Minggu, 07 Desember 2014

Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Dengan Keraguan



اليقين لا يزال بالشك

Oleh:
Graha Agung Brahmana, Hendri Wijaya, Lazuardi Adnan

A.    Pengertian Qa’idah
Secara bahasa atau secara etimologis lafadz يقن (الامر اوبه) : أيقن artinya adalah meyakini, mengetahui secara yakin, perkara yang telah jelas.[1] Sedangkan pengertiannya secara istilah atau terminologis memiliki beberapa pendapat, diantaranya adalah pendapat Ali Haidar; “Tercapainya kemantapan atau dugaan kuat atas terjadinya sesuatu, atau atas tidak terjadinya”.[2] Al-yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas hakikatnya sesuatu sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Maksudnya adalah, bahwa keyakinan yang ada (lebih dulu) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang.[3]
            Kemudian  : ريبالشك secara bahasa artinya adalah keragu-raguan.[4] Menurut Al-Zarkasyi adalah: Al-Syak secara bahasa adalah keraguan yang mutlak. Sedangkan menurut terminologi ulama ushul, Al-Syak adalah keraguan yang seimbang diantara dua kemungkinan. Jika tidak seimbang, maka yang lebih mendominasi disebut Al-Dzan dan yang lemah disebut Al-Wahm.[5] Dalam realitasnya, ulama fiqh tidak begitu ketat memperdulikan istilah-istilah ini. Mereka bahkan terkesan longgar dan tidak jarang menempatkan Al-Dzan pada tempat Al-Syak dan sebaliknya.[6]

            Jadi, arti menyeluruh dari kaidah اليقين لا يزال بالشك adalah: “Sesuatu yang eksistensinya sudah diyakini dari sebelumnya, tidak akan hilang hanya karena disebabkan oleh baru datangnya keraguan.” Makna dari kaidah ini bahwa begitu sesuatu perkara didasarkan atas keraguan, maka perkara itu hanya bisa dibatalkan dengan bukti tertentu yang seimbang. Contohnya, harta waris tidak dapat dituntut dari seseorang yang hilang, karena keyakinan awalnya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan ia sudah meninggal.[7] Oleh karena itu hartanya tidak dapat dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan keraguan ini, kecuali ada bukti yang menyatakan bahwa ia telah meninggal.

B.     Dalil-Dalil Pembentukan Qa’idah
Kaidah ini didasari oleh dalil-dalil nash diantaranya adalah Al-Quran surat Yunus ayat 36:

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Kemudian hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ada seorang laki-laki mengadu kepada Rasulullah, dimana ia meragukan dan menduga-duga ada sesuatu ketika sedang shalat, maka Rasulullah menjawab:
لا ينفتل - او لا ينصرف – حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
“Jangan pergi (pindah), jangan membubarkan diri dari shalat sampai engkau mendengar suara (kentut) atau mencium baunya.”

Hadist yang sama diriwayatkan juga oleh Abu Hurairah dari Abdillah bin Zayid dengan redaksi yang berbeda yaitu:
اذا وجد احدكم فيبطنه شيئا فاشكل عليه اخرج منه شىء ام لا ؟ فلا يخرخن من المسجد حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
“Apabila salah seorang dari kalian mendapati sesuatu, kemudian ia ragu adakah sesuatu (angin) yang keluar darinya atau tidak ? maka jangan keluar atau membubarkan diri dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”
 
            Mengomentari hadist ini, Imam Nawawi mengatakan, “Hadist ini merupakan salah satu legitimasi dari dasar-dasar hukum-hukum Islam dan bentuk ungkapannya menyerupai sebuah kaidah universal. Bahwa segala sesuatu dihukumi dengan ketetapan atau keberadaan awalnya sampai ada keyakinan yang bisa menggugurkannya. Apabila yang datang hanyalah sebuah keraguan, bukan keyakinan, maka tidak akan bisa menggugurkan dari keberadaan hukum awalnya.”[8]
Sementara terdapat pula hadist lainnya yang memperkuat hadist diatas. Diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Said al-Hudri:
اذا شك احدكم فى صلاته, فلم يدركم صلى أثلاثا ام اربعا ؟ فليطرح الشك وليبن علا ما استيقن
“Apabila salah satu dari kalian mengalami keraguan dalam shalatnya, dan ia tidak tahu sudah berapa rakaat ia shalat, apakah tiga atau empat rakaat ? maka hendaknya ia membuang keraguan dan meneruskan shalatnya sesuai dengan apa yang ia yakini.”
 
Hadist diatas diperjelas juga oleh hadist lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abdurrahman bin Auf:
اذا سها احدكم فى صلاته فلم يدر واحدة صلى ام اثنين فليبن على واحدة فان لم يتيقن صلى اثنتين ام ثلاثا فليبن على اثنتين فان لم يدر لثلاثا صلى ام اربعا فليبن على ثلاثا وليسجد سجدتين قبل ان يسلم
“Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam shalatnya tidak tahu apakah sudah shalat satu rakaat atau dua rakaat, maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari satu rakaat. Apabila tidak yakin apakah sudah shalat dua rakaat atau tiga rakaat, maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari dua rakaat. Apabila tidak yakin apakah sudah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaknya ia meneruskan shalatnya dari tiga rakaat, dan melakukan dua sujud sahwi sebelum ia salam.”

            Semua hadist diatas tidak hanya berlaku dalam persoalan-persoalan thaharah dan shalat saja, melainkan bisa juga berlaku pada semua persoalan fiqh yang memiliki titik persamaan dengan permasalahan yang termuat dalam hadist-hadist tersebut, yaitu dengan cara menganalogikan (qiyas). Para ahli fiqh menyimpulkan bahwa hadist ini mencakup berbagai permasalahan yang memiliki illat dan substansi sama dengan apa yang dikandung dalam hadist ini.
Kaidah اليقين لايزال بالشك yang menjadi konklusi dari hadist-hadist diatas dalam praktiknya bisa masuk kepada seluruh pembahasan fiqh, meliputi masalah ibadah dan muamalah.[9] Melihat kenyataan demikian itu, Imam Suyuthi mengatakan bahwa kaidah ini bisa masuk pada seluruh bab-bab fiqh. Permasalahan-permasalahan yang dapat diselesaikan kaidah ini kemungkinan mencapai tiga perempat permasalahan fiqh atau lebih. Imam Al-Khattabi mengatakan: “hadist ini tidak hanya dipahami secara teks, yaitu sahnya shalat selama tidak ada keyakinan hadast, tetapi juga harus dipahami secara substansinya. Secara substansial, hadist ini jangkauannya jauh lebih luas dari pada kandungan teksnya. Untuk itu yang dijadikan dasar legitimasi adalah substansinya.”[10]
            Kaidah ini adalah salah satu kaidah asasi buah hasil konsensus (ijma’) yang telah disepakati oleh para ulama, bahwa setiap perkara yang diragukan dianggap seperti perkara yang tidak ada yang benar-benar sudah diyakini ketiadaannya. Ketika kaidah ini telah menjadi salah satu kaidah asasi, maka tidak ada celah bagi para mujtahid untuk tidak menggunakannya saat melakukan penggalian hukum-hukum syar’i terhadap urusan-urusan baru yang mungkin saja didapati di kemudian hari. Apalagi urusan-urusan fiqh muamalat yang begitu dinamis dan cepat berkembang mengikuti kompleksitas perkembangan kehidupan manusia saat saling berinteraksi. Oleh karena itu, berpegangan kepada keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan salah satu hukum dasar dalam syar’i.

C.    Qa’idah Furu’
Dari kaidah pokok ini, maka kemudian lahirlah beberapa kaidah-kaidah furu’. Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم  
“Hukum asal bagi segala sesuatu adalah boleh, sampai adanya dalil yang mengharamkannya
Terdapat beberapa dalil yang berkaitan dengan kaidah furu’ ini, diantaranya adalah:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 29)

Dalam ayat diatas, terkandung kedermawanan Allah yang memberikan anugerah sebesar-besarnya untuk manusia. Maka hal-hal yang dipaparkan Allah dimuka bumi ini untuk keperluan hamba-hamba-Nya adalah sebagai anugerah dan mubah dimanfaatkan oleh manusia.

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6] : 145)
Dalam ayat ini secara tersurat, Allah telah menjelaskan bolehnya memakan segala makanan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, kecuali hanya hal-hal yang dengan jelas telah Allah haramkan untuk dimakan.

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
(QS. Al-‘Araf [7] : 32)

      Ayat diatas mendeskripsikan sifat Allah yang menentang orang-orang yang mengharamkan ciptaan-Nya yang telah diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya. Jadi sesuatu yang dibela Allah adalah boleh digunakan.
      Selain ayat-ayat Al-Quran diatas, ada juga hadist yang menjelaskan mengenai kaidah furu’ ini. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abu Darda:
ما احل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فأقبلوا من الله عافيته فان الله لم يكن لينسى شيئا
“Sesuatu yang dihalalkan Allah, maka halal hukumnya dan sesuatu yang diharamkan Allah, maka haram hukumnya. Sedangkan sesuatu yang tidak disebutkan Allah, berati anugerah (ma’fu) dari-Nya, maka terimalah anugerah Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah melupakan sesuatu pun.”

      Dari hadist diatas, jelas bahwa sesuatu yang Allah telah mendiamkannya maka hukumnya jatuh kepada halal. Bahkan Rasulullah mengecam orang yang memliki pertanyaan yang buruk, yang berimplikasi kepada pelarangan sesuatu, yang sebelum pertanyaan itu sesuatu itu belum ditentukan hukumnya. Sabda beliau:
“kesalahan paling fatal seorang manusia terhadap sesama muslim adalah orang yang memiliki pertanyaan buruk, yang menyebabkan dilarangnya apa yang sebelumnya dibolehkan akibat pertanyaan itu.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan yang buruk seperti pertanyaan Bani Israil pada saat Allah perintahkan mereka menyembelih seekor sapi. Padahal mereka hanya tinggal menyembelihnya. Tetapi mereka mempersulit diri sendiri dengan pertanyaan yang tidak perlu sehingga lebih sulit mencari sapi dengan syarat tertentu tersebut untuk disembelih.
        Contoh dari kaidah furu’ ini banyak sekali, hampir diseluruh keseharian kita adalah contoh dari kaidah furu’ ini misalnya seperti makan, minum, jual beli, utang piutang, pinjam meminjam, dan lain sebagainya

2.      الاصل براءة الذمة
“Secara hukum asal seseorang itu terbebas dari segala tanggungan”
Makna dari kaidah ini adalah bahwa tidak seorang pun berkewajiban terhadap suatu hukuman sampai kesalahannya didasarkan oleh bukti yang diterima hukum.[11] “Tidak bersalah” adalah merupakan keadaan yang pasti dan “besalah” adalah keraguan, sampai adanya bukti yang diterima hukum bahwa ia memang bersalah. Contohnya, seseorang dianggap bebas dari kewajiban hutang dari orang lain, sampai kewajibannya dibuktikan oleh bukti tertentu. Jadi apabila si A menuntut bahwa si B telah meminjam uang darinya sebesar 1.000.000,- rupiah. Maka dalam ketiadaan bukti dianggap bahwa si B tidak berhutang pada si A.
Prinsip ini berlandaskan pada hadist Rasulullah yang meletakkan keberadaan bukti atas orang yang menuntut. Rasulullah bersabda: “Beban bukti adalah atas orang yang menuntut, dan orang yang menyangkal harus diambil sumpahnya.”[12]

3.      الاصل فى المعاملة الاباحة
“Hukum asal dari suatu transaksi adalah boleh”
Makna dari kaidah furu’ ini adalah segala akad dan transaksi bisnis hukumnya adalah boleh kecuali terdapat dalil-dalil yang melarangnya. Pada dasarnya segala bentuk transaksi bisnis berikut akad dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya diperbolehkan sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Hal-hal yang diharamkan menurut dalil Al-Quran dan hadist antara lain adalah riba, gharar, judi, penipuan, dan cara-cara bathil lainnya.

4.      اليقين يزال باليقين مثله
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.

5.      ان ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .

6.      الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
Contoh:
      Misalkan pembeli mengaku sudah membayar harga barang kepada penjual, sedangkan penjual mengatakan belum. Maka yang dimenangkan adalah penjual, karena menurut hukum asal uang tersebut masih berada di pembeli sampai ada bukti yang menggugurkannya.

7.      الاصل العدم
“Secara hukum asal sesuatu itu tidak ada”
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.

8.      الْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya”
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu:
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ
“Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya”
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.

9.      الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”
Contoh:
Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.

10.  الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki. Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya
Contoh;
Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.

11.  لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya”
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.

12.  لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.















[1] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998) hal. 2050
[2] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2008) hal. 47
[3] Ibid.
[4] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Hal. 1142
[5] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah. Hal. 51-52
[6] Ibid.
[7]Muhammad Tahir Mansoori, Shariah Maxims on Financial Matters, Penerjemah Hendri Tanjung dan Aini Aryani, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis (Bogor: Ulil Albaab Institute) hal. 118
[8] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah. Hal. 40
[9] Ibid. Hal. 42
[10] Ibid.
[11] Muhammad Tahir Mansoori, Shariah Maxims on Financial Matters, Penerjemah Hendri Tanjung dan Aini Aryani. Hal. 125
[12] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar