, al-‘aadah
diambil dari kata al-‘awud (العود) atau al-mu’awadah المعودة
) yang artinya berulang-ulang (التكرار)[1]. Adapun definisi al-‘aadah menurut Ibnu Nuzhaim adalah:
عبا
رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة
“Sesuatu ungkapan dari apa
yang terpendam dalam diri perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh
tabi’at (perangai) yang sehat”[2]
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-‘aadah sebagai pengulangan sesuatu
dan kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang hingga dia melekat dan diterima
dalam benak orang-orang[3].
Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat
istilah lain dari al-‘aadah, yaitu al-‘urf, yang secara harfiyah berarti
suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[4]
العرف
هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا اوغا لبا
“’Urf adalah apa yang
dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya
sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”
A.2. Dasar-Dasar
Kaidah Al’Aadah Muhakkamah
1. Al-Quran Surat Al-Hajj [22] ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”
2. Al-Quran Surat Al-A’raaf [7] ayat 199
“Jadilah engkau pema’af dan
suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
3. Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233
“Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf”
4. Al-Hadits:
ما
رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو عنداالله سيء
“Apa yang dipandang baik
oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)[5]
A.3. Makna
Kaidah
Berdasarkan
dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al-‘Aadah dan Al-‘Urf.
Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) menggunakan dua kata ini secara
bergantian untuk menjelaskan kebiasaan.
Al-‘aadah
(adat) di definisikan suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa
hubungan rasional (Musthafa Ahmad Al-Zaqra, 1978: 838-39).
Sedangkan al-‘urf didefinisikan
sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Jadi makna kaidah al-‘aadah wa al-‘urf itu sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima
dan dianggap baik oleh masyarakat (Al Syatibi, tt: 197).
Al-‘aadah
dan al-‘urf yang menjadi salah satu
aspek penting dalam penetapan hukum Islam
itu bukan merupakan prilaku individual tetapi sudah berlaku pada kebanyakan
masyarakat di daerah tertentu. Misalnya di daerah tertentu dalam menetapkan
keperluan rumah tangga,
diambil dari mahar yang diberikan suami. Jika kebiasaan ini sudah menjadi
bagian dari cara kehidupan masyarakat tertentu maka kebiasaan seperti ini dapat
dijadikan sebagai kaidah untuk menetapkan kebolehan penggunaan mahar yang
seharusnya milik istri.
A.4. Perbedaan antara al-’Aadah dengan al-’Urf
Proses
pembentukan ‘aadah
adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan
ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia
sudah bisa memasuki wilayah muta’araf,
‘aadah
berubah menjadi ‘urf (haqiqat
al-‘urfiyyah), sehingga ‘aadah
merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang, lalu
tertanam di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Oleh
sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa ‘aadah
dan ‘urf dilihat dari sisi
terminologisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah
‘aadah
dan ‘urf
tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang
berbeda.
Sekalipun
demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana ’urf
dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang (kelompok) dan
muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya.
Dari pengertian inilah, baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi
persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti itu masuk dalam ketegori ‘urf. Sedangkan ‘aadah
didefinisikan sebagai
tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu
maupun kolektif.[6]
Dari
pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah ‘aadah
dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek
yang berbeda, yaitu:
1. ‘Urf
hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan
oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya.
2. ‘Aadah
hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan pribadi atau kelompok,
serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.
Sedangkan
persamaannya, ‘urf dan ‘aadah
merupakan sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal
dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya.
Maka,
dapat disimpulkan bahwa istilah al-‘aadah
(adat)
dan al-’urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’urf
hanya melihat pelakunya. Di samping itu,
adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’urf
harus dijalani oleh komunitas tertentu. Dari kata terakhir itulah, kata
al-ma’ruf yang sering disebut dalam Al-Quran.
Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf
ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).[7]
A.5. Penggunaan Kata ‘Aadah dalam Mu’amalah
Fokus
Pembahasan makalah ini adalah tentang al’aadah muhakkamah, dan yang
menjadi pertanyaannya adalah kenapa memakai istilah ‘aadah dan bukan ‘urf? Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut mari kita sedikit mengenal tentang konsep muamalah. Mu’amalah bermaksud urusan yang melibatkan harta atau keuangan (المالية) di antara dua
orang atau lebih seperti al-Salam, al-Rahn dan sebagainya . Ada dalam kalangan
penulis yang menerjemahkannya sebagai “harta dan konsepnya yang didasarkan atas
hukum Islam” .
Dalam bidang muamalah, al-‘aadah atau kebiasaan yang diamalkan oleh manusia boleh berubah
dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi malah dari satu tempat ke satu
tempat yang lain. Contohnya dalam bidang jual beli seperti yang disebutkan,
kebiasaan yang diamalkan oleh generasi hari ini menggunakan alat tukar dan
timbangan dalam kilogram, liter dan lain-lain yang tentu berbeda dengan
generasi dahulu.
Begitu juga kebiasaan (al-‘aadah) pada zaman dahulu manusia berjual beli dengan menyatakan
ijab dan qabul, namun kini berubah kepada bay’
al-mu’atah (bertukar tangan) saja. Di zaman modern, orang bisa membayar dengan beragam pilihan, bisa tunai, kartu kredit atau kartu
debit tetapi tidak mustahil datang suatu masa orang tidak lagi menggunakan
tunai langsung. Itulah kebiasaan (al-‘aadah) yang akan berubah-ubah mengikut
keadaan suatu generasi.
Tetapi ‘urf atau adat resmi sesuatu bangsa itu diwarisi turun temurun dan
mustahil akan berubah. Pepatah melayu bilang “biar mati anak asal jangan mati adat” jelas menggambarkan pegangan mereka
kepada adat adalah amat kuat.
Oleh sebab itulah, mengapa para
ulama cenderung menggunakan kaidah al-‘aadah muhakkamah
dari pada al-‘urf muhakkam. Karena sifatnya yang lebih fleksibel, mampu berubah sesuai
dengan perkembangan zaman.
B. Pembahasan
B.1. Macam-macam
Adat
Dalam
kajian ushul fiqih, adat sebagai sasaran kajian, dipilah menjadi tiga, yaitu:
1. Adat
dilihat dari sisi bentuk material
2. Adat
dilihat dari segi cakupannya
3. Adat
dilihat dari segi keabsahannya sebagai dalil untuk dijadikan sebagai salah satu
sumber hukum islam.
B.1.1. Kajian
adat dilihat dari segi bentuk material
Dilihat
dari aspek ini, adat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu i) adat dalam bentuk
ungkapan (qauli) atau lafadh dan ii) adat dalam bentuk
praktik (‘amali) (Abdul Wahab
Khallaf, 1970:145). Adat pertama (qauli)
merupakan kebiasaan
masyarakat dalam menggunakan ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu sehingga makna
ungkapan itulah
yang dipahami masyarakat. Menurut Ibn Al-Thayyib al-Mu‘tazily, banyak sekali
lafadh di dalam Al-Quran yang harus dipahami berdasarkan adat waktu itu.
Sedangkan
yang dimaksud dengan adat
dalam bentuk praktik (‘amali) adalah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksudkan dengan perbuatan biasa
di sini adalah
perbuatan masyarakat dalam
masalah
kehidupan mereka yang tidak
terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat tertentu memakan
makanan khusus atau meminum minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat dalam
memakai pakaian tertentu dalam cara tertentu.
Adapun
adat yang berkaitan dengan mu‘amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan akad atau transaksi atau lainnya dengan cara tertentu. Misalnya,
kebiasaan masyarakat dalam berjual beli yang kemudian barang yang dibeli diantarkan
ke rumah pembeli
oleh penjualnya bila barangnya itu berat dan besar. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat
dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan membayar uang tanpa
adanya akad secara jelas, seperti di pasar swalayan (Al-Zarqa’, 1978:
857-872 dan Al-Suyuti, tt: 99-123).
B.1.2. Kajian
adat dari segi cakupan
Dari
segi cakupannya, adat terbagi menjadi dua, yaitu
adat
yang bersifat umum (‘am) dan adat yang bersifat khusus (khas). Dimaksud
adat yang umum di sini adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan di seluruh
daerah
(Muh. Abu Zahrah, 1958: 217). Misalnya, dalam jual beli mobil, maka seluruh
alat yang diperlukan untuk
memperbaiki
mobil seperti kunci, tang,
dongkrak,
dan ban cadangan, termasuk
dalam
harga jual tanpa akad tersendiri.Adapun dimaksudkan dengan adat yang khusus adalah
kebiasaan yang berlaku
di daerah tertentu dan dalam masyarakat tertentu. Misalnya, berlaku di kalangan
para pedagang
apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dijual, maka konsumen dapat mengembalikannya,
namun pada daerah
lain cacat yang terdapat dalam
barang
yang sama, konsumen tidak dapat
mengembalikan
barang itu (Zahrah,1978: 216-217).
B.1.3. Kajian
adat dilihat dari segi keabsahannya
Dari
segi ini, adat dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu adat yang
shahih
dan adat yang fasid (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 381). Dimaksudkan dengan adat yang shahih adalah
kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat yang
tidak
bertentangan dengan nash, tidak
menghilangkan
kemaslahatan dan tidak pula
membawa kemudaratan (Zahrah.,1978: 217). Misalnya, dalam masa pertunangan, pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita, tetapi hadiah itu tidak
dianggap sebagai mahar.
Adapun
adat yang fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil syara’ dan kaidah dasar dalam syara’. Misalnya, kebiasaan
manusia menghalalkan
riba. Contoh lain adalah
soal
sogok-menyogok untuk memenangkan
perkaranya,
seseorang memberi sejumlah
uang kepada hakim.
B.2. Adat
sebagai Hujjah
Memperhatikan
uraian yang dipaparkan di atas, para ushuliyyun
sepakat bahwa
adat yang tidak menyalahi dalil syara’,
baik adat yang ‘am maupun yang khas, lafzhi maupun yang qauli dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum Islam. Imam al-Qarafi, seorang mujtahid yang beraliran Maliki,
misalnya, menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan masyarakat tersebut (Abdul Aziz Dahlan, dkk, 201:
1878).
Senada
dengan al-Qarafi, Imam al-Syatibi dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, berpendapat bahwa
adat bisa diterima sebagai dalil untuk menetapkan hukum Islam. Namun, kedua
Imam tersebut memberikan
catatan, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang
dihadapi. Misalnya, seseorang yang mempergunakan jasa pemandian umum dengan
harga tertentu padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air
yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum hukum Islam tentang
suatu akad, kedua hal itu harus jelas. Tetapi karena perbuatan seperti ini
telah memasyarakat, maka seluruh ulama mazhab menganggap sah akad tersebut.
Menurut mereka, adat seperti ini termasuk adat dalam bentuk ‘amali.
Penetapan
adat sebagai hujjah oleh para ulama seperti disebutkan di atas, banyak didukung
oleh beberapa hadits yang di dalamnya mengukuhkan adat sebelumnya yang
telah berkembang di masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada
sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah SAW
juga banyak sekali yang mengakui eksistensi adat yang
telah berlaku dalam masyarakat, seperti hadits yang berkaitan dengan jual beli
salam (pesanan). Dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas dikatakan bahwa ketika
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW melihat penduduk setempat
melakukan jual beli salam. Lalu Rasulullah SAW bersabda, siapa yang melakukan
jual beli salam, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya dan tenggang
waktunya (al-Bukhari). Mencermati posisi adat dan berbagai kasus adat yang
dijumpai dalam hadits, para ushuliyyun
kemudian membuat kaidah-kaidah yang terkait dengan adat ini yang pada intinya
adat bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
B.3. Syarat
Adat sebagai Dalil
Para
ulama ushuliyyun sepakat bahwa tidak semua adat
bisa dijadikan sebagai
dalil untuk menetapkan hukum
Islam.
Suatu adat baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Islam apabila
memenuhi syarat
sebagai berikut: (Al-Zarqa’, 1978:873-881).
1. Suatu
adat, baik yang khusus
dan umum maupun yang ‘amali dan qauli, berlaku secara umum. Artinya, adat itu berlaku dalam
kebanyakan kasus yang
terjadi dalam masyarakat dan
keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut. Dengan perkataan lain,
tidak ada perbedaan pendapat dalam mengamalkannya, atau umumnya dilakukan oleh
manusia, sebagaimana dinyatakan dalam kaidah yang lain, yaitu “sesuatu dianggap tradisi, apabila sudah
berlaku atau sering kali dilakukan orang-orang”.
2. Adat
yang akan dijadikan sebagai
dalil hukum Islam adalah adat
yang
telah berjalan sejak lama di suatu
masyarakat
ketika pesoalan yang akan
ditetapkan
hukumnya itu muncul. Artinya,
adat
yang akan dijadikan sandaran hukum
itu
lebih dahulu ada sebelum kasus
yang
akan ditetapkan hukumnya. Dalam
kaitan
ini, ulama usul fikih dapat menjadikannya sebagai sandaran hukum dalam menyelesaikan kasus
hukum yang telah terjadi.
3. Adat
yang akan dijadikan sebagai
dasar penetapan hukum tidak
bertentangan
dengan yang diungkapkan secara
jelas oleh para pihak dalam masalah
yang
sedang dilakukan. Sebagai contoh,
antara
penjual dan pembeli ketika
melakukan
transaksi jual-beli telah
menyepakati
bahwa dengan kesepakatan
secara
jelas bahwa barang yang dibeli
akan dibawa sendiri oleh pembeli
ke
rumahnya. Padahal adat yang berlaku
adalah
barang yang dibeli akan diantarkan
penjualnya
ke rumah pembeli. Ini berarti
bahwa ada pertentangan antara
adat
dan yang diungkapkan secara jelas
dalam
transaksi tersebut. Bila demikian
keadaannya,
maka adat yang berlaku di
masyarakat
tidak bisa dijadikan sebagai
dasar
untuk menetapkan hukum dalam
jual
beli tersebut.
4. Suatu
adat dapat diterima sebagai
dasar hukum Islam manakala
tidak
ada nash yang mengandung hukum
dari
permasalahan yang dihadapi.
Artinya,
bila suatu permasalahan sudah
ada
nashnya, maka adat itu tidak dapat
dijadikan
sebagai dalil hukum Islam.
C.
Takhrijul Furu'
C.1. Pengertian Takhrij dan Furu’
Menurut tatabahasa (lughawi),
kata takhrij merupakan bentuk mashdar dari kata خرج – يخرج – تخريج yang berarti mengeluarkan,
mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Takhrij
sebagai mashdar dari kharraja menunjukkan bentuk fi’il
muta’addi, yang keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor eksternal, contohnya
mengeluarkan sesuatu dan memintanya keluar berarti menggalinya dan
menuntutnya keluar.[8]
Menurut Ibn Taimiyah, takhrij
adalah : وَأَمَّا
التَّخْرِيجُ : فَهُوَ نَقْلُ حُكْمِ مَسْأَلَةٍ إلَى مَا يُشْبِهُهَا ،
وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ ( memindahkan hukum suatu masalah kepada
kasus yang menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya.
Kata furu’ merupakan
bentuk jama’ dari far’un yang berasal dari kata fara’a,
farra’a dan tafarra’a yang berarti cabang atau
bercabang. Far’u atau furu’ menurut ulama ushul adalah sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya Furu’ selalu dipakai untuk
menggambarkan permasalahan sosial yang senantiasa berkembang sehingga tidak
lagi terjangkau oleh nash, dan untuk mendapatkan hukumnya mesti melalui proses
qiyas.[9]
Para fuqaha’ sejak abad IV H
telah menyusun banyak karangan yang mengembalikan aneka ragam fiqih kepada
ushul yang menjadi landasan pendapat fuqaha’, maka mentakhrij furu’ dari ushul
adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat yang mendorong fuqaha’ mengambil
hukum-hukum bersumber dari pendapat mereka. Imam al-Zanjani mengatakan :” Jelaslah
bagi anda bahwa furu’ dibangun dari ushul, dan orang yang tidak memahami cara
istimbath dan tidak mengetahui bentuk hubungan antara hukum-hukum furu dan
dalil-dalilnya yaitu ushul fiqh, maka ia tidak akan melihat keluasan lapangan
kajian ini, dan tidak memungkinkannya mendapatkan furu’ dari asal kapanpun,
sebab masalah-masalah furu’ itu berdasarkan keluasan dan kelapangannya dan
setelah sampainya ia kepada ushul yang diketahui, siapa yang tidak mengetahui
ushul dan kasus-kasus (audho’)nya berarti ia tidak mendapatkan ilmunya.
Imam al-Asnawi menjelaskan maksud kasus-kasus (audho’) itu, katanya :
“Peneliti mengetahui sumber pendapat yang telah ditetapkan oleh pengikut mazhab
kami, yang mereka jadikan sebagai ashal, yang mereka perbagus dan mereka
perinci...”[10]
Beberapa
contoh takhrijul furu' dari kaidah al-'adah muhkkamah diantaranya adalah:
1.
Ujrah Bil Mitsl (Upah Sepantasnya)
Banyak terlihat di sekitar kita
lembaga sosila kemanusiaan baik yang menagatsnamakan agama ataupun tidak yang
memiliki banyak program pembangunan fasilitas sosial sepert pendidikan gratis,
rumah sehat gratis hingga sarana ibadah (mis. Masjid, mushalla, madrasah,
pesantren, dll) ataupun kegiatan yang bersifat sosial dan lingkungan lainnya
yang mengandalkan dana sumbangan masyarakat.
Diantara strategi penggalian
dana dilakukan dengan cara sms, broadcast, pemanfatan media sosial, menggunakan
pengaruh tokoh masayarakat ataupu agama hingga melaui iklan komersil di layar
kaca. Hal in tentunya memiliki biaya, atau modal diawal baik dari para pra
promosi, pasca promosi hinggga orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam hal
ini mbillah contoh relawan.
dalam prosesnya tentu relawan
memerlukan biaya guna memenuhi kebutuhannya. Meskipun sekedar makan, minum atau
bensin untuk perjalanan. Oleh karena itu diaturlah pembagian hasil antar
keduanya. antara relawan penggalang dana dan panitia sebagai penerima dana.
Fenomena semacam ini
diperbolehkan dalam fiqih asalkan tidak melebihi dari upah sepantasnya atau
sekedar mencukupi kebutuhannya, apabila relawan itu fakir. Lain halnya kalau
relawan adalah orang yang kaya, maka tidak boleh, sebagaimana firman Allah: Apabila
si orang itu kaya hendaknya menjaga diri (jangan mengambil) dan apabila si
orang itu fakir maka hendaknya mengambil sekedarnya secara baik.
Demikian keterangan Abu Hajar
al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj yang artinya:
isamakan dengan wali anak yatim,
seperti yang telah dikemukakan, orang yang mengumpulkan harta, misalnya untuk membebaskan
tawanan. Jika ia orang yang miskin maka ia diperbolehkan untuk makan dari harta
tersebut atau ia boleh mengambil satu di antara dua hal yang paling sedikit,
yaitu biaya nafkah atau mengambil ujrah al-mitsli (upah standar).
Menurut al-Syirwani yang
demikian itu termasuk pula orang yang mengumpulkan harta untuk membantu
menyelamatkan orang miskin yang terbelit hutang atau orang yang terzalimi yang
dirampas hartanya. Pendapat tersebut adalah pendapat yang baik dan (memang)
harus seperti itu, sebagai pendorong dan penyemangat dalam perbuatan mulia ini.
Demikian pendapat Sayyid Umar. Saya (al-Syirwani) berpendapat:“Begitu pula
orang yang mengumpulkan harta untuk membangun mesjid.” (Maksud salah satu di
antara dua hal), yaitu nafkah dan ujrah al-mitsl (upah standar).
Keputusan Muktamar NU ke-2,
Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9 Oktober 1927 M .
Dalam contoh lain: Jika seseorang
mengupah jasa orang lain tanpa menentukan dan menetapkan berapa besar upahnya,
maka dia berhak atas upah yang berlaku dipasaran.
2. Qabdh (Kepemilikan)
Qabd berarti memilki sesuatu.
Umumnya benda yang berbentuk fisik. Namun tidak ada bentuk khusus kepemilikan
yang diantur syariah. Dalam praktik perdagangan modern qabd diterpakan pada dua
hal yaitu kepemilikan aktual dan kepemilikan manfaat. Praktekperdagangan modern
(urf) telah menentukan sejumlah bentuk penguasaan kepemilikan, yang
diberlakukan sebagai status hukum.
Contoh:
1. kepemilikan aktual dari harta
bergerak adalah melalui penyerahannya secara fisik.
2. Bukti pembayaran berupa cek
merupakan satu bentuk kepemilikan manfat dengan syarat sejumlah uang yang
dibayarkan tersedia direkening orang yang mengeluarkan cek dan lembaga keuangan
telah memblok uang tersebut untuk pembayaran.
3. Ba'i Mu'athoh
Dalam islam suatu akad
disempurnakan dengan ijab kabul, meskipun demikina, dalam praktik dagang,
tindakan pihak-pihak yang terlibat juga diterima sebagai sarana untuk
menyempurnakan akad. Contoh: pak yudi
memasuki sebuah toko dimana harga barangna sudah tercantum di produk-produk
yang dijual. Lalu pak yudi membeli barang tersebut sesuai dengan harga yang
tercantum, maka sempurnalah akad denag tidakan ini atas dasar penemrimaannya
dalam tradisi dagang.
D.
Kaidah-Kaidah
Cabang Dari Al-'Aadah Muhakkamah
serta Implementasinya
Pada
dasarnya al-‘aadah muhakkamah
termasuk salah satu dari kaidah asasi yang jumlahnya 5 (lima) kaidah, atau
menurut jumhur ulama al-Syafi'i disebut al-qowa'idul
khomsah, yaitu: i) Al-umur bi
maqaashidiha; ii) Al-yaqin la yuzalu bis-syaak; iii) Al-masyaqah tajlibu
al-taisyir; iv) Al-dlararu yuzalu; dan v) Al-‘aadah muhakkamah.
Kaidah cabang
adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada kaidah asasi yang lebih
umum. Dalam makalah kali ini kita hanya akan membahas 3 akaidah cabang utama
yaitu:
1. انما
تعتبر العادة اذا اضطردت او غلبت
“Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus
terjadi atau berlaku secara umum”
Contoh : orang yang berlangganan koran
atau majalah yang selalu diantar ke rumahnya, maka ketika koran atau majalah
tersebut tidak di antar ke rumahnya, orang tersebut dapat menuntut secara
hukum.
2. المعروف
عرفا كالمشروط شرطا
“Semua yang telah
dikenal karena urf seperti yang disyaratkan karena suatu syarat”
Contoh: jika enurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung jawab atas
pemasangannya dan dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli, maka itu
merpakan tanggung jawabnnya walaupun tak ada dalam kontrak.
3. كل ما ورد به
الشرع مطاقا ولا ضابط له فيه ولا اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara
mutlak dan tidak ada pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa,
dikembalikan kepada ‘urf.
Banyak ulama figh mengartikan
‘uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari
kreatif-imajenatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya[11]
C. Kesimpulan
Dari
paparan yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan adat dalam bangunan
hukum Islam menjadi
salah satu bahan untuk menetapkan
hukum
Islam. Para Imam mazhab telah
menggunakan adat menjadi bagian
tak
terpisahkan dari hukum yang akan
ditetapkan.
Bahkan hukum dapat berubah
karena
adanya perubahan adat dalam
zaman dan tempat yang berbeda.
Penerimaan
adat sebagai bagian dari
upaya untuk menetapkan hukum
Islam
oleh para Imam Mazhab di atas
menarik
untuk dicermati. Fenomena ini
menunjukkan
bahwa para Imam Mazhab dalam
menetapkan hukum Islam selalu
berangkat dari kenyataan empiris
yang
berkembang di masyarakat. Tampaknya,
para
Imam Mazhab dalam penetapan
fatwa dimaksudkan untuk membimbing
masyarakat sehingga adat
yang
berkembang di masyarakat harus
dijadikan
sebagai bagian dari bahan
penetapan
fatwanya. Cara seperti ini
mengingatkan
pada Basam Tibi, seorang
pemiklir
Muslim kontomporer yang menjadikan
realitas umat Islam sebagaidasar pijak untuk mengentas memajukan Islam.
Para
Imam Mazhab dengan demikian
memberikan
contoh yang baik terhadap
kita bahwa fatwa hukum yang
dikeluarkan
dengan memperhatikan adat
dapat
dilaksanakan dengan baik. Posisi
adat
dalam proses penetapan fatwa yang
penting
tersebut karena adat telah dianggap
menjadi
kesadaran masyarakat, adat
telah
menjadi bagian dari denyut nadi
kehidupan
masyarakat. Bahkan, dalam
memahami
nash, baik ayat maupun hadits,
khususnya
penggunaan kata (lafadz),
wajib
untuk merujuk pada adat setempat
sehingga
dapat menemukan makna yang
benar.
Dari perlunya merujuk pada adat
ini,
sebetulnya para Imam Mazhab
tengah
mengajarkan kepada kita tentang
apa
yang disebut dengan pendekatan
historis
dalam kajian-kajian keagamaan.
Selanjutnya,
dari pembahasan tentang
posisi adat dalam penetapan
hukum
Islam di atas, dapat disimpulkan
bahwa
pemikiran hukum Islam, baik
dalam
bentuk fatwa, keputusan pengadilan,
undang-undang
yang dibuat untuk masyarakat
muslim dan hukum yang terdapat
dalam kitab-kitab fikih, sedikit
banyak
ada unsur al-‘aadah.
Dengan demikian,
pemikiran-pemikiran hukum ini
telah
menjadi turats. Oleh karena itu,diperlukan pembaruan atas turats ini kalau hendak
dipraktikkan dalam masyarakat
disebabkan tempat dan waktu
yang berbeda dengan pemikiran
hukum
Islam yang dibuat oleh para ulama
terdahulu.
Dengan kata lain, hukum Islamyang akan diterapkan untuk masyarakatdewasa ini
harus memperhatikan setting
sosial masyarakat.
Dalam
konteks Indonesia, gagasan
untuk
menjadikan setting social
dalam
produk-produk pemikiran hukum
Islam
di Indonesia telah dilakukan oleh
misalnya,
Hasbi as-Siddiqie dan Hazairin.
Kedua
tokoh ini dengan gigih memperjuangkan
apa yang mereka sebut dengan
fikih Indonesia. Menurut keduanya,
masyarakat
muslim Indonesia membutuhkan
aturan hukum yang didasarkan
pada
basis masyarakat muslim Indonesia
sendiri. Oleh karena masyarakat
muslim
Indonesia itu memiliki kompleksitas
yang berbeda dengan masyarakat
di luar Indonesia, maka adalah
suatu yang dipaksakan bila hukum
diterapkan
untuk masyarakat muslim Indonesia
itu hukum Islam yang diambilkan
dari
hukum Islam yang ditetapkan
berdasarkan
adat masyarakat lain. Apa
yang
dikemukakan oleh Hasbi dan
Hazairin
itulah yang otentik untuk Indonesia.
Wallahu
A‘lam bi al-Shawab.
Referensi
Abdul Aziz Dahlan,
dkk., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), Jilid 6.
Abdul Karim
Zaidah, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2013)
Abdul Wahab Khallaf,
Mashadir al-Tasyri‘ al-Islamy fi Ma La Nashsha Fihi (Kairo: Dar al-Qalam,
1970).
Abdul Wahab Khallaf,
Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).
Abdul Wahab Khalaf,
Kaidah-kaidah Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 135-136.
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h.
252-253
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam
Mazhab Syafi‘i (Bandung: Rosda, 2001).
Musfir bin Ali bin Muhammad
al-Qahthani, Manhaj Istimbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah
: Dar al-Andalus al-Hadhra’, 2004
Muhammad
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Adaby, 1958).
Musthafa
Ahmad al-Zarqa’, Al-Mazkhal al-Fiqhy al-‘Am (Damaskus: Dar al-Fikr, 1978),
Jilid I dan II.
Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), Jilid II.
Al-Suyuti
Al-Asybah wa al-Nadhair (Singapura: Sulaiman Mar‘i, tth.).
Wahbah
al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Kitab,1978).
Rachmat Syafe'I, Prof. Dr., MA. Ilmu Ushul Fiqh,
(Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007),
H.A. Djazuli, Prof. , Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007
Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam
(Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2002).
Mansoori, Muhammad. Kaidah kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi
Bisnis, Ulil Albab Institute.
Dikutip dari http://koirula.blogspot.com/2014/05/makalah-kaidah-adah-adat-itu-bisa.html diakses tanggal 20 oktober 2014
Dikutip dari http://ibnrajab.wordpress.com/2013/12/10/kaedah-fiqhiyyah-al-adatu-muhakkamah-dalam-muamalat-islam/ diakses tanggal 20 oktober 2014
[1] H.A. Djazuli, Prof.
, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2,
2007), hlm. 79
[2]Ibid., hlm.79-80
[3]Abdul Karim Zaidan, Dr., Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan
Sehari-hari (Pustaka Al-Kautsar, cet. Kedua, 2013), hlm. 164
[4]Rachmat Syafe'i, Prof. Dr., MA. Ilmu
Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 128.
[5] Rachmat Syafe’i, Prof. Dr., MA. Ilmu
Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 292
[6] Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum
Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah),(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.208
[7] Ibid
[8] Sumber: Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h. 252-253.
Pengertian secara bahasa ini dikutip oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu
Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul
Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, 1429 H, h. 286.
[9] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang : Dina Utama,
1994, h. 80
[10] Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, Manhaj Istimbath Ahkam
al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah : Dar al-Andalus al-Hadhra’,
2004, hal. 484-485
[11] sumber: Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT Alma’arif, 1986), cet. 5, hal.
518.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar