Oleh: Kang Maul
1. Zakat, Apakah termasuk Ibadah Mahdhoh atau Ghoiru Mahdhoh
Perkembangan zaman memunculkan banyak perbedaan pendapat dalam
memahami agama, terutama dalam hal zakat. Zaman duu profesi dan keahlian tidak
terlalu banyak berkembang, namun kini profesi sudah beragama dan menjadi bagian
dari sumber pendapatan manusia. Dari sini mucullah apa yang dikenal dengan
zakat profesi yang tidak ada dalam nash. Ia merupakan hasil qiyas ulama,
sebagaian ada yang membolehkan sebagian tidak. Dan yang emnjadi pertanyaan dasar
bagi umat Islam adalah: apakah zakat ini termasuk ibadah mahdhoh atau ghoiru
mahdhoh?.
Mahdhoh berasal dari padanan kata ma, ha dan dho, secara bahasa
menurut kamus al-ama’aniy[1] artinya
adalah: . كلّ شيء خالص لا
يشوبه ما يخالطه yang
berarti segala sesuatu yang murni, belum tercampur apapun. Jadi secara bahasa
ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni, dan ghoiru mahdhoh yang tidak murni.
1. Ibadah Mahdhoh adalah ibadah yang pelaksanaannya telah
dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa dan haji.
Dalam ibadah seperti ini seorang muslim tidak boleh mengurangi atau
menambah-nambah dari apa saja yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan
oleh Rasulullah.
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan
tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak.”(HR Muslim).
Kaidah Ushuliyyah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada
dalil yang menuntunkannya.”
2. Ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala
jika diniatkan ibadah, seperti mencari nafkah untuk menghidupi keluarga
diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana
kewajiban kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan ini
asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
Yang menjadi poin penting disini adalah ibadah ghoru mahdhoh sifatnya
bisa berubah-ubah, sesuai dengan kondisi dan zaman, baik syarat dan
mekanismenya. Lalu bagaimana degan zakat. Asumsi awal yang bisa dilihat ia
termasuk ibadah mahdhoh karena merupakan salah satu dari rukun islam, baik dari
syahadat, sholat, puasa dan haji semuanya adalah ibadah mahdhoh. Namun
perdebatan muncul saat melihat syarat dari zakat. Ia merupakan satu-satunya
rukun islam yang tidak mensyaratkan mukallaf (orang yang dibebani
zakat), syahadat, sholat, puasa dan haji mensyaratkan pelakunya untuk baligh
dulu baru diwajibkan atasnya ibadaha tersebut sedangkan zakat tidak
mensyaratkan hal tersebut, seorang anak kecil sudah menjadi tanggungan zakat
bagi kedua orang tuanya. Hal inilah yang menjadi salah satu landasan dari
dibolehkannya zakat profesi.
Lalu bagaimana kitab-kitab klasik membahasnya:
Dalam buku I’aanatutTholibin III/ 87 disebutkan:
والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار
KESIMPULAN:
Ibadah terbagi
atas tiga macam :
1)
Ibadah bersifat BADANIYAH MAHDHOH (murni
dilakukan oleh badan, seperti sholat, puasa dll.) maka tidak diperkenankan
diwakilkan pada orang lain kecuali dua rokaat thowaf karena itba’
2)
Ibadah bersifat MALIYAH MAHDHOH (murni
berbentuk harta seperti shodaqoh, zakat dll.) maka boleh diwakilkan secara
muthlak
3)
Ibadah bersifat MALIYAH GHOIRU MAHDHOH
(berbentuk harta yang tidak murni, masih menggunakan badan dalam realisasinya)
maka boleh juga diwakilkan bila memenuhi sarat-sarat yang telah lewat.
Dari Bulughul Maroom.
Menurut riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar r.a: “Barangsiapa
memanfaatkan (mengembangkan) harta, tidak wajib zakat atasnya kecuali setelah
mencapai masa setahun.” Hadits mauquf.
Dari Ali bahwa Abbas bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam penyegeraan pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau
mengizinkannya. Riwayat Tirmidzi dan Hakim.
Dari Al-Amwaal Abu Ubaid
Dari Qohthon bin Fulan, ia berkata :”saya pernah melintasi kota
Wasith pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, lalu mereka berkata “telah
dibacakan atas kami surat AMirul Mukminin, yang isinya “janganlah kalian
memnungut laba perdagangan, sebelum tiba masa haulnya”[2]
Jawaban Pertanyaan 1:
Merujuk pada beberapa penegrtian diatas, penulis menyimpulkan bahwa
Zakat meupakan ibadah Maaliyah Mahdhoh. Karena ia adalah praktek ibadah
yang wajib, bila tidak dilaksanakan akan berdosa dengan takaran dan ukuran
tertentu. Berbeda dengan ibadah ghairu mahdhoh yang sifatnya sunnah, dan
caranya sangat fleksibel tergantung perubahan zaman. Pembedaan dengan ibadah
badaniyyah mahdhoh seperti sholat, haji, puasa dan syahadat adalah karena zakat
melebitkan instrument harta yang cara pemrolehannya, pengelolaan dan
penyalurannya berbeda ditiap zaman. Ibnu Abbas mendapat rukhsoh untuk
menyegerakan zakatnya, namun ibnu umar dan ali berpendapat harus sudah mencapi
haul dulu. Kita tentu yaki bahwa pendapat itu lahir dari tingkat ketakwaan yang
luar biasa dalam merespon perkembangan zaman yang ada. Begitupula umar bin
abdul aziz dalam menyikapi haul dari laba zakat perdagangan,
Harta hakikatnya adalah titipan Allah kepada manusia untuk dikelola
dan sebagai ujian. Dan setiap ujian memilki aturan yang harus dipatuhi, dan
zakat adalh salah satu aturan tersebut. maka dari itu ia masuk ibadah mahdhoh,
walaupun dalam prakteknya memerlukan
banyak qiyas untuk merespon perubahan zaman. Namun esensi dari ukuran haul,
nishob, dan kadar zakat tetaplah sama, taka da yang berubah.
Komentar Tambahan Penulis:
Dengan segala keterbatasan ilmu dan semangat untuk belajar dan
berbagi penulis mencoba mengajukan pendapat. Merujuk kepada alasan mereka yang
mengatakan bahwa zakat adalah ibadah ghoiru mahdoh karena ada hubungan dengan
manusia, pendapat ini tidak kuat karena zakat hakikatnya adalah penyucian diri
bagi muzakki, dan zakat merupakan hak Allah yang dititipkan pada harta.
Walaupun secara eksplisit ada hubungan dengan manusia, itu hanyalah indirect
result sebagaimana indirect result dalam sholat yaitu menangkal dari perbuatan
keji dan mungkar. atau dalam haji, dalam rangka mempersatukan umat islam dan
memunculkan rasa persaudaraan diantara sesama muslim yang berbeda suku dari
berbagai penjuru dunia. Namun maksud
dari ibadah itu semua adalah untuk kebutuhan orang yang melaksanakan ibadah
dalam hal ibadah zakat yakni seorang muzakki, karena hartanya bersih, jiwanya
suci, hak Allah terpenuhi dan menimbulkan kebahagiaan tersendiri dalam dirinya.
Dalam salah satu ceramahnya yusuf Mansur pernah berkata “orang yang paling
bahagia ketika bersedekah, adalah orang yang bersedekah itu sendiri, bukan
penerimanya”.
Alasan tidak disyaratkannya baligh bagi mukallaf juga tidak
kuat, karena hakikatnya anak adalah amanah dan rizki dari Allah, dan sudah
sewajarnya setiap rizki di tunaikan zakatnya. Sebagian ulama lainnya berkata,
‘Bahwasannya wajib mengeluarkan zakat pada harta anak kecil dan orang gila,’
dan ini adalah pendapat yang benar, karena zakat adalah hak harta maka tidak
melihat siapa yang memiliki harta. Berdasarkan firman Allah, “Ambillah dari
harta mereka.” (Qs. At-Taubah: 103). Dalam ayat ini, Allah menjadikan letak
kewajiban adalah harta. Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Mu’adz tatkala beliau mengutusnya ke Yaman,
“Beritahukanlah
kepada mereka, bahwasannya Allah mewajibkan zakat harta mereka yang diambil
dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka.”
Maka
dengan ini wajib mengeluarkan zakat harta anak kecil dan orang gila dan yang membayarnya
adalah wali mereka.
2. Kenapa Yusuf Qordhowi Melakukan Qiyas Zakat Profesi dengan Zakat
Pertanian?
Alasan pertama: Muhammad Ghazali,
dalam bukunya Islam wa al-Audza' al-Iqtishadiya. bahwa dasar penetapan wajib
zakat dalam Islam hanyalah modal, bertambah, berkurang atau tetap, setelah lewat
setahun, seperti zakat uang, dan perdagangan yang zakatnya seperempat puluh,
atau atas dasar ukuran penghasilan tanpa melihat modalnya seperti zakat
pertanian dan buah buahan yang zakatnya sepersepuluh atau seperdua puluh, maka
beliau mengatakan; "Dari sini kita mengambil kesimpulan, bahwa siapa yang
mempunyai pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib
zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut,
tanpa mempertimbangkan sama sekali keadaan modal dan persyaratan-
persyaratannya." Namun nishb dan kadarnya tetap mengambil qiyas denga zkat
emas dan perak, karena penghasilan atau gaji rata-rata dalam bentuk uang.
Berdasarkan hal itu, seorang dokter, advokat, insinyur, pengusaha,
pekerja, karyawan, pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat dari
pendapatannya yang besar. Hal itu berdasarkan atas dalil:
1.
Keumuman nash Quran: "Hai orang-orang yang beriman keluarkanlah sebagian
hasil yang kalian peroleh." (al-Baqarah: 267)
Fakta adalah bahwa para pemerintahan mengatur gaji pegawainya
berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai
yang mendesak. Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan bersih seorang pegawai
dan golongan profesi dapat diambil dari dalam setahun penuh, jika pendapatan
bersih setahun itu mencapai satu nisab.
Alasan Kedua: Pengeluaran Zakat diambil dari Pendapatan
dan Gaji Bersih. Pengambilan dari pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan supaya
hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah seseorang dan yang
menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya terendah kehidupan
seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas
jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok sebagaimana telah kita tegaskan
di atas. Juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan pekerjaan
tersebut, berdasarkan pada pengqiasannya kepada hasil bumi dan kurma serta sejenisnya,
bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya
dari sisa. Itu adalah pendapat 'Atha dan lain-lain.
Wahbah al-zuhaili mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan
yang diterima seseorang melalui usaha sendiri seperti dokter, insinyur,
penjahit dan lain-lain. Dan juga terkait dengan pegawai pemerintah dan swasta
yang mendapatkan gaji relative tetap seperti sebulan sekali. Pendapatan atau
penghasilan semacam ini dalam fiqh disebut al-maal al-mustafaad.[3]
Namun sebenarnya istilah maal mustafad sudah pernah disebutkan oleh
sayyidina Ali RA.
Dari Ali RA berkata: “tidak ada kewajiban membayar zakat pada
harta yang dimanfaatkan sehingga genap satu haul atasnya.[4]
Landasan al-Quran zakat Profesi adalah: at-taubah 103, al-baqoroh
267, dan adz dariyyat 19.
Menurut Prof. Didin Hafidhuddin, bahwa zakat profesi bisa
dianalogikan dengan zakat pertanian dan zakat emas perak.
Dari sudut nishob dianalogikan
pada zakat pertanian, yaitu sebesar lima ausaq atau senilai 653 kg padi/ gandum
dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[5]
Analogi ini tentu akan sangat cocok bila dikaitkan dengan gaji pegawai yang
setiap kali cair (dalam pertanian disebut panen) maka wajib dikenakan zakat.
Dalil surat al-‘an’aam 141.
Karena Qiyasnya dengan zakat pertanian maka tidak ada haul. Menurut
pak didin, ketentuan waktu menerimanya adalah pada saat menerima, misalnya
setiap bulan, dapat didasarkan pada ‘urf (tradisi) yang berlaku pada suatu
Negara. Karena ituu walaupun pengahsilan setiap hari berbeda seperti dokter,
da’I dan lain-lain, zakatnya tetap dibayar bulanan.
Alasan analogi dengan zakat pertanian adalah karena ada syabah, jika
hasil panen pada setiap musim berdiri sendiri tidak terkait dengan hasil
sebelumnya, demikian pula dengan gaji dan upah yang diterima. Tidak terkait
dengan bulan sebelumnya, karna bisa saja penghasilan bulan ini lebih besar dari
bulan sebelumnya karena bonus atau yang lainnya. berbeda dengan perdagangan
yang selalu terkait antara bulan pertama,kedua dan seterusnya samapai waktu saat
tahun (tutup buku) yang tentu ada haulnya.
Dari sudut kadar zakat, dianalogikan pada uang, karena memang gaji,
honor pda umumnya diterima dalam bentuk uang. Karena itu kadar zakatnya adalah
sebesar 2,5%. Alasan menggunakan qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui
metode syabah[6].
[1] http://www.almaany.com/ar/ diakses
tanggal 11 september 2015.
[2] Abu
Ubaid AlQasim, Al-Amwaal, Ensiklopedia Keuangan Pulik Islam. Gema Insani Press hal
520.
[3]
Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar
el-Fikr, 1997) Juz III hal 1948.
[4]
Abu Ubaid AlQasim, Al-Amwaal, Ensiklopedia kEuangan Pulik Islam. Gema Insani Press
hal 515.
[5]
Didin hafidhuddin, zakat dalam perekonomian modern, hal 97. GIP. 2002.
[6]
Amir syarifuddin, Ushul fiqh (Jakarta: al Logos 1987) Jilid 1 Hal 204. Qiyas
syabah adalah mempersamakan furu’ dengan asal karena ada jamii yang
menyerupainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar