Minggu, 07 Desember 2014

KAJIAN TENTANG KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR CRUDE PALM OIL (CPO) DI INDONESIA



                                                             
Oleh:
Graha Agung Brahmana, Hendri Wijaya, Lazuardi Adnan Nursyaifullah, M. Maulana Hamzah, dan Rahmat Budiman[1]
Mahasiswa Pascasarja Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor, Magister Manajemen Syariah, Angkatan EK18

Abstraksi
Secara teori, suatu negara akan mengekspor suatu komoditi (misalnya CPO), jika di mengalami kelebihan produksi di dalam negeri. Namun kenyataannya, pengusaha akan tetap mengekspor jika harga minyak sawit di pasar dunia jauh lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga di pasar domestik. Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi oleh keadaan perekonomian Indonesia yang belum stabil.
Secara luas, Kindleberger dan Lindert (1995) mendefinisikan bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik produksi barang dan jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan[2]. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam negeri untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan CPO bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu.
Kebijakan Pajak Ekspor (PE) progresif dimaksudkan untuk mengurangi volume ekspor CPO secara berlebihan. Seperti yang diketahui, peningkatan permintaan CPO dunia mengakibatkan harganya melambung tinggi. Hal ini mendorong pemilik kebun lebih memilih mengekspor dibanding menjualnya di pasar dalam negeri. Akibatnya, pasokan CPO dalam negeri menyusut yang kemudian pabrik-pabrik berbahan baku CPO kesulitan memperoleh pasokan. Untuk memenuhi CPO dalam negeri inilah, PE akhirnya diberlakukan. Pemberlakuan PE mungkin akan menguntungkan negara, yaitu pendapatan negara dari tarif bertambah. Pendapatan dari tarif oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk keperluan lain yang seluruh masyarakat bisa merasakannya


1.      PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan prsoes pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian sempit, kehutanan, peternakan dan perikanan. Cuaca dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk kegiatan pertanian Indonesia.
Pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Para petani mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan itu dalam usaha tani (farm). Kegiatan-kegiatan produksi di dalam setiap usaha tani merupakan suatu kegiatan usaha (bussines), dimana biaya dan penerimaan itu penting. Pertanian memiliki unsur-unsur yaitu: proses produksi, petani, usahatani, usahatani sebagai perusahaan. Definisi menurut Mosher di atas adalah definisi pertanian dalam arti sempit. Definisi pertanian dalam arti luas adalah kegiatan yang menyangkut perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan pertanian itu sendiri. Pertanian di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Tanaman pangan terdiri dari padi, jagung, kedelai; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa sawit, karet, kakao; dan hortikultura terdiri dari pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, dan lain-lain.
Produk perkebunan memiliki peran yang sangat penting untuk tampil di pengembangan perekonomian nasional Indonesia. Komoditas ini, dan khususnya minyak sawit mentah, telah sangat memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menyebabkan pertumbuhan produksi dan pengembangan areal, menciptakan berbagai bentuk kerja bagi lebih dari 3,5 juta orang di ini sub-sektor, peningkatan perdagangan internasional dan nasional dan meningkatkan standar hidup serta status keuangan masyarakat lokal. Sektor perkebunan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik rakyat dan milik swasta. Salah satu dari komoditas perkebunan Indonesia yang sudah pada tingkatan ekspor adalah kelapa sawit. Kelapa sawit  merupakan salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai tinggi  dan industrinya termasuk padat karya. Manfaat dari buah kelapa sawit sendiri sangat  bervariasi. Cukup banyak industri lain  yang dapat menggunakan sebagai bahan baku  produknya, seperti  minyak goreng, makanan, kosmetik dan lain-lain.  Akhir-akhir ini industri kelapa sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat  ini sedang ramai-ramainya mencari sumber  energi baru pengganti minyak bumi yang  cadangannya semakin menipis.  Salah satu alternatif pengganti tersebut adalah energi  bio diesel dimana  bahan baku utamanya adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang  lebih dikenal dengan nama Crude Palm Oil  (CPO). Bio diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan dan sumber energinya dapat terus dikembangkan, sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya sudah habis, tidak dapat dikembangkan kembali.
Indonesia adalah salah satu dari produsen CPO tertinggi di dunia. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi alam yang menguntungkan yakni iklim negara, besar daerah potensi produksi, investasi dalam penelitian dan teknologi, serta ketersediaan tenaga kerja terlatih yang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk membawa tentang peningkatan produksi CPO. Perkembangan kebutuhan CPO untuk fokus pada prospek dan sarana lainnya yang akan membuat  kebutuhan pelanggan dasar untuk komoditas agar digunakan dalam industri makanan, aplikasi industri, dan sebagai sumber alternatif energi. Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni  Sumatera Utara,  Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal  penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara  (dengan sentra produksi di Labuhan  Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta  hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara  23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5%.
Industri minyak mentah sawit di Indonesia telah berevolusi. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang dari 600 000 hektar pada tahun 1985 menjadi lebih dari 6 juta hektar pada awal 2007, dan diharapkan mencapai 10 juta hektar pada tahun 2010. Pada saat yang sama, minyak sawit Indonesia produksi meningkat dari 157 000 metrik ton menjadi 16,4 juta metrik ton pada periode yang sama, sementara ekspor telah meningkat dari 126 000 metrik ton menjadi 12 juta ton metrik. Produksi CPO dunia telah berkembang mantap. Selama periode 2001-2005 produksi CPO dunia tumbuh rata-rata 8,78 % per tahun. Namun, produksi CPO Indonesia lebih rendah dari Malaysia. Pertumbuhan Ekspor CPO Indonesia, salah satunya disebabkan oleh tingginya permintaan dunia terhadap CPO. Karena pentingnya minyak sawit mentah bagi perekonomian Indonesia, dan di seluruh dunia, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberlakukan pajak ekspor CPO-nya.

2.      PEMBAHASAN
Dalam Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI) dijelaskan bahwa kelapa sawit adalah sumber minyak nabati terbesar yang dibutuhkan oleh banyak industri di dunia. Di samping itu, permintaan kelapa sawit dunia terus mengalami pertumbuhan sebesar 5% per tahun. Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia didominasi oleh produksi Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen dari total produksi minyak mentah sawit (CPO) di dunia. Pertumbuhan produksi kelapa sawit di Indonesia yang sebesar 7,8% per tahun juga lebih baik dibanding Malaysia yang sebesar 4,2% per tahun.
Di Sumatera, kegiatan ekonomi utama kelapa sawit memberikan kontribusi ekonomi yang besar. Dimana 70 persen lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil. Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit dapat dilihat melalui rantai nilai yaitu dari mulai perkebunan, penggilingan, penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit di industri hilir.
Perkebunan: Di tahun 2009, Sumatera memiliki sekitar lima juta hektar perkebunan kelapa sawit, di mana 75 persen merupakan perkebunan yang sudah dewasa, sedangkan sisanya merupakan perkebunan yang masih muda. Namun demikian, di luar pertumbuhan alami dari kelapa sawit ini, peluang peningkatan produksi sawit melalui peningkatan luas perkebunan kelapa sawit akan sangat terbatas karena masalah lingkungan.
Di samping peningkatan area penanaman, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan produksi kelapa sawit adalah dengan meningkatkan produktivitas CPO dari perkebunan. Indonesia saat ini memiliki produktivitas 3,8 Ton/Ha, yang masih jauh di bawah produktivitas Malaysia 4,6 Ton/Ha dan masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi produktivitas yang dapat dihasilkan (7 Ton/Ha).
Rendahnya produktivitas yang terjadi pada pengusaha kecil kelapa sawit disebabkan oleh tiga hal:
-          Penggunaan bibit berkualitas rendah. Riset menunjukkan bahwa penggunaan bibit kualitas tinggi dapatmeningkatkan hasil sampai 47 persen dari keadaan saat ini;
-          Penggunaan pupuk yang sedikit karena mahalnya harga pupuk;
-          Waktu antar Tandan Buah Segar (TBS) ke penggilingan yang lama (di atas 48 jam) membuat menurunnya produktivitas CPO yang dihasilkan.
Penggilingan: Hal yang perlu diperbaiki dari rantai nilai ini adalah akses yang kurang memadai dari perkebunan kelapa sawit ke tempat penggilingan. Kurang memadainya akses ini menjadikan biaya transportasi yang tinggi, waktu tempuh yang lama, dan produktivitas yang rendah. Pembangunan akses ke area penggilingan ini merupakan salah satu hal utama untuk peningkatan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu, kurangnya kapasitas pelabuhan laut disertai tidak adanya fasilitas tangki penimbunan mengakibatkan waktu tunggu yang lama dan berakibat pada biaya transportasi yang tinggi.
Penyulingan: Penyulingan akan mengubah CPO dari penggilingan menjadi produk akhir. Pada tahun 2008, Indonesia diestimasikan memiliki kapasitas penyulingan sebesar 18-22 juta ton CPO. Kapasitas ini mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi. Dengan berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50 persen utilisasi), rantai nilai penyulingan mempunyai margin yang rendah (USD10/ton) jika dibandingkan dengan rantai nilai perkebunan (sekitar USD350/ton). Hal ini yang membuat kurang menariknya pembangunan rantai nilai ini bagi investor.
Hilir kelapa sawit: Industri hilir utama dalam mata rantai industri kelapa sawit antara lain oleo kimia, dan biodiesel. Seperti halnya rantai nilai penyulingan, bagian hilir kelapa sawit ini juga mempunyai kapasitas yang kurang memadai. Hal ini membuat rendahnya margin dari rantai nilai tersebut. Namun demikian, pengembangan industri hilir sangat dibutuhkan untuk mempertahankan posisi strategis sebagai penghasil hulu sampai hilir, sehingga dapat menjual produk yang bernilai tambah tinggi dengan harga bersaing.
Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama ini kurang menarik karena margin yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir kelapa sawit.
Regulasi dan Kebijakan
Untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada beberapa hal terkait regulasi yang harus dilakukan, antara lain:
1.      Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit (perkebunan dan penggilingan/pabrik kelapa sawit (PKS);
2.      Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit.
3.      Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:
-       Peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju penggilingan kelapa sawit dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang perlu disesuaikan dengan beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat produktivitas CPO sangat bergantung pada waktu tempuh dari perkebunan ke penggilingan, sebab kualitas TBS (Fresh Fruit Brunch-FFB) akan menurun dalam 48 jam setelah pemetikan;
-       Peningkatan kapasitas dan kualitas rel kereta api di beberapa lokasi untuk mengangkut CPO dari penggilingan sampai ke pelabuhan;
-       Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO. Saat ini terjadi kepadatan di pelabuhan sehingga menyebabkan waktu tunggu yang lama (3-4 hari).

Analisa Deskriptip Kebijakan Industri CPO di Indonesia
Kebijakan pajak ekspor CPO yang dicanangkan diharapkan mampu memposisikan urutan prioritas secara tepat untuk mencari solusi terhadap masalah ekonomi yang mendesak. Namun bila tanpa perhitungan yang matang, Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PE hanya akan menambah mata rantai pungutan disamping biaya yang tak terduga dan yang selama ini telah meningkatkan ongkos produksi dan menghambat pertumbuhan sektor industri, khususnya dalam industri CPO. Justru Hal ini semakin mempertegas bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditekan oleh biaya tinggi. Implikasi persoalan ini secara sosial adalah penurunan daya serap sektor industri terhadap tenaga kerja semakin menurun.
Besaran PE bulan berjalan ditetapkan berdasarkan HPE CPO bulan sebelumnya. Artinya, persentase PE bulan April misalnya, ditentukan oleh harga rata-rata CPO bulan Maret. Oleh karena itu, PE yang berlaku bulan Maret sebesar 15 persen, sebab HPE CPO di pasar Rotterdam Belanda mendekati US$ 1300 per ton. Jika, selama bulan April mendatang rata-rata HPE melebihi US$ 1300 per ton, maka pelaku industri yang menjual CPO-nya ke luar negeri akan dikenakan biaya sebesar 20 persen.
Di pasar internasional, harga komoditas minyak sawit telah menunjukkan perkembangan yang cukup baik.. Harganya kini sudah sekitar 60 persen mengacu pada bursa komoditas di dalam negeri, sedangkan yang 20 persen ditentukan oleh bursa Rotterdam yang didominasi pembeli, serta 20 persen oleh bursa Kuala Lumpur. Kondisi ini didukung oleh tumbuhnya sejumlah perusahaan minyak sawit di dalam negeri yang memberi kontribusi besar terhadap produksi minyak sawit nasional, yaitu sekitar 31 juta ton, separuh lebih dari produksi minyak sawit dunia yang sebesar 58,1 juta ton pada tahun panen 2013/2014. Ekspor minyak sawit pun terus naik menjadi sebesar 21 juta ton atau hampir 50 persen dari total ekspor global[3].
Besaran tarif Bea Keluar berlaku berdasarkan harga referensi yang diperoleh dari rata-rata tiga sumber harga yakni harga CPO di pasar Rotterdam, Bursa Malaysia dan Bursa Komoditi Derivatif Indonesia dengan bobot lebih besar pada bursa Indonesia. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi sawit dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan mulai berlaku 14 September 2011[4].
Mengingat PMK 128/2011 mengatur barang ekspor lain yang dikenakan Bea Keluar sehingga PMK 128/2011 telah mengalami perubahan dua kali yakni dengan PMK 75/2012 dan PMK 128/2013. Namun susunan tarif Bea Keluar minyak sawit dan produk turunannya tidak berubah sama sekali. Berikut ini adalah susunan tarif Bea Keluar kelapa sawit, CPO dan produk turunannya :
Kebijakan Bea Keluar merupakan bagian dari upaya pemerintah lainnya untuk mendorong hilirisasi industri sawit  yakni pemberian insentif pajak, penyediaan energi dan pembangunan infrastruktur. Namun bagi pelaku usaha, Bea Keluar merupakan penggerak utama (prime mover) berjalannya roda hilirisasi industri sawit. Dampak restrukturisasi tarif Bea Keluar (PMK 128/2011 juncto PMK 75/2012 juncto PMK 128/2013) setidaknya terlihat dari hal-hal berikut ini:
1.      Pertama, utilisasi industri minyak goreng/refinery Indonesia sampai dengan akhir tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 80% dari hanya sekitar 45% di tahun 2010.
2.      Kedua, Terdapat penambahan kapasitas refinery yang semula 21 juta ton pada tahun 2011 menjadi sekitar 30 juta ton hingga akhir tahun 2012, serta diproyeksikan meningkat sampai 45 juta ton pada awal tahun 2014. kapasitas terpasang untuk industri oleochemical dari kelapa sawit naik dari 1400 ribu ton setiap tahun pada 2011 menjadi 2200 ribu ton per tahun pada 2014.
3.      Ketiga, jumlah investor yang menanamkan modalnya di bidang industri hilir kelapa sawit pasca PMK 128/2011 mencapai sekitar USD 860 juta.[5]                                                 
Pemerintah juga  telah menyetujui pemberian fasilitas tax-holiday kepada PT Unilever Oleochemical Indonesia (PT UOI) untuk memperoleh fasilitas tax-holiday dalam menghasilkan produk oleochemical dari kelapa sawit. Saat ini menyusul beberapa perusahaan industi hilir kelapa sawit sedang mengajukan permohonan untuk mendapat fasilitas tax holiday (PMK 130/2011). Beberapa kelompok perusahaan kelapa sawit dan perusahaan multinasional menetapkan investasi industri hilir yakni:        
Menurut Dirjen Industri Agro Kemenperin, Benny Wahyudi dalam Diskusi Panel Revitalisasi dan Penumbuhan Industri Hasil Hutan dan Perkebunan di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Kendati begitu, porsi ekspor CPO Indonesia tiap tahun terus bergerak ke arah hilir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan ekspor produk olahan CPO akan mencapai 60% dari seluruh produk CPO yang diprediksi mencapai 18 juta ton. Salah satu indikasinya tahun ini, kata Benny, akan ada lima perusahaan besar yang mulai menjalankan industri CPO di dalam negeri seperti Unilever dan Sinar Mas.[6] Untuk memanfaatkan peluang pengembangan industri pengolahan kelapa sawit, lanjut Benny, maka dipilihlah tiga lokasi potensial untuk dikembangkan klaster industri hilir kelapa sawit, yaitu Sei Mangke (Sumatera Utara), Dumai (Riau), dan Maloy (Kalimantan Timur).
Sementara itu pengamat ekonomi Aviliani menilai, guna mengoptimalkan kinerja industri hilir CPO, perlu adanya pembenahan infrastruktur dengan memperbanyak industri kimia dan kebijakan pajak. Yaitu dengan pembaerlakuan Pajak bukan lagi PPN melainkan pajak penjualan. Jadi, end goods yang dikenai pajak.
Menurut Cornelius Tjahjaprijadi Berdasarkan hasil dari simulasi dampak kenaikan harga minyak sawit internasional terhadap pertumbuhan PDB dari komponen pengeluaran dan sektor produksi diketahui bahwa kenaikan harga minyak sawit internasional memberi efek positif terhadap PDB dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, serta beberapa sektor produksi. Dampak positif ini disebabkan oleh intensitas produksi minyak sawit yang meningkat di dalam negeri seiring dengan meningkatnya luas lahan kelapa sawit. Di samping itu juga desakan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak semakin menguat. Sedangkan pada beberapa sektor produksi, dampak dari kenaikan harga minyak sawit internasional disebabkan oleh faktor dukungan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit dan produk turunan yang dihasilkan dari produksi minyak sawit. Kondisi ini menyebabkan produksim menjadi ikut terpengaruh sebagai akibat adanya kenaikan harga minyak sawit, terutama pada sektor pupuk dan minyak lemak.[7]
Tabel di bawah ini menunjukkan adanya pergeseran (shifting) ekspor CPO Indonesia dari dominasi minyak mentah menjadi produk turunan, dimana terlihat sejak September 2011 hingga saat ini produk olahan (derivative product) makin dominan. Dengan demikian nilai ekspor meningkat seiring kenaikan nilai tambah yang dinikmati oleh ekonomi domestic:
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Bachrul Chairi mengatakan penetapan HPE periode Juni 2014 dilakukan setelah memperhatikan rekomendasi dan hasil rapat koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Khususnya untuk menyikapi perkembangan harga komoditas baik nasional maupun internasional.
Penetapan HPE atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang dikenakan Bea Keluar Periode Juni 2014 adalah produk minyak sawit mentah (CPO), biji kakao, kayu, dan kulit. Penetapan HPE CPO didasarkan pada harga referensi CPO yaitu US$ 915,26 per metrik ton, turun 1,9% dari bulan sebelumnya. Dari dasar tersebut, didapat HPE CPO Juni 2014 sebesar US$ 844 per metrik ton, turun 2% dibandingkan bulan sebelumnya. Untuk bea keluar BK CPO, ditetapkan 12% sesuai PMK No 128/2013, tidak berubah dibandingkan dengan bulan sebelumnya.[8]
Pajak ekspor merupakan pajak yang dikenakan kepada konsumen di luar negeri (konsumen di negara pengimpor), sehingga konsumen di negara pengimpor akan menerima harga yang lebih tinggi dari pada konsumen dalam negeri. Pajak ekspor ini merupakan salah satu langkah untuk perlindungan strategis industri pengolahan dalam negeri dan juga merupakan upaya untuk menjaga kestabilan harga domestik. Sama halnya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya, kebijakan pembebanan pajak ekspor ini juga memiliki sisi pro dan kontra. Ada golongan tertentu yang dirugikan dengan adanya kebijakan ini, dan ada pula golongan tertentu yang diuntungkan oleh kebijakan ini. Hal itu dapat dilihat pada pemberlakuan pajak ekspor terhadap CPO. Pemberlakuan pajak ekspor ini memiliki dampak yang signifikan terhadap CPO di Indonesia. Pada tahun 2002 pajak ekspor sebesar 3%, pada tahun 2004 sebesar 1,5%, dan kemudian pada tahun 2007 sebesar 6,5%.

Peningkatan pembebanan dan pajak ekspor memiliki dampak negatif terhadap  area kelapa sawit di Indonesia. Area kelapa sawit akan berkurang 0,52%. Ketika pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 15%, area budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,04%. Saat pemerintah meningkatkan pajak ekspor hingga 20%, area budidaya kelapa sawit di Indonesia berkurang sebesar 1,38%. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak ekspor secara signifikan mengurangi luas area perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selain dampak negatif pada luas area budidaya kelapa sawit, pajak ekspor juga akan berdampak negatif terhadap produksi CPO. Dampak pajak ekspor jelas pada jumlah CPO yang diproduksi di Indonesia. Saat 7,5% pajak ekspor diterapkan, produksi berkurang sebesar 0,124%. Saat  pajak ditingkatkan menjadi 15% oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan menerjemahkan 0,28%. Saat  pajak ditingkatkan menjadi 20% oleh pemerintah, produksi CPO Indonesia dikurangi dengan menerjemahkan 0,34%. Pembebanan pajak ekspor akan menyebabkan berkurangnya lahan budi daya kelapa sawit dan menurunnya produksi CPO.       
Pembebanan pajak ekspor ini juga akan berdampak negatif terhadap volume ekspor CPO. Saat 7,5% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 3,26%. Saat 15% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 6,27 %. Saat 20% pajak ekspor diterapkan, volume ekspor akan berkurang sebesar 8,22%. Hal ini disebabkan pembebanan pajak ekspor oleh suatu negara, dalam hal ini Indonesia, akan membuat harga yang diterima konsumen di banyak negara pengimpor akan semakin tinggi. Tingginya harga yang diterima konsumen akan menyebabkan berkurangnya permintaan terhadap CPO, sehingga ekspor pun akan menurun.
Di sisi lain, kebijakan pajak ekspor memberikan manfaat besar bagi konsumen. Pada tabel diatas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan ini menyebabkan harga CPO dalam negeri lebih rendah. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 7,5 %, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 2,74%, atau  2,74% lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pajak ekspor. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 15%, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 5,38%. Saat pemerintah menetapkan pajak ekspor  sebesar 20%, maka harga CPO dalam negeri akan menurun sebesar 7,04% Peningkatan lebih lanjut dalam pajak ekspor CPO akan bermanfaat bagi konsumen dalam negeri.
Dari penjelasan diatas, jelas diketahui bahwa kebijakan pajak ekspor akan merugikan produsen CPO (beberapa dari mereka adalah petani kecil). Pembebanan pajak ekspor tersebut akan menyebabkan harga di konsumen luar negeri akan menjadi lebih tinggi, sehingga permintaan akan CPO dari luar negeri akan berkurang, yang tentunya akan mengurangi volume ekspor CPO Indonesia ke negara lain. Berkurangnya volume ekspor ke negara lain akan menyebabkan bertambahnya supply CPO di dalam negeri. Bertambahnya supply CPO dalam negeri akan menjaga kestabilan harga CPO domestik atau bahkan akan menurunkan harga CPO dalam negeri. Rendahnya harga CPO dalam negeri akan mempengaruhi produsen CPO, petani kelapa sawit akan mengurangi produksinya dengan cara mengurangi lahan budi daya kelapa sawitnya dan menggantinya dengan tanaman lain, turunnya luas area yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit akan menyebabkan menurunnya produksi kelapa sawit, yang pasti juga akan berdampak pada menurunnya produksi CPO. Menurunnya harga CPO, akan memberikan manfaat bagi konsumen dan masyarakat secara umum, karena turunnya harga CPO, tentunya akan berdampak pada turunnya harga minyak goreng di tingkat konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan kebijakan pajak ekspor akan merugikan petani kelapa sawit dan menguntungkan konsumen. Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen dan menambah surplus konsumen.
            Indonesia merupakan eksportir CPO terbesar di dunia sejak tahun 2006, menggeser Malaysia. Total produksi sawit bahkan telah menyumbang sekitar 45 persen total produksi sawit dunia. Dengan negara tujuan utama ekspornya seperti Amerika, China, India, dan negara Eropa lainnya.
            Dalam mengantisipasi penurunan penerimaan devisa negara, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan ekspornya. Dalam kasus ini, akan menganalisis lebih lanjut perdagangan CPO Indonesia dengan Uni Eropa.
            Ekspor minyak sawit dan turunannya mengalami peningkatan jumlah dan nilai setiap tahunnya. Seperti pada periode 2004-2008 terjadi peningkatan ekspor sebesar 37,96%. Indonesia sendiri termasuk negara produsen sekaligus konsumen minyak sawit (dalam kondisi tertentu untuk mencukupi kebutuhan minyak sawit dalam negeri).
            Dukungan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pengembangan industri minyak sawit secara umum, diantaranya melalui pembebasan pajak pertambahan nilai terhadap Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit, subsidi bagi kredit pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan, pemberian insentif melalui pengurangan pajak industri hilir minyak sawit, perbaikan penetapan tarif bea masuk dan penetapan harga produk ekspor. Pengambangan komoditas minyak sawit dan produk turunannya perlu dilakukan dalam rangka memanfaatkan pasar global. Selain untuk menyumbang dalam pendapatan negara, pengembangan komoditas minyak sawit dan turunannya berperan dalam mengatasi salah satu permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat, yaitu penyedia lapangan pekerjaan.
            Untuk ekspor dengan tujuan negara-negara Uni Eropa, terdapat suatu aturan/kesepakatan antara negara terkait, yang dikenal dengan REACH (Registration, Authorisation and Restriction of Chemicals). Aturan yang diterapkan UE terkait penggunaan bahan kimia yang aman ini, dianggap dapat mengurangi daya saing ekspor CPO dan turunannya. Setiap impor yang masuk ke UE diwajibkan melakukan registrasi/pendaftaran kepada European Chemicals Agency (ECHA) mengenai kandungan bahan kimia. Pendaftaran produk dapat dilakukan oleh negara eksportir non UE dengan menujuk sebuah perusahaan yang didirikan UE yang bertindak sebagai perwakilan satu satunya  Pada akhirnya, aturan tersebut kemudian mengharuskan negara eksportir (seperti Indonesia) menambah biaya.
            Tantangan lain yang juga dihadapi Indonesia selaku negara pengimpor CPO adalah adanya tarif bea masuk, yang dalam kasus UE ini, Indonesia dikenakan tarif bea masuk sebesar 3,8%. Hal ini menyebabkan harga CPO meningkat di negara tujuan ekspor (Eropa).
Model Benefit Analisis Ekspor Kelapa Sawit, Indonesia -  Negara Uni Eropa.
Keterangan Kurva :

Analisis :
1.      Untuk komoditas kelapa sawit/CPO, Indonesia menjadi eksportir bagi negara-negara Uni Eropa. Dalam transaksinya, di Eropa sendiri diterapkan aturan adanya biaya masuk/pajak yang dikenakan terhadap barang yang masuk ke dalam pasar domestiknya.
2.      Kurva pada ‘home market’ menggambarkan kondisi impor CPO Eropa terhadap Indonesia. E1 merupakan titik equilibrium jumlah Supply dan Demand sebelum terjadinya perdagangan antara kedua negara. Harga CPO domestik Eropa sebelum terjadinya perdagangan lebih tinggi dibandingkan dengan harga CPO dunia. Hal ini menyebabkan Eropa mengimpor CPO dari Indonesia. Di lain kasus Indonesia sebagai eksportir CPO, dengan kondisi harga domestiknya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga CPO dunia.
3.      Negara-negara Uni Eropa menetapkan kebijakan tarif impor untuk CPO yang masuk ke domestiknya. Akibatnya, dalam kurva dapat terlihat terjadi pergeseran harga, supply dan demand (digambarkan dengan garis putus-putus merah). Harga CPO di Eropa kemudian bergeser sedikit lebih turun, namun tetap berada di atas harga dunia. Sedangkan harga CPO domestik Indonesia sebagai eksportir, mengalami sedikit peningkatan namun tetap berada di bawah harga dunia.
Terkait Isu ACFTA
Berbagai produk yang masuk dalam daftar kategori EHP ditetapkan melalui dua kerangka, yaitu kerangka ACFTA dan kerangka bilateral Indonesia-Cina. Dalam kerangka ACFTA sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menkeu No. 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA, produk binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran dan buah-buahan dimasukkan dalam kategori EHP. Sedangkan dalam kerangka bilateral, Keputusan Menkeu No. 356/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA memasukkan produk kopi, minyak kelapa/CPO, coklat, barang dari karet dan perabotan ke dalam kategori EHP.
Dari sini kita bisa belajar bahwa salah satu strategi Cina menembus pasar Indonesia adalah dengan menguasai SNI. Indonesia perlu lebih ekspansif ke pasar Cina dan berupaya menguasai standar nasional Cina untuk mempermudah akses masuk ke pasar Cina.  dari survei dampak ACFTA yang dilakukan Kementerian Perindustrian, tercatat lima sektor industri paling terpukul oleh dampak ACFTA yaitu elektronik, furnitur, logam, permesinan dan tekstil.[9]

Penelitian Kelapa Sawit dan Perbandingannya dengan komoditas utama dunia
Jenis penelitian ini merupakan penelitian terapan (applied research) dimana penelitian ini bertujuan untuk menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam  memecahkan masalah-masalah praktis. Sedangkan menurut tingkat eksplanasi, penelitian ini merupakan penelitian asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara indeks harga komoditi utama dunia terhadap harga minyak kelapa sawit mentah di Indonesia periode Januari 2005-November 2008. dalam penelitian ini sebagai variabel independen adalah Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dan sebagai variabel dependen yaitu Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah.
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel Penelitian
VARIABEL
DEFINISI VARIABEL
SATUAN
Indeks Harga Komoditi Utama Dunia
Indeks Harga Komoditi Dunia adalah harga rata-rata normal yang ditetapkan untuk setiap barang dan jasa disetiap negara selama batas waktu tertentu.
%
Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia
Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia adalah harga yang terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran kelapa sawit di dunia.
US$
Sumber: peneliti,2009.
            Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) bulanan periode Januari 2005-November 2008.
            Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dimana suatu metode yang datanya berupa angka yang dapat dihitung untuk menghasilkan penafsiran kuantitatif yang kokoh. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa linear sederhana yang bertujuan untuk mengetahui koefisien regresi atau besarnya hubungan antara variabel indeks harga komoditi utama dunia terhadap variabel harga kelapa sawit mentah di Indonesia.
Hasil Pembahasan
Analisis regresi ini menggunakan statistik regresi linear sederhana antara indeks harga komoditi utama dunia dengan harga minyak kelapa sawit mentah yang akan dijelaskan pada tabel 2 di bawah ini: 










  
Tabel 2. Pengaruh Indeks Harga Komoditi Utama Dunia terhadap Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah di Indonesia
Tabel 3. Regresi Linear Sederhana antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T
Sig.
B
Std. Error
Beta
1
(Constant)
-653.896
75.037

-8.714
.000
IHK.UtamaDunia
3.102
.183
.930
16.947
.000
a. Dependent Variable: Harga CPO
Sumber : Data Analisis Output SPSS Versi 16



Harga CPO (Y) = -653,896 + 3,102X (Indeks Harga Komoditi Utama Dunia). Jika perusahaan tidak memperhitungkan Indeks Harga Komoditi Utama Dunia , maka Harga CPO di Indonesia sebesar Rp653,896. Nilai b = 3,102 yang menandakan bahwa jika Indeks Harga Komoditi Utama Dunia naik 1 persen, maka Harga CPO akan naik Rp3,102.
Analisis hubungan ini menggunakan statistik koefisien korelasi sederhana antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah yang akan dijelaskan pada tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4 Koefisien Korelasi Sederhana Antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah
Model Summaryb

Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate


1
.930a
0.865
0.862
96.52882

a. Predictors: (Constant): Indeks Harga Komoditi Utama Dunia
b. Dependent Variable: Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah
Koefisien korelasi antara Indeks Harga Komoditi Utama Dunia dengan Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah sebesar 0,930 yang mengartikan bahwa Indeks Harga Komoditi Utama Dunia memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah. Sedangkan koefisien determinan antara indeks harga komoditi utama dunia dengan harga minyak kelapa sawit mentah sebesar 0,865 atau 86,5 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa indeks harga komoditi utama dunia dapat menjelaskan atau mempengaruhi  harga minyak kelapa sawit mentah sebesar 86,5 persen sedangkan sisanya yaitu 13,5 persen dipengaruhi oleh variabel lain.
Pengujian hipotesis individual apakah suatu variabel independen berpengaruh atau tidaknya terhadap variabel dependen dalam penelitian ini  menggunakan tingkat nyata (level of significance) sebesar α = 0,05 atau 5 persen .
Tabel 5 Hasil Analisis Uji t
Variabel Independen
Nilai t Hitung
Nilai t Tabel
Taraf t Stat. Signifikan
Taraf Signifikan
Kesimpulan
IHK Utama Dunia
16,947
2,014
0,00
0,05
Ho ditolak
Sumber: Data diolah
Nilai t hitung dari indeks harga komoditi utama dunia = 16,947 dan dilihat dari t tabel= 2,014 maka t hitung 16,947 > t tabel 2,014 dan nilai signifikan 0,00 < 0,05; artinya Ho ditolak dan Ha diterima yang menyatakan bahwa indeks harga komoditi utama dunia mempunyai hubungan dan positif signifikan terhadap perkembangan harga minyak kelapa sawit mentah.

3.      KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang digunakan dalam penelitian ini, serta hasil analisis yang diperoleh dapat membuktikan bahwa indeks harga komoditi utama dunia sangat berpengaruh terhadap harga minyak kelapa sawit mentah di Indonesia
Nilai koefisien determinasi sebesar 0,865 atau sebesar 86,5% dimana menunjukkan bahwa indeks harga komoditi utama dunia mempunyai hubungan dengan harga minyak kelapa sawit mentah sebesar 86,5% sedangkan sisanya yaitu 13,5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain dan signifikansi pengaruh parsial memperoleh t hitung 16,947 > t tabel 2,014 dan nilai signifikan 0,000 < 0,05; artinya Ho ditolak dan Ha diterima yang menyatakan bahwa indeks harga komoditi utama dunia mempunyai hubungan positif terhadap perkembangan harga minyak kelapa sawit mentah di Indonesia.
Kesimpulan dari penulisan ini antara lain :
1.      Kebijakan pajak ekspor akan menjaga harga CPO domestik tetap stabil.
2.      Kebijakan pajak ekspor akan mengurangi surplus produsen (luas area, produksi CPO, volume  ekspor akan berkurang) dan menambah surplus konsumen (harga minyak goreng akan berkurang).
Kenaikan harga minyak sawit internasional tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu konsumsi domestik dan impor memiliki pola yang sama dengan jangka pendek, yaitu terkena dampak yang positif. Perbedaan dampak terdapat pada ekspor, dimana kenaikan harga minyak sawit internasional memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekspor. Untuk mencegah terjadinya rush export minyak sawit akibat kenaikan harganya di pasar internasional, pemerintah dapat menerapkan kebijakan domestic market obligation untuk menjaga pasokan kebutuhan di dalam negeri, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengurangan ekspor.
1.      Kinerja ekspor produk turunan CPO menunjukkan perkembangan positif, yang ditunjukkan dari kontribusinya terhadap ekspor produk olahan CPO yang terus meningkat melampaui ekspor minyak sawit mentahnya.
2.      Kebijakan Bea Keluar meskipun bukan satu-satunya kebijakan mendorong hilirisasi ternyata merupakan penggerak utama (prime mover) dalam menarik investasi industi hilir kelapa sawit dengan nilai mencapai sekitar USD 860 juta baik yang telah dan akan direalisasikan.
3.      Kebijakan bea keluar CPO dan Produk Turunannya terbukti telah menghasilkan capaian positif di sektor investasi dan hilirisasi industi, untuk itu pemerintah hendaknya.

Saran
Diharapkan pemerintah dapat menetapkan pajak ekspor yang tepat, sehingga akan membawa kebaikan pada produsen dan konsumen. Setidaknya, bagi produsen pajak ekspor tersebut akan memberikan keuntungan yang cukup untuk merehabilitasi perkebunan mereka, dan bagi konsumen pajak ekspor tersebut menjadi kontrol agar harga minyak yang diterima konsumen tidak terlalu tinggi.

REFERENSI
Agrofarm, 2104, Kebijakan Pajak Dongkrak Industri Hilir, 9 Januari 2014, (http://www.agrofarm.co.id/read/perkebunan/278/kebijakan-pajak-dongkrak-industri-hilir).
Berita Satu (2013), Menjadi Penentu Harga, 28 November 2013 (http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/3018-menjadi-penentu-harga.html).
Cornelius Tjahjaprijadi, Dampak Kenaikan Harga Minyak Sawit Internasional Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Suatu Model Computable General Equilibrium).
Detikfinance, 2014, Ini Harga Referensi dan Patokan Ekspor Komonitas untuk Juni, 27 Mei 2014 (http://finance.detik.com/read/2014/05/27/110904/2593233/1036/ini-harga-referensi-dan-patokan-ekspor-komoditas-untuk-juni).
Hedwigis Esti R dan Fabiola, Analisis Hubungan Indeks Harga Komoditas Utama Dunia Terhadap Harga Minyak Kelapa Sawit Mentah Di Indonesia Periode 2005–2008.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Kajian Signifikansi Bea Keluar Terhadap Hilirisasi Industri Sawit (diakses dari www.fiskal.depkeu.go.id).
Maria Irene Hutabarat (2008), Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit. Skripsi S1 Institut Pertanian Bogor.
Siti Oktovani, Analisis Perdagangan Komoditi Indonesia (Gula dan Kelapa Sawit).



LAMPIRAN

TABEL 1. PERSAMAAN KEBIJAKAN PAJAK IMPOR DENGAN KEBIJAKAN HARGA MINIMUM KOMODITI BERAS
KEBIJAKAN
PERIHAL
KEBIJAKAN PAJAK IMPOR
KEBIJAKAN HARGA MINIMUM
1.      Keberpihakan
Produsen
Produsen
2.      Dampak terhadap              konsumen
Consumer’s loss
Consumer’s loss
3.      Dampak terhadap Produsen
Producer’s gain
Producer’s gain
4.      Dampak berupa inefisiensi
Ada inefisiansi
Ada inefisiansi
5.      Output
Produksi meningkat karena ada insentif
Produksi meningkat karena ada insentif
6.      Harga
Harga lebih tinggi dari harga seharusnya yang dibayar konsumen
Harga lebih tinggi dari harga seharusnya yang dibayar konsumen
7.      Distribusi
Stok melimpah, distribusi lancar
Stok melimpah, distribusi lancar

TABEL 2. PERBEDAAN KEBIJAKAN PAJAK IMPOR DENGAN KEBIJAKAN HARGA MINIMUM KOMODITI BERAS
                   KEBIJAKAN
PERIHAL
KEBIJAKAN PAJAK IMPOR
KEBIJAKAN HARGA MINIMUM
1.      Pengaruh musim
Tidak berpengaruh
Berpengaruh
2.      Pengaruh exchange
Berpengaruh
Tidak berpengaruh
3.      Pendapatan pemerintah
Pemerintah menerima pendapatan
Pemerintah tidak menerima pendapatan
4.      Pengeluran pemerintah
Tidak ada pengeluaran
Ada pengeluaran
5.      Pengaruh harga beras dunia
Berpengaruh
Tidak berpengaruh
6.      Cakupan wilayah
Luar negeri
Domestik
7.      Subsidi Pemerintah
Tidak ada subsidi
Ada Subsidi





[1] Berdasarkan urutan abjad
[2] Maria Irene Hutabarat (2008), Analisis Pengaruh Pajak Ekspor Terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit. Skripsi S1 Institut Pertanian Bogor
[4] Kajian Signifikansi Bea Keluar Terhadap Hilirisasi Industri Sawit. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. Diakses dari www.fiskal.depkeu.go.id
[7] Cornelius Tjahjaprijadi. Dampak Kenaikan Harga Minyak Sawit Internasional Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Suatu Model Computable General Equilibrium)
[9] ASEAN-CHINA FTA:  DAMPAKNYA TERHADAP EKSPOR INDONESIA DAN CINA1 ASEAN-China FTA: The Impacts on The Exports of Indonesia and China Sigit Setiawan Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan-RI, Jl. Dr. Wahidin 1 Jakarta 10710, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vo. 6 No. 2 Bulan Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar