Oleh:
Graha Agung Brahmana,
Hendri Wijaya, Lazuardi Adnan Nursyaifullah, M. Maulana Hamzah, dan
Rahmat Budiman[1]
Mahasiswa
Pascasarja Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor, Magister Manajemen
Syariah, Angkatan EK18
Abstraksi
Secara teori, suatu negara akan mengekspor suatu komoditi (misalnya CPO),
jika di mengalami kelebihan produksi di dalam negeri. Namun kenyataannya, pengusaha akan tetap mengekspor jika harga
minyak sawit di pasar dunia jauh lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga
di pasar domestik. Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi
oleh keadaan perekonomian Indonesia yang belum stabil.
Secara luas, Kindleberger dan Lindert (1995)
mendefinisikan bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran
domestik produksi barang dan jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari
negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan[2].
Harga CPO dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha
dalam negeri untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya
pasokan CPO bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng
juga akan terganggu.
Kebijakan Pajak Ekspor (PE) progresif dimaksudkan untuk mengurangi
volume ekspor CPO secara berlebihan. Seperti yang diketahui, peningkatan
permintaan CPO dunia mengakibatkan harganya melambung tinggi. Hal ini mendorong
pemilik kebun lebih memilih mengekspor dibanding menjualnya di pasar dalam
negeri. Akibatnya, pasokan CPO dalam negeri menyusut yang kemudian
pabrik-pabrik berbahan baku CPO kesulitan memperoleh pasokan. Untuk memenuhi
CPO dalam negeri inilah, PE akhirnya diberlakukan. Pemberlakuan PE mungkin akan
menguntungkan negara, yaitu pendapatan negara dari tarif bertambah. Pendapatan
dari tarif oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang seluruh
masyarakat bisa merasakannya
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki potensi sumber
daya alam yang melimpah. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Pertanian adalah suatu
jenis kegiatan produksi yang berlandaskan prsoes pertumbuhan dari
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian
rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian sempit, kehutanan,
peternakan dan perikanan. Cuaca dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk
kegiatan pertanian Indonesia.
Pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang
didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Para petani
mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan itu dalam usaha tani (farm). Kegiatan-kegiatan produksi di dalam setiap
usaha tani merupakan suatu kegiatan usaha (bussines),
dimana biaya dan penerimaan itu penting. Pertanian memiliki unsur-unsur
yaitu: proses produksi, petani, usahatani, usahatani sebagai perusahaan.
Definisi menurut Mosher di atas adalah definisi pertanian dalam arti sempit.
Definisi pertanian dalam arti luas adalah kegiatan yang menyangkut perkebunan,
peternakan, perikanan, kehutanan dan pertanian itu sendiri. Pertanian di
Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan dan
hortikultura. Tanaman pangan terdiri dari padi, jagung, kedelai; tanaman
perkebunan terdiri dari kelapa sawit, karet, kakao; dan hortikultura
terdiri dari pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, dan lain-lain.
Produk perkebunan memiliki peran yang sangat penting untuk
tampil di pengembangan perekonomian nasional Indonesia. Komoditas ini, dan
khususnya minyak sawit mentah, telah sangat memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia, menyebabkan pertumbuhan produksi dan pengembangan areal, menciptakan
berbagai bentuk kerja bagi lebih dari 3,5 juta orang di ini sub-sektor,
peningkatan perdagangan internasional dan nasional dan meningkatkan standar
hidup serta status keuangan masyarakat lokal. Sektor perkebunan di Indonesia
telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui usaha perkebunan rakyat,
perkebunan besar milik rakyat dan milik swasta. Salah satu dari komoditas
perkebunan Indonesia yang sudah pada tingkatan ekspor adalah kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai
tinggi dan industrinya termasuk padat karya. Manfaat dari buah kelapa
sawit sendiri sangat bervariasi. Cukup banyak industri lain yang
dapat menggunakan sebagai bahan baku produknya, seperti minyak
goreng, makanan, kosmetik dan lain-lain. Akhir-akhir ini industri kelapa
sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat ini sedang
ramai-ramainya mencari sumber energi baru pengganti minyak bumi
yang cadangannya semakin menipis. Salah satu alternatif pengganti
tersebut adalah energi bio diesel dimana bahan baku utamanya adalah
minyak mentah kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan nama Crude Palm Oil (CPO). Bio diesel
ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan dan sumber energinya dapat
terus dikembangkan, sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya
sudah habis, tidak dapat
dikembangkan kembali.
Indonesia adalah salah satu dari produsen CPO tertinggi di
dunia. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi alam yang menguntungkan yakni
iklim negara, besar daerah potensi produksi, investasi dalam penelitian dan
teknologi, serta ketersediaan tenaga kerja terlatih yang memiliki keterampilan
yang diperlukan untuk membawa tentang peningkatan produksi CPO. Perkembangan
kebutuhan CPO untuk fokus pada prospek dan sarana lainnya yang akan membuat
kebutuhan pelanggan dasar untuk komoditas agar digunakan dalam industri
makanan, aplikasi industri, dan sebagai sumber alternatif energi. Areal penanaman kelapa
sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera
Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh.
Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra
produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997,
dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan
kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan
Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan,
Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%,
dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Industri
minyak mentah sawit di Indonesia telah berevolusi. Perkebunan kelapa sawit di
Indonesia telah berkembang dari 600 000 hektar pada tahun 1985 menjadi lebih
dari 6 juta hektar pada awal 2007, dan diharapkan mencapai 10 juta hektar pada
tahun 2010. Pada saat yang sama, minyak sawit Indonesia produksi meningkat dari
157 000 metrik ton menjadi 16,4 juta metrik ton pada periode yang sama,
sementara ekspor telah meningkat dari 126 000 metrik ton menjadi 12 juta ton
metrik. Produksi CPO dunia telah berkembang mantap.
Selama periode 2001-2005 produksi CPO dunia tumbuh rata-rata 8,78 % per tahun.
Namun, produksi CPO Indonesia lebih rendah dari Malaysia. Pertumbuhan Ekspor
CPO Indonesia, salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan dunia
terhadap CPO. Karena pentingnya minyak sawit mentah bagi perekonomian
Indonesia, dan di seluruh dunia, pemerintah Indonesia memutuskan untuk
memberlakukan pajak ekspor CPO-nya.
2. PEMBAHASAN
Dalam
“Master Plan Percepatan Dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025” (MP3EI) dijelaskan bahwa kelapa sawit adalah sumber minyak nabati terbesar yang dibutuhkan oleh
banyak industri di dunia. Di samping itu, permintaan kelapa sawit dunia terus
mengalami pertumbuhan sebesar 5% per
tahun. Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia didominasi oleh produksi
Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen dari total produksi minyak
mentah sawit (CPO) di dunia.
Pertumbuhan produksi kelapa sawit di Indonesia yang sebesar 7,8% per tahun juga lebih baik dibanding Malaysia yang sebesar 4,2% per tahun.
Di Sumatera, kegiatan ekonomi utama kelapa sawit
memberikan kontribusi ekonomi yang besar. Dimana 70 persen lahan penghasil
kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera dan membuka lapangan pekerjaan
yang luas. Sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.
Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit dapat dilihat melalui rantai nilai yaitu
dari mulai perkebunan, penggilingan, penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit
di industri hilir.
Perkebunan: Di tahun 2009,
Sumatera memiliki sekitar lima juta hektar perkebunan kelapa sawit, di mana 75
persen merupakan perkebunan yang sudah dewasa, sedangkan sisanya merupakan
perkebunan yang masih muda. Namun demikian, di luar pertumbuhan alami dari
kelapa sawit ini, peluang peningkatan produksi sawit melalui peningkatan luas
perkebunan kelapa sawit akan sangat terbatas karena masalah lingkungan.
Di samping peningkatan area penanaman, hal lain yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pertumbuhan produksi kelapa sawit adalah dengan meningkatkan
produktivitas CPO dari perkebunan. Indonesia saat ini memiliki produktivitas
3,8 Ton/Ha, yang masih jauh di bawah produktivitas Malaysia 4,6 Ton/Ha dan
masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi produktivitas yang dapat
dihasilkan (7 Ton/Ha).
Rendahnya produktivitas yang terjadi pada pengusaha kecil kelapa sawit
disebabkan oleh tiga hal:
-
Penggunaan bibit berkualitas rendah. Riset menunjukkan bahwa
penggunaan bibit kualitas tinggi dapatmeningkatkan hasil sampai 47 persen dari
keadaan saat ini;
-
Penggunaan pupuk yang sedikit karena mahalnya harga pupuk;
-
Waktu antar Tandan Buah Segar (TBS) ke penggilingan yang lama
(di atas 48 jam) membuat menurunnya produktivitas CPO yang dihasilkan.
Penggilingan: Hal yang perlu
diperbaiki dari rantai nilai ini adalah akses yang kurang memadai dari
perkebunan kelapa sawit ke tempat penggilingan. Kurang memadainya akses ini
menjadikan biaya transportasi yang tinggi, waktu tempuh yang lama, dan
produktivitas yang rendah. Pembangunan akses ke area penggilingan ini merupakan
salah satu hal utama untuk peningkatan produksi minyak kelapa sawit. Selain
itu, kurangnya kapasitas pelabuhan laut disertai tidak adanya fasilitas tangki
penimbunan mengakibatkan waktu tunggu yang lama dan berakibat pada biaya
transportasi yang tinggi.
Penyulingan: Penyulingan akan
mengubah CPO dari penggilingan menjadi produk akhir. Pada tahun 2008, Indonesia
diestimasikan memiliki kapasitas penyulingan sebesar 18-22 juta ton CPO.
Kapasitas ini mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi. Dengan
berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50 persen utilisasi), rantai nilai
penyulingan mempunyai margin yang rendah (USD10/ton) jika dibandingkan dengan
rantai nilai perkebunan (sekitar USD350/ton). Hal ini yang membuat kurang
menariknya pembangunan rantai nilai ini bagi investor.
Hilir kelapa
sawit: Industri hilir utama dalam mata rantai industri kelapa sawit antara lain
oleo kimia, dan biodiesel. Seperti halnya rantai nilai penyulingan, bagian
hilir kelapa sawit ini juga mempunyai kapasitas yang kurang memadai. Hal ini
membuat rendahnya margin dari rantai nilai tersebut. Namun demikian,
pengembangan industri hilir sangat dibutuhkan untuk mempertahankan posisi
strategis sebagai penghasil hulu sampai hilir, sehingga dapat menjual produk
yang bernilai tambah tinggi dengan harga bersaing.
Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama ini kurang
menarik karena margin yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu
menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang ber-margin
tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir kelapa sawit.
Regulasi dan Kebijakan
Untuk melaksanakan
strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada beberapa hal terkait regulasi
yang harus dilakukan, antara lain:
1.
Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan
hulu kelapa sawit (perkebunan dan penggilingan/pabrik kelapa sawit (PKS);
2.
Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk
pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit.
3.
Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi
utama kelapa sawit juga memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:
- Peningkatan kualitas
jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju
penggilingan kelapa sawit dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang
perlu disesuaikan dengan beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat
produktivitas CPO sangat bergantung pada waktu tempuh dari perkebunan ke
penggilingan, sebab kualitas TBS (Fresh Fruit Brunch-FFB) akan menurun
dalam 48 jam setelah pemetikan;
- Peningkatan kapasitas dan
kualitas rel kereta api di beberapa lokasi untuk mengangkut CPO dari
penggilingan sampai ke pelabuhan;
- Peningkatan kapasitas dan
kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO. Saat ini terjadi
kepadatan di pelabuhan sehingga menyebabkan waktu tunggu yang lama (3-4 hari).
Analisa Deskriptip Kebijakan Industri CPO di Indonesia
Kebijakan
pajak ekspor CPO yang dicanangkan diharapkan mampu memposisikan urutan
prioritas secara tepat untuk mencari solusi terhadap masalah ekonomi yang mendesak.
Namun bila tanpa perhitungan yang matang, Rencana pemerintah untuk menaikkan
tarif PE hanya akan menambah mata rantai pungutan disamping biaya yang tak
terduga dan yang selama ini telah meningkatkan ongkos produksi dan menghambat
pertumbuhan sektor industri, khususnya dalam industri CPO. Justru Hal ini
semakin mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditekan oleh biaya
tinggi. Implikasi persoalan ini secara sosial adalah penurunan daya serap
sektor industri terhadap tenaga kerja semakin menurun.
Besaran
PE bulan berjalan ditetapkan berdasarkan HPE CPO bulan sebelumnya. Artinya,
persentase PE bulan April misalnya, ditentukan oleh harga rata-rata CPO bulan
Maret. Oleh karena itu, PE yang berlaku bulan Maret sebesar 15 persen, sebab
HPE CPO di pasar Rotterdam Belanda mendekati US$ 1300 per ton. Jika, selama
bulan April mendatang rata-rata HPE melebihi US$ 1300 per ton, maka pelaku
industri yang menjual CPO-nya ke luar negeri akan dikenakan biaya sebesar 20
persen.
Di
pasar internasional, harga komoditas minyak sawit telah menunjukkan
perkembangan yang cukup baik.. Harganya kini sudah sekitar 60 persen mengacu
pada bursa komoditas di dalam negeri, sedangkan yang 20 persen ditentukan oleh
bursa Rotterdam yang didominasi pembeli, serta 20 persen oleh bursa Kuala
Lumpur. Kondisi ini didukung oleh tumbuhnya sejumlah perusahaan minyak sawit di
dalam negeri yang memberi kontribusi besar terhadap produksi minyak sawit
nasional, yaitu sekitar 31 juta ton, separuh lebih dari produksi minyak sawit
dunia yang sebesar 58,1 juta ton pada tahun panen 2013/2014. Ekspor minyak
sawit pun terus naik menjadi sebesar 21 juta ton atau hampir 50 persen dari
total ekspor global[3].
Besaran
tarif Bea Keluar berlaku berdasarkan harga referensi yang diperoleh dari
rata-rata tiga sumber harga yakni harga CPO di pasar Rotterdam, Bursa Malaysia
dan Bursa Komoditi Derivatif Indonesia dengan bobot lebih besar pada bursa
Indonesia. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi sawit dituangkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan mulai berlaku 14
September 2011[4].
Mengingat
PMK 128/2011 mengatur barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar sehingga PMK
128/2011 telah mengalami perubahan dua kali yakni dengan PMK 75/2012 dan PMK
128/2013. Namun susunan tarif Bea Keluar minyak sawit dan produk turunannya
tidak berubah sama sekali. Berikut ini adalah susunan tarif Bea Keluar kelapa
sawit, CPO dan produk turunannya :
Kebijakan Bea Keluar merupakan bagian dari upaya
pemerintah lainnya untuk mendorong hilirisasi industri sawit yakni pemberian insentif pajak, penyediaan
energi dan pembangunan infrastruktur. Namun bagi pelaku usaha, Bea Keluar
merupakan penggerak utama (prime mover) berjalannya roda hilirisasi
industri sawit. Dampak restrukturisasi tarif Bea Keluar (PMK 128/2011 juncto
PMK 75/2012 juncto PMK 128/2013) setidaknya terlihat dari hal-hal
berikut ini:
1.
Pertama, utilisasi industri minyak goreng/refinery Indonesia
sampai dengan akhir tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 80% dari hanya
sekitar 45% di tahun 2010.
2.
Kedua, Terdapat penambahan
kapasitas refinery yang semula 21 juta ton pada tahun 2011 menjadi sekitar 30
juta ton hingga akhir tahun 2012, serta diproyeksikan meningkat sampai 45 juta
ton pada awal tahun 2014. kapasitas terpasang untuk industri oleochemical dari
kelapa sawit naik dari 1400 ribu ton setiap tahun pada 2011 menjadi 2200 ribu
ton per tahun pada 2014.
3.
Ketiga, jumlah investor yang menanamkan modalnya di bidang industri
hilir kelapa sawit pasca PMK 128/2011 mencapai sekitar USD 860 juta.[5]
Pemerintah
juga telah menyetujui pemberian
fasilitas tax-holiday kepada PT Unilever Oleochemical Indonesia (PT UOI)
untuk memperoleh fasilitas tax-holiday dalam menghasilkan produk
oleochemical dari kelapa sawit. Saat ini menyusul beberapa perusahaan industi
hilir kelapa sawit sedang mengajukan permohonan untuk mendapat fasilitas tax
holiday (PMK 130/2011). Beberapa kelompok perusahaan kelapa sawit dan perusahaan
multinasional menetapkan investasi industri hilir yakni:
Menurut
Dirjen Industri Agro Kemenperin, Benny Wahyudi dalam Diskusi Panel Revitalisasi
dan Penumbuhan Industri Hasil Hutan dan Perkebunan di Kantor Kementerian
Perindustrian, Jakarta Kendati begitu, porsi ekspor CPO Indonesia tiap tahun
terus bergerak ke arah hilir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
memperkirakan ekspor produk olahan CPO akan mencapai 60% dari seluruh produk
CPO yang diprediksi mencapai 18 juta ton. Salah satu indikasinya tahun ini,
kata Benny, akan ada lima perusahaan besar yang mulai menjalankan industri CPO
di dalam negeri seperti Unilever dan Sinar Mas.[6]
Untuk memanfaatkan peluang pengembangan industri pengolahan kelapa sawit,
lanjut Benny, maka dipilihlah tiga lokasi potensial untuk dikembangkan klaster
industri hilir kelapa sawit, yaitu Sei Mangke (Sumatera Utara), Dumai (Riau),
dan Maloy (Kalimantan Timur).
Sementara
itu pengamat ekonomi Aviliani menilai, guna mengoptimalkan kinerja industri
hilir CPO, perlu adanya pembenahan infrastruktur dengan memperbanyak industri
kimia dan kebijakan pajak. Yaitu dengan pembaerlakuan Pajak bukan lagi PPN
melainkan pajak penjualan. Jadi, end goods yang dikenai pajak.
Menurut Cornelius Tjahjaprijadi Berdasarkan hasil dari simulasi
dampak kenaikan harga minyak sawit internasional terhadap pertumbuhan PDB dari
komponen pengeluaran dan sektor produksi diketahui bahwa kenaikan harga minyak
sawit internasional memberi efek positif terhadap PDB dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang, serta beberapa sektor produksi. Dampak positif ini
disebabkan oleh intensitas produksi minyak sawit yang meningkat di dalam negeri
seiring dengan meningkatnya luas lahan kelapa sawit. Di samping itu juga
desakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati sebagai alternatif
pengganti bahan bakar minyak semakin menguat. Sedangkan pada beberapa sektor
produksi, dampak dari kenaikan harga minyak sawit internasional disebabkan oleh
faktor dukungan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit dan produk turunan
yang dihasilkan dari produksi minyak sawit. Kondisi ini menyebabkan produksim
menjadi ikut terpengaruh sebagai akibat adanya kenaikan harga minyak sawit,
terutama pada sektor pupuk dan minyak lemak.[7]
Tabel
di bawah ini menunjukkan
adanya pergeseran (shifting) ekspor
CPO Indonesia dari dominasi minyak mentah menjadi produk turunan, dimana
terlihat sejak September 2011 hingga saat ini produk olahan (derivative
product) makin dominan. Dengan demikian nilai ekspor meningkat seiring kenaikan
nilai tambah yang dinikmati oleh ekonomi domestic:
Menurut
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Chairi mengatakan penetapan
HPE periode Juni 2014 dilakukan setelah memperhatikan rekomendasi dan hasil rapat
koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Khususnya untuk menyikapi
perkembangan harga komoditas baik nasional maupun internasional.
Penetapan
HPE atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang dikenakan Bea Keluar Periode Juni
2014 adalah produk minyak sawit mentah (CPO), biji kakao, kayu, dan kulit.
Penetapan HPE CPO didasarkan pada harga referensi CPO yaitu US$ 915,26 per
metrik ton, turun 1,9% dari bulan sebelumnya. Dari dasar tersebut, didapat HPE
CPO Juni 2014 sebesar US$ 844 per metrik ton, turun 2% dibandingkan bulan
sebelumnya. Untuk bea keluar BK CPO, ditetapkan 12% sesuai PMK No 128/2013,
tidak berubah dibandingkan dengan bulan sebelumnya.[8]
Pajak ekspor merupakan pajak yang dikenakan kepada konsumen
di luar negeri (konsumen di negara pengimpor), sehingga konsumen di negara
pengimpor akan menerima harga yang lebih tinggi dari pada konsumen dalam
negeri. Pajak ekspor ini merupakan salah satu langkah untuk perlindungan
strategis industri pengolahan dalam negeri dan juga merupakan upaya untuk menjaga
kestabilan harga domestik. Sama halnya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah
lainnya, kebijakan pembebanan pajak ekspor ini juga memiliki sisi pro dan
kontra. Ada golongan tertentu yang dirugikan dengan adanya kebijakan ini, dan
ada pula golongan tertentu yang diuntungkan oleh kebijakan ini. Hal itu dapat
dilihat pada pemberlakuan pajak ekspor terhadap CPO. Pemberlakuan pajak ekspor
ini memiliki dampak yang signifikan terhadap CPO di Indonesia. Pada tahun 2002
pajak ekspor sebesar 3%, pada tahun 2004 sebesar 1,5%, dan kemudian
pada tahun 2007 sebesar 6,5%.
Peningkatan pembebanan dan pajak ekspor memiliki dampak
negatif terhadap area kelapa sawit di Indonesia. Area kelapa sawit akan
berkurang 0,52%. Ketika pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 15%, area
budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,04%. Saat pemerintah
meningkatkan pajak ekspor hingga 20%, area budidaya kelapa sawit di Indonesia
berkurang sebesar 1,38%. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak ekspor secara
signifikan mengurangi luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selain
dampak negatif pada luas area budidaya kelapa sawit, pajak ekspor juga akan
berdampak negatif terhadap produksi CPO. Dampak pajak ekspor jelas pada jumlah
CPO yang diproduksi di Indonesia. Saat 7,5% pajak ekspor diterapkan, produksi
berkurang sebesar 0,124%. Saat pajak ditingkatkan menjadi 15% oleh
pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan menerjemahkan 0,28%. Saat
pajak ditingkatkan menjadi 20% oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia
dikurangi dengan menerjemahkan 0,34%. Pembebanan pajak ekspor akan menyebabkan
berkurangnya lahan budi daya kelapa sawit dan menurunnya produksi
CPO.
Pembebanan pajak ekspor ini juga akan berdampak negatif terhadap
volume ekspor CPO. Saat 7,5% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan
berkurang sebesar 3,26%. Saat 15% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan
berkurang sebesar 6,27 %. Saat 20% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan
berkurang sebesar 8,22%. Hal ini disebabkan pembebanan pajak ekspor oleh suatu
negara, dalam hal ini Indonesia, akan membuat harga yang diterima konsumen di
banyak negara pengimpor akan semakin tinggi. Tingginya harga yang diterima
konsumen akan menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap CPO, sehingga ekspor
pun akan menurun.
Di sisi lain, kebijakan pajak ekspor memberikan manfaat besar
bagi konsumen. Pada tabel diatas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini
menyebabkan harga CPO dalam negeri lebih rendah. Saat pemerintah menetapkan
pajak ekspor sebesar 7,5 %, maka harga CPO dalam negeri akan menurun
sebesar 2,74%, atau 2,74% lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pajak
ekspor. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor sebesar 15%, maka harga
CPO dalam negeri akan menurun sebesar 5,38%. Saat pemerintah menetapkan pajak
ekspor sebesar 20%, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar
7,04% Peningkatan lebih lanjut dalam pajak ekspor CPO akan bermanfaat bagi
konsumen dalam negeri.
Dari penjelasan diatas, jelas diketahui bahwa kebijakan pajak
ekspor akan merugikan produsen CPO (beberapa dari mereka adalah petani kecil).
Pembebanan pajak ekspor tersebut akan menyebabkan harga di konsumen luar negeri
akan menjadi lebih tinggi, sehingga permintaan akan CPO dari luar negeri akan
berkurang, yang tentunya akan mengurangi volume ekspor CPO Indonesia ke negara
lain. Berkurangnya volume ekspor ke negara lain akan menyebabkan bertambahnya supply CPO di dalam negeri.
Bertambahnya supply CPO dalam negeri
akan menjaga kestabilan harga CPO domestik atau bahkan akan menurunkan harga
CPO dalam negeri. Rendahnya harga CPO dalam negeri akan mempengaruhi produsen
CPO, petani kelapa sawit akan mengurangi produksinya dengan cara mengurangi
lahan budi daya kelapa sawitnya dan menggantinya dengan tanaman lain,
turunnya luas area yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit akan menyebabkan
menurunnya produksi kelapa sawit, yang pasti juga akan berdampak pada
menurunnya produksi CPO. Menurunnya harga CPO, akan memberikan manfaat bagi
konsumen dan masyarakat secara umum, karena turunnya harga CPO, tentunya akan
berdampak pada turunnya harga minyak goreng di tingkat konsumen. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemberlakuan kebijakan pajak ekspor akan merugikan petani
kelapa sawit dan menguntungkan konsumen. Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi
surplus produsen dan menambah surplus konsumen.
Indonesia merupakan
eksportir CPO terbesar di dunia sejak tahun 2006, menggeser Malaysia. Total
produksi sawit bahkan telah menyumbang sekitar 45 persen total produksi sawit
dunia. Dengan negara tujuan utama ekspornya seperti Amerika, China, India, dan
negara Eropa lainnya.
Dalam mengantisipasi penurunan penerimaan devisa negara,
pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekspornya.
Dalam kasus ini, akan menganalisis lebih lanjut perdagangan CPO Indonesia
dengan Uni Eropa.
Ekspor minyak sawit dan turunannya mengalami peningkatan
jumlah dan nilai setiap tahunnya. Seperti pada periode 2004-2008 terjadi peningkatan ekspor
sebesar 37,96%. Indonesia sendiri termasuk negara produsen sekaligus konsumen
minyak sawit (dalam kondisi tertentu
untuk mencukupi kebutuhan minyak sawit dalam negeri).
Dukungan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam
meningkatkan pengembangan industri minyak sawit secara umum, diantaranya
melalui pembebasan pajak pertambahan nilai terhadap Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit, subsidi bagi kredit
pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan, pemberian insentif
melalui pengurangan pajak industri hilir minyak sawit, perbaikan penetapan
tarif bea masuk dan penetapan harga produk ekspor. Pengambangan komoditas minyak
sawit dan produk turunannya perlu dilakukan dalam rangka memanfaatkan pasar
global. Selain untuk menyumbang dalam pendapatan negara, pengembangan komoditas
minyak sawit dan turunannya berperan dalam mengatasi salah satu permasalahan
sosial dan ekonomi masyarakat, yaitu penyedia lapangan pekerjaan.
Untuk
ekspor dengan tujuan negara-negara Uni Eropa, terdapat suatu aturan/kesepakatan antara negara terkait,
yang dikenal dengan REACH (Registration,
Authorisation and Restriction of Chemicals). Aturan yang diterapkan UE
terkait penggunaan bahan kimia yang aman ini, dianggap dapat mengurangi daya
saing ekspor CPO dan turunannya. Setiap impor yang masuk ke UE diwajibkan
melakukan registrasi/pendaftaran kepada European
Chemicals Agency (ECHA) mengenai kandungan bahan kimia. Pendaftaran produk
dapat dilakukan oleh negara eksportir non UE dengan menujuk sebuah perusahaan
yang didirikan UE yang bertindak sebagai perwakilan satu satunya Pada akhirnya, aturan tersebut kemudian
mengharuskan negara eksportir (seperti Indonesia) menambah biaya.
Tantangan
lain yang juga dihadapi Indonesia selaku negara pengimpor CPO adalah adanya tarif bea masuk, yang dalam kasus UE ini, Indonesia dikenakan tarif bea masuk
sebesar 3,8%. Hal ini menyebabkan harga CPO meningkat di negara tujuan ekspor
(Eropa).
Model
Benefit Analisis Ekspor Kelapa Sawit, Indonesia - Negara Uni Eropa.
Keterangan Kurva :
Analisis :
1.
Untuk komoditas kelapa sawit/CPO, Indonesia menjadi eksportir
bagi negara-negara Uni Eropa. Dalam
transaksinya, di Eropa sendiri diterapkan aturan adanya biaya masuk/pajak yang
dikenakan terhadap barang yang masuk ke dalam pasar domestiknya.
2.
Kurva pada ‘home market’
menggambarkan kondisi impor CPO Eropa terhadap Indonesia. E1 merupakan titik
equilibrium jumlah Supply dan Demand sebelum terjadinya perdagangan
antara kedua negara. Harga CPO domestik Eropa sebelum terjadinya perdagangan
lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO dunia. Hal ini menyebabkan Eropa
mengimpor CPO dari Indonesia. Di lain kasus Indonesia sebagai eksportir CPO,
dengan kondisi harga domestiknya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga
CPO dunia.
3.
Negara-negara
Uni Eropa menetapkan kebijakan
tarif impor untuk CPO yang masuk ke
domestiknya. Akibatnya, dalam kurva dapat terlihat terjadi pergeseran harga, supply dan demand (digambarkan dengan garis putus-putus merah). Harga CPO di Eropa
kemudian bergeser sedikit lebih turun, namun tetap berada di atas harga dunia.
Sedangkan harga CPO domestik Indonesia sebagai eksportir, mengalami sedikit
peningkatan namun tetap berada di bawah harga dunia.
Terkait Isu ACFTA
Berbagai produk yang masuk dalam daftar kategori EHP
ditetapkan melalui dua kerangka, yaitu kerangka ACFTA dan kerangka bilateral
Indonesia-Cina. Dalam kerangka ACFTA sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menkeu No. 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA, produk binatang hidup, ikan, dairy
products, tumbuhan, sayuran dan buah-buahan dimasukkan dalam kategori EHP.
Sedangkan dalam kerangka bilateral, Keputusan Menkeu No. 356/KMK.01/2004
tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam
Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA memasukkan produk kopi,
minyak kelapa/CPO, coklat, barang dari karet dan perabotan ke dalam kategori
EHP.
Dari sini kita bisa belajar
bahwa salah satu strategi Cina menembus pasar Indonesia adalah dengan menguasai
SNI. Indonesia perlu lebih ekspansif ke pasar Cina dan berupaya menguasai
standar nasional Cina untuk mempermudah akses masuk ke pasar Cina. dari survei dampak ACFTA yang dilakukan
Kementerian Perindustrian, tercatat lima sektor industri paling terpukul oleh
dampak ACFTA yaitu elektronik, furnitur, logam, permesinan dan tekstil.[9]
Penelitian Kelapa Sawit dan Perbandingannya dengan
komoditas utama dunia
Jenis penelitian ini
merupakan penelitian terapan (applied
research) dimana penelitian ini bertujuan untuk menerapkan, menguji, dan
mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis. Sedangkan
menurut tingkat eksplanasi, penelitian ini merupakan penelitian asosiatif yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara indeks harga komoditi utama dunia
terhadap harga minyak kelapa sawit mentah di Indonesia periode Januari
2005-November 2008. dalam penelitian ini sebagai variabel independen adalah
Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dan sebagai variabel dependen yaitu Harga
Minyak Kelapa Sawit Mentah.
Tabel 1. Operasionalisasi
Variabel Penelitian
VARIABEL
|
DEFINISI VARIABEL
|
SATUAN
|
Indeks Harga Komoditi Utama Dunia
|
Indeks Harga
Komoditi Dunia adalah harga rata-rata normal yang ditetapkan untuk setiap
barang dan jasa disetiap negara selama batas waktu tertentu.
|
%
|
Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia
|
Harga
Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia adalah harga yang terbentuk
berdasarkan permintaan dan penawaran kelapa sawit di dunia.
|
US$
|
Sumber: peneliti,2009.
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data
sekunder runtun waktu (time series)
bulanan periode Januari 2005-November 2008.
Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kuantitatif dimana suatu metode yang datanya berupa angka
yang dapat dihitung untuk menghasilkan penafsiran kuantitatif yang kokoh.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa linear
sederhana yang bertujuan untuk mengetahui koefisien regresi atau besarnya
hubungan antara variabel indeks harga komoditi utama dunia terhadap variabel
harga kelapa sawit mentah di Indonesia.
Hasil Pembahasan
Analisis
regresi ini menggunakan statistik regresi linear sederhana antara indeks harga
komoditi utama dunia dengan harga minyak kelapa sawit mentah yang akan
dijelaskan pada tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Pengaruh Indeks Harga
Komoditi Utama Dunia terhadap Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia
Tabel 3. Regresi Linear Sederhana
antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit
Mentah
Coefficientsa
|
||||||
Model
|
Unstandardized Coefficients
|
Standardized Coefficients
|
T
|
Sig.
|
||
B
|
Std. Error
|
Beta
|
||||
1
|
(Constant)
|
-653.896
|
75.037
|
|
-8.714
|
.000
|
IHK.UtamaDunia
|
3.102
|
.183
|
.930
|
16.947
|
.000
|
|
a. Dependent Variable: Harga CPO
Sumber :
Data Analisis Output SPSS Versi 16
|
|
|
|
Harga
CPO (Y) = -653,896 + 3,102X (Indeks Harga Komoditi Utama Dunia). Jika
perusahaan tidak memperhitungkan Indeks Harga Komoditi Utama Dunia , maka Harga
CPO di Indonesia sebesar Rp653,896. Nilai b = 3,102 yang menandakan bahwa jika
Indeks Harga Komoditi Utama Dunia naik 1 persen, maka Harga CPO akan naik
Rp3,102.
Analisis
hubungan ini menggunakan statistik koefisien korelasi sederhana antara Indeks
Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah yang akan
dijelaskan pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4
Koefisien Korelasi Sederhana Antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan
Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah
Model Summaryb
|
|||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
|
1
|
.930a
|
0.865
|
0.862
|
96.52882
|
a. Predictors: (Constant): Indeks Harga
Komoditi Utama Dunia
b.
Dependent Variable: Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah
Koefisien korelasi antara Indeks
Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah sebesar
0,930 yang mengartikan bahwa Indeks Harga Komoditi Utama Dunia memiliki
hubungan yang sangat kuat terhadap Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah. Sedangkan
koefisien determinan antara indeks harga komoditi utama dunia dengan harga
minyak kelapa sawit mentah sebesar 0,865 atau 86,5 persen. Nilai ini menunjukkan
bahwa indeks harga komoditi utama dunia dapat menjelaskan atau
mempengaruhi harga minyak kelapa sawit
mentah sebesar 86,5 persen sedangkan sisanya yaitu 13,5 persen dipengaruhi oleh
variabel lain.
Pengujian
hipotesis individual apakah suatu variabel independen berpengaruh atau tidaknya
terhadap variabel dependen dalam penelitian ini
menggunakan tingkat nyata (level
of significance) sebesar α = 0,05 atau 5 persen .
Tabel 5 Hasil Analisis
Uji t
Variabel Independen
|
Nilai t Hitung
|
Nilai t Tabel
|
Taraf t Stat. Signifikan
|
Taraf Signifikan
|
Kesimpulan
|
IHK Utama Dunia
|
16,947
|
2,014
|
0,00
|
0,05
|
Ho ditolak
|
Sumber: Data diolah
Nilai t hitung dari
indeks harga komoditi utama dunia = 16,947 dan dilihat dari t tabel= 2,014 maka
t hitung 16,947 > t tabel 2,014 dan nilai signifikan 0,00 < 0,05; artinya
Ho ditolak dan Ha diterima yang menyatakan bahwa indeks harga komoditi utama
dunia mempunyai hubungan dan positif signifikan
terhadap perkembangan harga minyak kelapa sawit mentah.
3.
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
data-data yang digunakan dalam penelitian ini, serta hasil analisis yang
diperoleh dapat membuktikan bahwa indeks harga komoditi utama dunia sangat
berpengaruh terhadap harga minyak kelapa sawit mentah di Indonesia
Nilai
koefisien determinasi sebesar 0,865 atau sebesar 86,5% dimana menunjukkan bahwa
indeks harga komoditi utama dunia mempunyai hubungan dengan harga minyak kelapa
sawit mentah sebesar 86,5% sedangkan sisanya yaitu 13,5% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain dan signifikansi pengaruh parsial memperoleh t hitung 16,947
> t tabel 2,014 dan nilai signifikan 0,000 < 0,05; artinya Ho ditolak dan
Ha diterima yang menyatakan bahwa indeks harga komoditi utama dunia mempunyai
hubungan positif terhadap perkembangan harga minyak kelapa sawit mentah di
Indonesia.
Kesimpulan dari penulisan
ini antara lain :
1.
Kebijakan pajak ekspor akan menjaga harga CPO domestik
tetap stabil.
2.
Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen
(luas area, produksi CPO, volume ekspor akan berkurang) dan menambah
surplus konsumen (harga minyak goreng akan berkurang).
Kenaikan harga minyak
sawit internasional tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu
konsumsi domestik dan impor memiliki pola yang sama dengan jangka pendek, yaitu
terkena dampak yang positif. Perbedaan dampak terdapat pada ekspor, dimana
kenaikan harga minyak sawit internasional memberi dampak negatif terhadap
pertumbuhan ekspor. Untuk mencegah terjadinya rush export minyak sawit
akibat kenaikan harganya di pasar internasional, pemerintah dapat menerapkan
kebijakan domestic market obligation untuk menjaga pasokan kebutuhan di
dalam negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengurangan ekspor.
1.
Kinerja ekspor produk turunan CPO menunjukkan perkembangan
positif, yang ditunjukkan dari kontribusinya terhadap ekspor produk olahan CPO
yang terus meningkat melampaui ekspor minyak sawit mentahnya.
2.
Kebijakan Bea Keluar meskipun bukan satu-satunya kebijakan
mendorong hilirisasi ternyata merupakan penggerak utama (prime mover)
dalam menarik investasi industi hilir kelapa sawit dengan nilai mencapai
sekitar USD 860 juta baik yang telah dan akan direalisasikan.
3.
Kebijakan bea keluar CPO dan Produk Turunannya terbukti telah
menghasilkan capaian positif di sektor investasi dan hilirisasi industi, untuk itu pemerintah hendaknya.
Saran
Diharapkan
pemerintah dapat menetapkan pajak ekspor yang tepat, sehingga akan membawa
kebaikan pada produsen dan konsumen. Setidaknya, bagi produsen pajak ekspor
tersebut akan memberikan keuntungan yang cukup untuk merehabilitasi perkebunan
mereka, dan bagi konsumen pajak ekspor tersebut menjadi kontrol agar harga
minyak yang diterima konsumen tidak terlalu tinggi.
REFERENSI
Agrofarm,
2104, Kebijakan Pajak Dongkrak Industri Hilir, 9 Januari 2014, (http://www.agrofarm.co.id/read/perkebunan/278/kebijakan-pajak-dongkrak-industri-hilir).
Berita Satu (2013), Menjadi
Penentu Harga, 28 November 2013 (http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3018-menjadi-penentu-harga.html).
Cornelius
Tjahjaprijadi, Dampak Kenaikan Harga Minyak Sawit Internasional Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia (Suatu Model Computable General Equilibrium).
Detikfinance,
2014, Ini Harga Referensi dan Patokan Ekspor Komonitas untuk Juni, 27 Mei 2014
(http://finance.detik.com/read/2014/05/27/110904/2593233/1036/ini-harga-referensi-dan-patokan-ekspor-komoditas-untuk-juni).
Hedwigis
Esti R dan Fabiola, Analisis Hubungan Indeks Harga Komoditas Utama Dunia Terhadap
Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah Di Indonesia Periode 2005–2008.
Kementerian
Keuangan Republik Indonesia Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Pendapatan
Negara, Kajian Signifikansi Bea Keluar Terhadap Hilirisasi Industri Sawit (diakses
dari www.fiskal.depkeu.go.id).
Maria
Irene Hutabarat (2008), Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja
Industri Kelapa Sawit. Skripsi S1 Institut Pertanian Bogor.
Siti
Oktovani, Analisis Perdagangan Komoditi Indonesia (Gula dan Kelapa Sawit).
LAMPIRAN
KEBIJAKAN
PERIHAL
|
KEBIJAKAN
PAJAK IMPOR
|
KEBIJAKAN HARGA MINIMUM
|
1.
Keberpihakan
|
Produsen
|
Produsen
|
2.
Dampak terhadap
konsumen
|
Consumer’s
loss
|
Consumer’s
loss
|
3.
Dampak terhadap Produsen
|
Producer’s
gain
|
Producer’s
gain
|
4.
Dampak berupa inefisiensi
|
Ada
inefisiansi
|
Ada
inefisiansi
|
5.
Output
|
Produksi
meningkat karena ada insentif
|
Produksi
meningkat karena ada insentif
|
6.
Harga
|
Harga lebih
tinggi dari harga seharusnya yang dibayar konsumen
|
Harga lebih
tinggi dari harga seharusnya yang dibayar konsumen
|
7.
Distribusi
|
Stok
melimpah, distribusi lancar
|
Stok
melimpah, distribusi lancar
|
TABEL 2. PERBEDAAN KEBIJAKAN PAJAK IMPOR DENGAN
KEBIJAKAN HARGA MINIMUM KOMODITI BERAS
KEBIJAKAN
PERIHAL
|
KEBIJAKAN
PAJAK IMPOR
|
KEBIJAKAN HARGA MINIMUM
|
1.
Pengaruh musim
|
Tidak
berpengaruh
|
Berpengaruh
|
2.
Pengaruh exchange
|
Berpengaruh
|
Tidak
berpengaruh
|
3.
Pendapatan pemerintah
|
Pemerintah
menerima pendapatan
|
Pemerintah
tidak menerima pendapatan
|
4.
Pengeluran pemerintah
|
Tidak ada
pengeluaran
|
Ada
pengeluaran
|
5.
Pengaruh harga beras dunia
|
Berpengaruh
|
Tidak
berpengaruh
|
6.
Cakupan wilayah
|
Luar negeri
|
Domestik
|
7.
Subsidi Pemerintah
|
Tidak ada
subsidi
|
Ada Subsidi
|
[2]
Maria Irene Hutabarat (2008), Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja
Industri Kelapa Sawit. Skripsi S1 Institut Pertanian Bogor
[4] Kajian Signifikansi Bea Keluar Terhadap
Hilirisasi Industri Sawit. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan
Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. Diakses dari www.fiskal.depkeu.go.id
[7]
Cornelius Tjahjaprijadi. Dampak
Kenaikan Harga Minyak Sawit Internasional Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia (Suatu Model Computable General Equilibrium)
[8] http://finance.detik.com/read/2014/05/27/110904/2593233/1036/ini-harga-referensi-dan-patokan-ekspor-komoditas-untuk-juni
diakses tgl 23 september 2014
[9] ASEAN-CHINA
FTA: DAMPAKNYA TERHADAP EKSPOR INDONESIA DAN
CINA1 ASEAN-China FTA: The Impacts on The Exports of Indonesia and China Sigit
Setiawan Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan-RI, Jl. Dr. Wahidin 1 Jakarta 10710, Buletin Ilmiah
Litbang Perdagangan Vo. 6 No. 2 Bulan Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar