اليقين لا يزال بالشك
Oleh:
Graha Agung
Brahmana, Hendri Wijaya, Lazuardi Adnan
A. Pengertian
Qa’idah
Secara
bahasa atau secara etimologis lafadz يقن (الامر اوبه) : أيقن artinya
adalah meyakini, mengetahui secara yakin, perkara yang telah jelas.[1]
Sedangkan pengertiannya secara istilah atau terminologis memiliki
beberapa pendapat, diantaranya adalah pendapat Ali Haidar; “Tercapainya kemantapan
atau dugaan kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak terjadinya”.[2]
Al-yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas hakikatnya sesuatu
sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya adalah, bahwa keyakinan yang
ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang.[3]
Kemudian : ريبالشك secara
bahasa artinya adalah keragu-raguan.[4] Menurut Al-Zarkasyi adalah: Al-Syak secara bahasa adalah
keraguan yang mutlak. Sedangkan menurut terminologi ulama ushul, Al-Syak adalah
keraguan yang seimbang diantara dua kemungkinan. Jika tidak seimbang, maka yang
lebih mendominasi disebut Al-Dzan dan yang lemah disebut Al-Wahm.[5]
Dalam realitasnya, ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan
istilah-istilah ini. Mereka bahkan terkesan longgar dan tidak jarang
menempatkan Al-Dzan pada tempat
Al-Syak dan sebaliknya.[6]
Jadi, arti
menyeluruh dari kaidah اليقين
لا يزال بالشك adalah: “Sesuatu
yang eksistensinya sudah diyakini dari sebelumnya, tidak akan hilang hanya
karena disebabkan oleh baru datangnya keraguan.” Makna dari kaidah ini bahwa
begitu sesuatu perkara didasarkan atas keraguan, maka perkara itu hanya bisa
dibatalkan dengan bukti tertentu yang seimbang. Contohnya, harta waris tidak
dapat dituntut dari seseorang yang hilang, karena keyakinan awalnya ia masih
hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan ia sudah meninggal.[7]
Oleh karena itu hartanya tidak dapat dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan
keraguan ini, kecuali ada bukti yang menyatakan bahwa ia telah meninggal.
B.
Dalil-Dalil
Pembentukan Qa’idah
Kaidah ini didasari oleh dalil-dalil nash diantaranya adalah
Al-Quran surat Yunus ayat 36:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
kerjakan.”
Kemudian hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Abbad bin
Tamim dari pamannya, bahwa ada seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah,
dimana ia meragukan dan menduga-duga ada sesuatu ketika sedang shalat, maka
Rasulullah menjawab:
لا ينفتل - او لا ينصرف – حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
“Jangan
pergi (pindah), jangan membubarkan diri dari shalat sampai engkau mendengar
suara (kentut) atau mencium baunya.”
Hadist yang sama diriwayatkan juga oleh Abu
Hurairah dari Abdillah bin Zayid dengan redaksi yang berbeda yaitu:
اذا وجد احدكم فيبطنه شيئا فاشكل عليه اخرج
منه شىء ام لا ؟ فلا يخرخن من المسجد حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
“Apabila
salah seorang dari kalian mendapati sesuatu, kemudian ia ragu adakah sesuatu
(angin) yang keluar darinya atau tidak ? maka jangan keluar atau membubarkan
diri dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”
Mengomentari
hadist ini, Imam Nawawi mengatakan, “Hadist ini merupakan salah satu
legitimasi dari dasar-dasar hukum-hukum Islam dan bentuk ungkapannya menyerupai
sebuah kaidah universal. Bahwa segala sesuatu dihukumi dengan ketetapan atau
keberadaan awalnya sampai ada keyakinan yang bisa menggugurkannya. Apabila yang
datang hanyalah sebuah keraguan, bukan keyakinan, maka tidak akan bisa
menggugurkan dari keberadaan hukum awalnya.”[8]
Sementara terdapat pula hadist lainnya yang memperkuat hadist
diatas. Diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi
Said al-Hudri:
اذا شك احدكم فى صلاته, فلم يدركم صلى أثلاثا ام اربعا ؟ فليطرح الشك
وليبن علا ما استيقن
“Apabila
salah satu dari kalian mengalami keraguan dalam shalatnya, dan ia tidak tahu
sudah berapa rakaat ia shalat, apakah tiga atau empat rakaat ? maka hendaknya
ia membuang keraguan dan meneruskan shalatnya sesuai dengan apa yang ia
yakini.”
Hadist diatas diperjelas juga oleh hadist lainnya yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dari Abdurrahman bin Auf:
اذا سها احدكم فى صلاته فلم يدر واحدة صلى ام اثنين فليبن على واحدة
فان لم يتيقن صلى اثنتين ام ثلاثا فليبن على اثنتين فان لم يدر لثلاثا صلى ام
اربعا فليبن على ثلاثا وليسجد سجدتين قبل ان يسلم
“Apabila
salah seorang dari kalian lupa dalam shalatnya tidak tahu apakah sudah shalat
satu rakaat atau dua rakaat, maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari satu
rakaat. Apabila tidak yakin apakah sudah shalat dua rakaat atau tiga rakaat,
maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari dua rakaat. Apabila tidak yakin
apakah sudah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaknya ia meneruskan
shalatnya dari tiga rakaat, dan melakukan dua sujud sahwi sebelum ia salam.”
Semua hadist diatas
tidak hanya berlaku dalam persoalan-persoalan thaharah dan shalat saja,
melainkan bisa juga berlaku pada semua persoalan fiqh yang memiliki titik
persamaan dengan permasalahan yang termuat dalam hadist-hadist tersebut, yaitu
dengan cara menganalogikan (qiyas). Para ahli fiqh menyimpulkan bahwa hadist
ini mencakup berbagai permasalahan yang memiliki illat dan substansi sama
dengan apa yang dikandung dalam hadist ini.
Kaidah اليقين
لايزال بالشك yang menjadi
konklusi dari hadist-hadist diatas dalam praktiknya bisa masuk kepada seluruh
pembahasan fiqh, meliputi masalah ibadah dan muamalah.[9]
Melihat kenyataan demikian itu, Imam Suyuthi mengatakan bahwa kaidah ini
bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqh. Permasalahan-permasalahan yang dapat
diselesaikan kaidah ini kemungkinan mencapai tiga perempat permasalahan fiqh
atau lebih. Imam Al-Khattabi mengatakan: “hadist ini tidak hanya dipahami
secara teks, yaitu sahnya shalat selama tidak ada keyakinan hadast, tetapi juga
harus dipahami secara substansinya. Secara substansial, hadist ini jangkauannya
jauh lebih luas dari pada kandungan teksnya. Untuk itu yang dijadikan dasar
legitimasi adalah substansinya.”[10]
Kaidah ini adalah salah satu kaidah asasi buah hasil konsensus (ijma’)
yang telah disepakati oleh para ulama, bahwa setiap perkara yang diragukan
dianggap seperti perkara yang tidak ada yang benar-benar sudah diyakini
ketiadaannya. Ketika kaidah ini telah menjadi salah satu kaidah asasi, maka
tidak ada celah bagi para mujtahid untuk tidak menggunakannya saat melakukan
penggalian hukum-hukum syar’i terhadap urusan-urusan baru yang mungkin saja
didapati di kemudian hari. Apalagi urusan-urusan fiqh muamalat yang begitu
dinamis dan cepat berkembang mengikuti kompleksitas perkembangan kehidupan
manusia saat saling berinteraksi. Oleh karena itu, berpegangan kepada keyakinan
dan meninggalkan keraguan merupakan salah satu hukum dasar dalam syar’i.
C.
Qa’idah
Furu’
Dari kaidah pokok ini, maka kemudian lahirlah beberapa
kaidah-kaidah furu’. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1.
الاصل
فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal bagi segala sesuatu adalah boleh, sampai adanya dalil
yang mengharamkannya”
Terdapat beberapa dalil yang berkaitan dengan kaidah furu’
ini, diantaranya adalah:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 29)
Dalam
ayat diatas, terkandung kedermawanan Allah yang memberikan anugerah
sebesar-besarnya untuk manusia. Maka hal-hal yang dipaparkan Allah dimuka bumi
ini untuk keperluan hamba-hamba-Nya adalah sebagai anugerah dan mubah
dimanfaatkan oleh manusia.
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-An’am [6] : 145)
Dalam
ayat ini secara tersurat, Allah telah menjelaskan bolehnya memakan segala
makanan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, kecuali hanya hal-hal yang
dengan jelas telah Allah haramkan untuk dimakan.
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki
yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang
yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat."
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
(QS.
Al-‘Araf [7] : 32)
Ayat diatas mendeskripsikan sifat Allah yang menentang orang-orang
yang mengharamkan ciptaan-Nya yang telah diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya.
Jadi sesuatu yang dibela Allah adalah boleh digunakan.
Selain ayat-ayat Al-Quran diatas, ada juga
hadist yang menjelaskan mengenai kaidah furu’ ini. Hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abu Darda:
ما
احل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فأقبلوا من الله عافيته
فان الله لم يكن لينسى شيئا
“Sesuatu yang dihalalkan Allah, maka halal hukumnya dan sesuatu
yang diharamkan Allah, maka haram hukumnya. Sedangkan sesuatu yang tidak
disebutkan Allah, berati anugerah (ma’fu) dari-Nya, maka terimalah anugerah
Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah melupakan sesuatu pun.”
Dari hadist diatas, jelas bahwa sesuatu
yang Allah telah mendiamkannya maka hukumnya jatuh kepada halal. Bahkan
Rasulullah mengecam orang yang memliki pertanyaan yang buruk, yang berimplikasi
kepada pelarangan sesuatu, yang sebelum pertanyaan itu sesuatu itu belum
ditentukan hukumnya. Sabda beliau:
“kesalahan
paling fatal seorang manusia terhadap sesama muslim adalah orang yang memiliki
pertanyaan buruk, yang menyebabkan dilarangnya apa yang sebelumnya dibolehkan
akibat pertanyaan itu.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan
yang buruk seperti pertanyaan Bani Israil pada saat Allah perintahkan mereka
menyembelih seekor sapi. Padahal mereka hanya tinggal menyembelihnya. Tetapi
mereka mempersulit diri sendiri dengan pertanyaan yang tidak perlu sehingga
lebih sulit mencari sapi dengan syarat tertentu tersebut untuk disembelih.
Contoh dari kaidah furu’ ini banyak sekali, hampir diseluruh
keseharian kita adalah contoh dari kaidah furu’ ini misalnya seperti
makan, minum, jual beli, utang piutang, pinjam meminjam, dan lain sebagainya
2.
الاصل براءة الذمة
“Secara hukum asal seseorang itu terbebas dari segala
tanggungan”
Makna dari kaidah ini adalah bahwa tidak seorang pun
berkewajiban terhadap suatu hukuman sampai kesalahannya didasarkan oleh bukti
yang diterima hukum.[11]
“Tidak bersalah” adalah merupakan keadaan yang pasti dan “besalah” adalah
keraguan, sampai adanya bukti yang diterima hukum bahwa ia memang bersalah.
Contohnya, seseorang dianggap bebas dari kewajiban hutang dari orang lain,
sampai kewajibannya dibuktikan oleh bukti tertentu. Jadi apabila si A menuntut
bahwa si B telah meminjam uang darinya sebesar 1.000.000,- rupiah. Maka dalam
ketiadaan bukti dianggap bahwa si B tidak berhutang pada si A.
Prinsip ini berlandaskan pada hadist Rasulullah yang
meletakkan keberadaan bukti atas orang yang menuntut. Rasulullah bersabda: “Beban
bukti adalah atas orang yang menuntut, dan orang yang menyangkal harus diambil
sumpahnya.”[12]
3.
الاصل فى المعاملة الاباحة
“Hukum asal dari suatu transaksi adalah boleh”
Makna dari kaidah furu’ ini adalah segala akad
dan transaksi bisnis hukumnya adalah boleh kecuali terdapat dalil-dalil yang
melarangnya. Pada dasarnya segala bentuk transaksi bisnis berikut akad dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya diperbolehkan sampai adanya dalil
yang menyatakan keharamannya. Hal-hal yang diharamkan menurut dalil Al-Quran
dan hadist antara lain adalah riba, gharar, judi, penipuan, dan cara-cara
bathil lainnya.
4.
اليقين يزال باليقين مثله
“Apa yang yakin bisa hilang karena
adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Maksudnya
apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang
hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia
terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang
kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju
yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau
ada bukti kuat bahwa air itu najis.
5. ان ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
“Apa
yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi”
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila
seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan
teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka
bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah
atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit,
dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah
ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4
rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah
pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
6. الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum
asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”
Contoh:
Misalkan pembeli mengaku sudah membayar
harga barang kepada penjual, sedangkan penjual mengatakan belum. Maka yang
dimenangkan adalah penjual, karena menurut hukum asal uang tersebut masih
berada di pembeli sampai ada bukti yang menggugurkannya.
7. الاصل العدم
“Secara hukum asal sesuatu itu tidak ada”
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan
penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah
ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah
dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
8. الْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى
أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ
“Hukum
asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi.
Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi
ungkapannya berbeda, yaitu:
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ
رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ
“Hukum
asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya”
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu
peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat
kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi.
Contoh:
Seseorang
menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas
sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal
dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi
dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
9. الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ
الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum
asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”
Contoh:
Kita
telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing.
Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3
rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
Imam
Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah
menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu
Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun
segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh
menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
10. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ
الْحَقِيقَة
“Hukum asal dari suatu kalimat
adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan
kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang
dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang
diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya
Contoh;
Seorang
pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si
Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu
adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
11. لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي
يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan
yang jelas salahnya”
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua
hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi,
karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya
kembali, karena ada persangkaan yang salah.
12. لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
“Tidak diakui adanya waham
(kira-kira)”
Maksudnya adalah dalam suatu hal,
kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang
banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain
yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan
saja.
[1] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998) hal. 2050
[2] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah (Ciputat: Adelina
Bersaudara, 2008) hal. 47
[3] Ibid.
[4] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia. Hal. 1142
[6] Ibid.
[7]Muhammad Tahir Mansoori, Shariah Maxims on
Financial Matters, Penerjemah Hendri Tanjung dan Aini Aryani, Kaidah-Kaidah
Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis (Bogor: Ulil Albaab Institute) hal. 118
[8]
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah. Hal. 40
[9] Ibid. Hal. 42
[10] Ibid.
[11]
Muhammad Tahir Mansoori, Shariah Maxims on
Financial Matters, Penerjemah Hendri Tanjung dan Aini Aryani. Hal. 125
[12]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar