Jumat, 11 September 2015

Tanya Jawab Seputar Zakat Profesi

Oleh: Kang Maul
1. Zakat, Apakah termasuk Ibadah Mahdhoh atau Ghoiru Mahdhoh
Perkembangan zaman memunculkan banyak perbedaan pendapat dalam memahami agama, terutama dalam hal zakat. Zaman duu profesi dan keahlian tidak terlalu banyak berkembang, namun kini profesi sudah beragama dan menjadi bagian dari sumber pendapatan manusia. Dari sini mucullah apa yang dikenal dengan zakat profesi yang tidak ada dalam nash. Ia merupakan hasil qiyas ulama, sebagaian ada yang membolehkan sebagian tidak. Dan yang emnjadi pertanyaan dasar bagi umat Islam adalah: apakah zakat ini termasuk ibadah mahdhoh atau ghoiru mahdhoh?.
Mahdhoh berasal dari padanan kata ma, ha dan dho, secara bahasa menurut kamus al-ama’aniy[1] artinya adalah: . كلّ شيء خالص لا يشوبه ما يخالطه yang berarti segala sesuatu yang murni, belum tercampur apapun. Jadi secara bahasa ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni, dan ghoiru mahdhoh yang tidak murni.
1. Ibadah Mahdhoh adalah ibadah yang pelaksanaannya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa dan haji. Dalam ibadah seperti ini seorang muslim tidak boleh mengurangi atau menambah-nambah dari apa saja yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah. 
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak.”(HR Muslim).
Kaidah Ushuliyyah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya.”
2. Ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan ibadah, seperti mencari nafkah untuk menghidupi keluarga diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajiban kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan ini asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.

Yang menjadi poin penting disini adalah ibadah ghoru mahdhoh sifatnya bisa berubah-ubah, sesuai dengan kondisi dan zaman, baik syarat dan mekanismenya. Lalu bagaimana degan zakat. Asumsi awal yang bisa dilihat ia termasuk ibadah mahdhoh karena merupakan salah satu dari rukun islam, baik dari syahadat, sholat, puasa dan haji semuanya adalah ibadah mahdhoh. Namun perdebatan muncul saat melihat syarat dari zakat. Ia merupakan satu-satunya rukun islam yang tidak mensyaratkan mukallaf (orang yang dibebani zakat), syahadat, sholat, puasa dan haji mensyaratkan pelakunya untuk baligh dulu baru diwajibkan atasnya ibadaha tersebut sedangkan zakat tidak mensyaratkan hal tersebut, seorang anak kecil sudah menjadi tanggungan zakat bagi kedua orang tuanya. Hal inilah yang menjadi salah satu landasan dari dibolehkannya zakat profesi.
Lalu bagaimana kitab-kitab klasik membahasnya:

Dalam buku I’aanatutTholibin III/ 87 disebutkan:
والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار

KESIMPULAN:
Ibadah terbagi atas tiga macam :
1)      Ibadah bersifat BADANIYAH MAHDHOH (murni dilakukan oleh badan, seperti sholat, puasa dll.) maka tidak diperkenankan diwakilkan pada orang lain kecuali dua rokaat thowaf karena itba’
2)      Ibadah bersifat MALIYAH MAHDHOH (murni berbentuk harta seperti shodaqoh, zakat dll.) maka boleh diwakilkan secara muthlak
3)      Ibadah bersifat MALIYAH GHOIRU MAHDHOH (berbentuk harta yang tidak murni, masih menggunakan badan dalam realisasinya) maka boleh juga diwakilkan bila memenuhi sarat-sarat yang telah lewat.

Dari Bulughul Maroom.
Menurut riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar r.a: “Barangsiapa memanfaatkan (mengembangkan) harta, tidak wajib zakat atasnya kecuali setelah mencapai masa setahun.” Hadits mauquf.
Dari Ali bahwa Abbas bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam penyegeraan pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya. Riwayat Tirmidzi dan Hakim.
Dari Al-Amwaal Abu Ubaid
Dari Qohthon bin Fulan, ia berkata :”saya pernah melintasi kota Wasith pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, lalu mereka berkata “telah dibacakan atas kami surat AMirul Mukminin, yang isinya “janganlah kalian memnungut laba perdagangan, sebelum tiba masa haulnya”[2]
Jawaban Pertanyaan 1:
Merujuk pada beberapa penegrtian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Zakat meupakan ibadah Maaliyah Mahdhoh. Karena ia adalah praktek ibadah yang wajib, bila tidak dilaksanakan akan berdosa dengan takaran dan ukuran tertentu. Berbeda dengan ibadah ghairu mahdhoh yang sifatnya sunnah, dan caranya sangat fleksibel tergantung perubahan zaman. Pembedaan dengan ibadah badaniyyah mahdhoh seperti sholat, haji, puasa dan syahadat adalah karena zakat melebitkan instrument harta yang cara pemrolehannya, pengelolaan dan penyalurannya berbeda ditiap zaman. Ibnu Abbas mendapat rukhsoh untuk menyegerakan zakatnya, namun ibnu umar dan ali berpendapat harus sudah mencapi haul dulu. Kita tentu yaki bahwa pendapat itu lahir dari tingkat ketakwaan yang luar biasa dalam merespon perkembangan zaman yang ada. Begitupula umar bin abdul aziz dalam menyikapi haul dari laba zakat perdagangan,
Harta hakikatnya adalah titipan Allah kepada manusia untuk dikelola dan sebagai ujian. Dan setiap ujian memilki aturan yang harus dipatuhi, dan zakat adalh salah satu aturan tersebut. maka dari itu ia masuk ibadah mahdhoh, walaupun dalam  prakteknya memerlukan banyak qiyas untuk merespon perubahan zaman. Namun esensi dari ukuran haul, nishob, dan kadar zakat tetaplah sama, taka da yang berubah.
Komentar Tambahan Penulis:
Dengan segala keterbatasan ilmu dan semangat untuk belajar dan berbagi penulis mencoba mengajukan pendapat. Merujuk kepada alasan mereka yang mengatakan bahwa zakat adalah ibadah ghoiru mahdoh karena ada hubungan dengan manusia, pendapat ini tidak kuat karena zakat hakikatnya adalah penyucian diri bagi muzakki, dan zakat merupakan hak Allah yang dititipkan pada harta. Walaupun secara eksplisit ada hubungan dengan manusia, itu hanyalah indirect result sebagaimana indirect result dalam sholat yaitu menangkal dari perbuatan keji dan mungkar. atau dalam haji, dalam rangka mempersatukan umat islam dan memunculkan rasa persaudaraan diantara sesama muslim yang berbeda suku dari berbagai penjuru dunia.  Namun maksud dari ibadah itu semua adalah untuk kebutuhan orang yang melaksanakan ibadah dalam hal ibadah zakat yakni seorang muzakki, karena hartanya bersih, jiwanya suci, hak Allah terpenuhi dan menimbulkan kebahagiaan tersendiri dalam dirinya. Dalam salah satu ceramahnya yusuf Mansur pernah berkata “orang yang paling bahagia ketika bersedekah, adalah orang yang bersedekah itu sendiri, bukan penerimanya”.
Alasan tidak disyaratkannya baligh bagi mukallaf juga tidak kuat, karena hakikatnya anak adalah amanah dan rizki dari Allah, dan sudah sewajarnya setiap rizki di tunaikan zakatnya. Sebagian ulama lainnya berkata, ‘Bahwasannya wajib mengeluarkan zakat pada harta anak kecil dan orang gila,’ dan ini adalah pendapat yang benar, karena zakat adalah hak harta maka tidak melihat siapa yang memiliki harta. Berdasarkan firman Allah, “Ambillah dari harta mereka.” (Qs. At-Taubah: 103). Dalam ayat ini, Allah menjadikan letak kewajiban adalah harta. Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala beliau mengutusnya ke Yaman,
“Beritahukanlah kepada mereka, bahwasannya Allah mewajibkan zakat harta mereka yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka.”
Maka dengan ini wajib mengeluarkan zakat harta anak kecil dan orang gila dan yang membayarnya adalah wali mereka.

2. Kenapa Yusuf Qordhowi Melakukan Qiyas Zakat Profesi dengan Zakat Pertanian?
Alasan pertama: Muhammad Ghazali, dalam bukunya Islam wa al-Audza' al-Iqtishadiya. bahwa dasar penetapan wajib zakat dalam Islam hanyalah modal, bertambah, berkurang atau tetap, setelah lewat setahun, seperti zakat uang, dan perdagangan yang zakatnya seperempat puluh, atau atas dasar ukuran penghasilan tanpa melihat modalnya seperti zakat pertanian dan buah buahan yang zakatnya sepersepuluh atau seperdua puluh, maka beliau mengatakan; "Dari sini kita mengambil kesimpulan, bahwa siapa yang mempunyai pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan modal dan persyaratan- persyaratannya." Namun nishb dan kadarnya tetap mengambil qiyas denga zkat emas dan perak, karena penghasilan atau gaji rata-rata dalam bentuk uang.
Berdasarkan hal itu, seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha, pekerja, karyawan, pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat dari pendapatannya yang besar. Hal itu berdasarkan atas dalil:
1. Keumuman nash Quran: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh." (al-Baqarah: 267)
Fakta adalah bahwa para pemerintahan mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai satu nisab.
Alasan Kedua: Pengeluaran Zakat diambil dari Pendapatan dan Gaji Bersih. Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok sebagaimana telah kita tegaskan di atas. Juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengqiasannya kepada hasil bumi dan kurma serta sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya dari sisa. Itu adalah pendapat 'Atha dan lain-lain.
Wahbah al-zuhaili mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri seperti dokter, insinyur, penjahit dan lain-lain. Dan juga terkait dengan pegawai pemerintah dan swasta yang mendapatkan gaji relative tetap seperti sebulan sekali. Pendapatan atau penghasilan semacam ini dalam fiqh disebut al-maal al-mustafaad.[3]
Namun sebenarnya istilah maal mustafad sudah pernah disebutkan oleh sayyidina Ali RA.
Dari Ali RA berkata: “tidak ada kewajiban membayar zakat pada harta yang dimanfaatkan sehingga genap satu haul atasnya.[4]
Landasan al-Quran zakat Profesi adalah: at-taubah 103, al-baqoroh 267, dan adz dariyyat 19.
Menurut Prof. Didin Hafidhuddin, bahwa zakat profesi bisa dianalogikan dengan zakat pertanian dan zakat emas perak.
Dari sudut nishob dianalogikan pada zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg padi/ gandum dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[5] Analogi ini tentu akan sangat cocok bila dikaitkan dengan gaji pegawai yang setiap kali cair (dalam pertanian disebut panen) maka wajib dikenakan zakat. Dalil surat al-‘an’aam 141.
Karena Qiyasnya dengan zakat pertanian maka tidak ada haul. Menurut pak didin, ketentuan waktu menerimanya adalah pada saat menerima, misalnya setiap bulan, dapat didasarkan pada ‘urf (tradisi) yang berlaku pada suatu Negara. Karena ituu walaupun pengahsilan setiap hari berbeda seperti dokter, da’I dan lain-lain, zakatnya tetap dibayar bulanan.
Alasan analogi dengan zakat pertanian adalah karena ada syabah, jika hasil panen pada setiap musim berdiri sendiri tidak terkait dengan hasil sebelumnya, demikian pula dengan gaji dan upah yang diterima. Tidak terkait dengan bulan sebelumnya, karna bisa saja penghasilan bulan ini lebih besar dari bulan sebelumnya karena bonus atau yang lainnya. berbeda dengan perdagangan yang selalu terkait antara bulan pertama,kedua dan seterusnya samapai waktu saat tahun (tutup buku) yang tentu ada haulnya.
Dari sudut kadar zakat, dianalogikan pada uang, karena memang gaji, honor pda umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar zakatnya adalah sebesar 2,5%. Alasan menggunakan qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode syabah[6].


[1] http://www.almaany.com/ar/ diakses tanggal 11 september 2015.
[2] Abu Ubaid AlQasim, Al-Amwaal, Ensiklopedia Keuangan Pulik Islam. Gema Insani Press hal 520.
[3] Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar el-Fikr, 1997) Juz III hal 1948.
[4] Abu Ubaid AlQasim, Al-Amwaal, Ensiklopedia kEuangan Pulik Islam. Gema Insani Press hal 515.
[5] Didin hafidhuddin, zakat dalam perekonomian modern, hal 97. GIP. 2002.
[6] Amir syarifuddin, Ushul fiqh (Jakarta: al Logos 1987) Jilid 1 Hal 204. Qiyas syabah adalah mempersamakan furu’ dengan asal karena ada jamii yang menyerupainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar