Presented by :
Desy Ery & Nurul Shiyam
Aprila
(Magister Manajemen Syariah - EK18)
PENDAHULUAN
Al
Quran sebagai pedoman hidup mati utama umat islam telah seringkali dibuktikan
keilmiahan dan kesempurnaanya baik oleh ilmuwan muslim maupun non muslim.
Berawal dari konsep habluminnallah dan habluminannas, maka lahirlah banyak
cabang ilmu dan pengetahuan yang kemudian terbagi menjadi ilmu aqidah dan
muamalah.
Atas
praktek muamalah yang sudah terjadi sejak Nabi Adam lahir di dunia ini maka
posisi al Quran bukanlah sebagai pencatat kejadian pada saat kenabian
Rasulullah saja tapi juga sebagai pelurus praktek praktek muamalah pada saat
itu yang kemudian menjadi panutan bagi praktek muamalah umat islam sampai saat
ini.
Melihat
tujuan dari ekonomi islam sendiri adalah maslahat bagi umat manusia, maka
kegiatan produksi yang menjadi bagian dari kegiatan ekonomi juga harus menjadi
maslahat, baik mulai dari sumber, prosedur, mekanisme, sampai hasilnya harus lebih
besar maslahahnya daripada mudharatnya.
Paper
ini akan secara ringkas mengulas mengenai dasar hukum produksi dan etika kerja
dalam islam yang sesuai dengan kondisi perkembangan perkonomian saat ini
berdasarkan al-Quran dan hadist.
PEMBAHASAN
I.
Produksi
- Pengertian Produksi
Mannan menyatakan bahwa system produksi dalam Islam
harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria yang
objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi
uang, dan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari
segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an
dan Sunnah[1]. Jadi dalam
Islam, keberhasilan sebuah system ekonomi tidak hanya disandarkan pada segala
sesuatu yang bersifat materi saja, tapi bagaimana agar setiap aktifitas ekonomi
termasuk produksi, bisa menerapkan nilai-nilai, norma, etika, atau dengan kata
lain adalah akhlak yang baik dalam berproduksi. Sehingga tujuan kemaslahatan
umum bisa tercapai dengan aktifitas produksi yang sempurna.
Sedangkan
al Ghazali menyebutkan dalam Ihya Ulumuddin bahwa pengertian produksi adalah
pengerahan secara maksimal sumber daya alam oleh sumber daya manusia agar
menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia.[2]
Apa yang menjadi batasan “secara maksimal” dalam pengertian di atas? Pertama,
produsen hanya menghasilkan barang/jasa yang dibutuhkan, bukan hanya yang di
inginkan konsumen dan memiliki manfaat riil sesuai bagi kehidupan yang islami
bukan hanya demi kepuasan pelanggan. Kedua, Kuantitas produksi tidak
boleh berlebihan, cukup sebatas kebutuhan yang wajar agar tidak menimbulkan
kemubaziran. Efek lainnya juga agar sumber daya alam yang ada tidak cepat
terkuras habis. Ketidakseimbangan produksi baik kekurangan maupun kelebihan
sangat berpotensi menyebabkan terciptanya kerusakan kondisi masyarakat.[3]
Sedangkan terminologi produksi dalam fikih Umar ibn
Khattab adalah memperbaiki harta, berusaha, memakmurkan, dan bekerja. Sehingga
makna semua aktivitas produksi barang dan jasa adalah memperbaiki apa yang
dimiliki dan dimanfaatkan oleh pemilik dan masyarakat. Sehingga nilai akhir
dari produksi adalah kesungguhan bekerja (jihad fi sabilillah).[4]
- Ayat dan Terjemah Al-Quran tentang Produksi
- Produksi dalam al-Quran
QS. al Ankabut: 62
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ
مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
Allah melapangkan rezeki bagi orang yang
Dia kehendaki di antara hamba- hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasi baginya.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
al Ankabut: 62
Pada ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa Dialah yang
melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang
menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dia sendirilah yang
berkuasa untuk menentukan rezeki itu, karena itu janganlah kamu wahai
orang-orang yang beriman enggan berhijrah karena takut miskin, Allah memberi
rezeki di mana saja kamu berada baik kamu berada di negerimu sendiri, atau di
negeri orang atau dalam perjalanan, maupun di waktu kamu sedang ditawan musuh
Allah SWT.
Umar ibn
Khattab menulis surat untuk gubernurnya abu Musa “Bersikaplah qanaah dengan
rezeki kamu karena sesungguhnya Allah melebihkan sebagian hamba hambaNya atas
sebagian yang lain dalam rezeki sebagai ujian bagi masing-masing. Dia menguji
orang diberiNya keluasan rezeki, bagaimana dia bersyukur padaNya. Mensyukuri
rezeki kepada Allah adalah menggunakannya untuk kebenaran yang ditetapkan
Allah”.[5]
b. Perintah
mencari nafkah
QS. al
Israa: 12
وَجَعَلْنَا
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ
النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُواْ
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلاً
Artinya :
Dan Kami jadikan malam dan
siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda
siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami
terangkan dengan jelas.
Tafsir al
Israa: 12
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan Nya yang ada di alam semesta, dengan maksud agar supaya
manusia memikirkan dan merenungi Penciptanya. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia
menciptakan malam dan siang, masing-masing sebagai tanda kekuasaan Nya. Siang
dan malam merupakan dua peristiwa yang selalu silih berganti yang sangat
berguna bagi kemaslahatan man usia dalam menjalankan kewajiban agama dan
urusan-urusan duniawi.
Di samping itu adanya pergantian siang
dan malam merupakan anugerah yang dapat dirasakan secara langsung oleh manusia
dalam kehidupan mereka sehari hari. Di waktu siang mereka dapat berusaha
memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan di waktu malam mereka dapat beristirahat
untuk melepaskan lelah. Allah SWT menjelaskan lebih lanjut bahwa Dialah yang
menghapuskan tanda-tanda malam yaitu hilangnya cahaya matahari dan ufuk barat,
sehingga lama kelamaan hari menjadi gelap gulita. Hal ini merupakan tanda
kekuasaan Nya pula. Dan Allah menjadikan tanda-tanda siang bercahaya, maksudnya
Allah menjadikan siang yang terang benderang itu sebagai tanda kekuasaan Nya
pula, dan juga untuk memberikan kesempatan kepada manusia untuk mencari
kebutuhan hidup untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Kecuali itu,
perubahan siang dan malam itu sangat berguna bagi manusia untuk mengetahui
bilangan tahun, bulan dan hari serta perhitungannya, terkecuali di daerah kutub
utara dan selatan.
QS. al
Qoshash: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ
وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ
إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
Artinya :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Tafsir al
Qashas: 77
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan empat macam
nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Karun oleh kaumnya. Barangsiapa
mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan memperoleh kesejahteraan di dunia dan
di akhirat kelak.
1. Orang
yang dianugerahi oleh Allah SWT kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan
harta yang bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan
di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya
untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan di akhirat. Sabda Nabi
saw:
اغتنم خمسا قبل خمس شبابك قبل هرمك وصحتك قبل سقمك وغناك قبل فقرك وفراغك قبل
شغلك وحياتك قبل موتك
Artinya:
Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuanmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu. (H.R. Baihaki dari Ibnu Abbas)
Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuanmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu. (H.R. Baihaki dari Ibnu Abbas)
2. Janganlah
seseorang itu meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan,
minuman dan pakaian serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah SWT, karena baik
untuk Tuhan, untuk diri sendiri maupun keluarga, semuanya itu mempunyai hak
atas seseorang yang harus dilaksanakan. Sabda Nabi Muhammad saw:
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
Artinya:
Kerjakanlah (urusan) duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Don laksanakanlah amalan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok. (H.R. Ibnu Asakir)
Kerjakanlah (urusan) duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Don laksanakanlah amalan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok. (H.R. Ibnu Asakir)
3. Seseorang
harus berbuat baik sebagaimana Allah SWT berbuat baik kepadanya, membantu
orang-orang yang berkeperluan, pembangunan mesjid. madrasah, pembinaan rumah
yatim piatu di panti asuhan dengan harta yang dianugerahkan Allah kepadanya dan
dengan kewibawaan yang ada padanya, memberikan senyuman yang ramah tamah di
dalam perjumpaannya dan lain sebagainya.
4. Janganlah seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat
kepada sesama makhluk Allah, karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. Allah SWT tidak akan menghormati mereka, bahkan Allah tidak
akan memberikan rida dan rahmat-Nya.
QS. al Jumuah: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya :
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.
Tafsir al
Jumuah: 10
Pada ayat ini, Allah SWT mencela perbuatan orang-orang mukmin yang pada
waktu rombongan unta kafilah dagang tiba dan diadakan penyambutan
beramai-ramai, mereka pergi menjemputnya dan meninggalkan Nabi SAW. dalam
keadaan berdiri berkhutbah. Ayat ini ada hubungannya dengan peristiwa waktu
Dihyah Al Kalby tiba dari Syam (Suriah), bersama rombongan untanya membawa
barang dagangannya seperti tepung, gandum, minyak dan lain-lainnya. Sebagai
kebiasaan apabila rombongan unta dagangan tiba, wanita-wanita muda keluar
menyambutnya dengan menabuh gendang, sebagai pemberitahuan atas kedatangan rombongan
itu, supaya orang-orang datang berbelanja membeli barang dagangan yang
dibawanya. Di dalam suatu hadis diriwayatkan oleh Jabir disebutkan sebagai
berikut:
بينما النبي صلى الله عليه وسلم يخطب
يوم الجمعة قائما إذ قدمت عير فابتدرها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى لم
يبق إلا اثنا عشر رجلا أنا فيهم وأبو بكر وعمر فأنزل الله تعالى: وإذا رأوا تجارة
أو لهوا إلى آخر السورة
Artinya:
Tengah Nabi SAW. berdiri berkhutbah pada Jumat, tiba-tiba datanglah rombongan unta (pembawa dagangan), maka cepat-cepatlah sahabat Rasulullah SAW. mengunjunginya sehingga dada yang tinggal tekun (mendengarkan khutbah) kecuali 12 orang. Saya (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk mereka yang tinggal, maka Allah Taala menurunkan ayat: wa iza ra'au tijaratan au lahwan sampai akhir surat) (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Turmuzi dari Jabir bin Abdullah)
Tengah Nabi SAW. berdiri berkhutbah pada Jumat, tiba-tiba datanglah rombongan unta (pembawa dagangan), maka cepat-cepatlah sahabat Rasulullah SAW. mengunjunginya sehingga dada yang tinggal tekun (mendengarkan khutbah) kecuali 12 orang. Saya (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk mereka yang tinggal, maka Allah Taala menurunkan ayat: wa iza ra'au tijaratan au lahwan sampai akhir surat) (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Turmuzi dari Jabir bin Abdullah)
Selanjutnya Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya supaya menyampaikan kekeliruan
perbuatan mereka dengan menegaskan bahwa apa yang di sisi Allah yang bermanfaat
bagi akhirat jauh lebih baik daripada keuntungan dan kesenangan dunia yang
diperolehnya, karena kebahagiaan akhirat itu kekal, sedangkan keuntungan dunia
akan lenyap.
QS. al Mulk:
15
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي
مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya :
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Tafsir al
Mulk: 15
Ayat ini
menerangkan nikmat Allah SWT yang tiada terhingga yang telah dilimpahkan-Nya
kepada manusia, dengan menyatakan, "Wahai sekalian manusia, Tuhan telah
menciptakan bumi dan memudahkan untukmu, sehingga kamu dapat mengambil manfaat
yang tidak terhingga untuk kepentingan hidup dan kehidupanmu. Dia menciptakan
bumi itu bulat, terapung-apung di angkasa luas, tetapi manusia tinggal di
atasnya seperti berada di tempat yang datar terhampar, tenang dan tidak
bergoyang. Dengan perputaran bumi terjadilah malam dan siang, sehingga manusia
dapat berusaha pada siang hari dan beristirahat pada malam harinva. Padanya
memancarkan sumber-sumber mata air, yang mengalir air untuk diminum manusia dan
binatang ternak peliharaannya. Dengan air itu pula manusia mengairi kebun-kebun
dan sawah sawah mereka, demikian pula kolam-kolam tempat mereka memelihara
ikan. Dengan air itu pula mereka mandi membersihkan badan mereka yang telah
kotor, sehingga mereka merasa segar dan nyaman. Diciptakan-Nya pula
bukit-bukit, lembah-lembah, gunung-gunung yang menghijau yang menyejukkan hati
orang yang memandangnya. Dari celah-celah bukit itu mengalirlah sungai-sungai
dan di antara bukit-bukit dan lembah-lembah itu manusia membuat jalan-jalan
yang menghubungkan suatu negeri dengan negeri yang lain. Alangkah banyaknya
nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada manusia. Seandainya Allah menahan
suatu nikmat saja kepada manusia, misalnya tidak memberikan udara yang akan
dihirup. manusia akan mengalami penderitaan yang sangat. Siapakah yang dapat
mengingkari nikmat Allah yang demikian banyaknya itu?
Setelah
Allah SWT menerangkan bahwa alam ini diciptakan untuk manusia dan memudahkannya
untuk keperluan mereka, maka Dia memerintahkan agar mereka berjalan di muka
bumi, untuk memperhatikan keindahan alam, berusaha mengolah alam yang mudah
ini, berdagang, beternak, bercocok tanam dan mencari rezeki yang halal, karena
semua yang disediakan Allah itu harus diolah dan diusahakan lebih dahulu
sebelum dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia.
Dengan
memahami ayat ini dapat ditetapkan sebagai berikut:[6]
1.
Allah SWT memerintahkan agar manusia berusaha dan
mengolah alam untuk kepentingan mereka guna mendapatkan rezeki yang halal. Hal
ini berarti bahwa manusia yang tidak mau berusaha dan bersifat pemalas itu
bertentangan dengan perintah Allah SWT.
2.
Karena berusaha dan mencari rezeki itu termasuk
melaksanakan perintah Allah SWT., maka orang yang berusaha dan mencari rezeki
itu adalah orang yang menaati Allah. Menaati perintah Allah termasuk ibadat.
Dengan perkataan lain bahwa berusaha dan mencari rezeki itu bukan mengurangi
ibadat, tetapi memperkuat dan memperbanyak ibadat itu
sendiri. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Umar Ibnul Khattab, sesungguhnya ia
mendengar Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ حّقَّ تّوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقَ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَامًا وَتَرُوْحُ
بِطَانًا
Artinya:
Jika kamu sekalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan sesungguh hati, niscaya kamu akan diberi-Nya rezeki seperti Dia memberi rezeki burung. Pagi-pagi burung itu pergi mencari rezeki dengan perut yang kempis. Petang hari ia kembali ke sarangnya dengan perut yang berisi penuh. (HR. Ahmad dan Umar Ibnul Khattab)
Jika kamu sekalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan sesungguh hati, niscaya kamu akan diberi-Nya rezeki seperti Dia memberi rezeki burung. Pagi-pagi burung itu pergi mencari rezeki dengan perut yang kempis. Petang hari ia kembali ke sarangnya dengan perut yang berisi penuh. (HR. Ahmad dan Umar Ibnul Khattab)
Hadis ini
menunjukkan bahwa waktu sejak dini hari sampai petang adalah waktu mencari
rezeki, seperti yang telah dilakukan burung. Jika manusia benar-benar mau
berusaha sejak pagi sampai petang pasti Allah memberinya rezeki. Mereka tidak
akan kelaparan. Dari hadis ini juga dapat dipahami bahwa orang yang tidak mau
berusaha tidak akan diberi rezeki oleh Allah. Diriwayatkan oleh Al Hakim
dan Turmuzi dari Mu'awiyah bin Qurrah, berkata, "Pada suatu hari Umar bin
Khattab lewat di perkampungan suatu kaum, lalu beliau bertanya kepada kaum itu,
"Siapakan kamu?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang
bertawakal kepada Allah." Umar berkata, "Kamu bukanlah orang-orang
yang bertawakkal kepada Allah, melainkan orang-orang yang telah dimakan karat.
Adapun orang yang bertawakal kepada Allah ialah orang yang menanamkan benih ke
dalam tanah lalu ia bertawakal kepada Allah. Dalam berusaha mencari rezeki
itu agama Islam memberikan beberapa pedoman:
1. Agar
setiap manusia berusaha mencukupkan keperluan dirinya dan keluarganya. Orang
yang berangkat dari rumahnya pagi hari untuk berusaha mencari rezeki, termasuk
orang yang didoakan oleh Nabi Muhammad SAW agar diberkati Allah SWT:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا
Artinya:
Bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Wahai Allah, berkatilah umatku yang berangkat berusaha pagi-pagi". (HR. Tirmizi).
Bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Wahai Allah, berkatilah umatku yang berangkat berusaha pagi-pagi". (HR. Tirmizi).
2. Dalam berusaha itu hendaklah
mencari yang halal. Yang dimaksud dengan mencari yang halal ialah mencari
rezeki dengan cara-cara yang halal, tidak dengan mencuri, menipu dan
sebagainya. Rezeki yang dicari itu adalah rezeki yang halal, tidak yang haram,
seperti khamar, bangkai dan sebagainya, sesuai dengan hadis:
عَنْ
عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ يَعْنِيْ فِيْ طَلَبِ
الْحَلَالِ
Artinya:
Dari Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Taala ingin melihat hamba-Nya, dalam mencari yang halal" (HR. At Tabarani).
Dari Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Taala ingin melihat hamba-Nya, dalam mencari yang halal" (HR. At Tabarani).
Dan Hadis:
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: طَلَبُ الْحَلَالِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya:
Dari Anas bin Malik R.A. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Mencari rezeki yang halal wajib atas tiap-tiap muslim" (HR. At Tabarani).
Dari Anas bin Malik R.A. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Mencari rezeki yang halal wajib atas tiap-tiap muslim" (HR. At Tabarani).
Pada akhir
ayat, Allah SWT memberi peringatan kepada manusia bahwa semua makhluk akan
kembali kepada-Nya di Hari Kiamat nanti; waktu itu akan di timbang semua
perbuatan manusia. Amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang
perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka. Karena itu
hendaklah manusia lebih dahulu selalu mawas diri, berusaha melaksanakan amal
saleh sebanyak mungkin dan menilai serta meneliti perbuatan-perbuatan yang akan
dikerjakannya, berusaha memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang
terlanjur dilakukannya atau ia tidak menyadari bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu termasuk perbuatan yang dilarang Allah. Maka carilah rezeki
yang halal saja, jangan sekali-kali memakan rezeki yang diperoleh dengan cara
yang haram atau bendanya sendiri adalah benda yang haram. Ingatlah bahwa semua
makhluk tanpa ada kecualinya akan kembali kepada-Nya, Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
- Perintah pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
QS. an
Nahl:14
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ
لِتَأْكُلُواْ مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُواْ مِنْهُ حِلْيَةً
تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Tafsir an
Nahl: 14
Sesudah itu
Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, yang
terdapat di lautan. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia yang telah mengendalikan
lautan untuk manusia yaitu mengendalikan segala macam nikmat Nya, yang terdapat
di lautan agar supaya manusia dapat memperoleh makanan dari lautan itu, yaitu
daging yang segar. Dimaksud dengan daging yang segar di sini ialah segala macam
jenis ikan yang diperoleh manusia dengan jalan menangkapnya. Bukan ikan yang
telah mati dan membusuk di lautan. Disebutkan ikan itu dengan daging yang segar
agar supaya dapat memahami bahwa yang boleh dimakan dari segala jenis ikan yang
terdapat di dalam lautan itu ialah yang ditangkap dalam keadaan hidup, meskipun
binatang itu mati tanpa disembelih. Akan tetapi apabila segala jenis ikan itu
diperoleh telah menjadi bangkai apalagi telah membusuk, maka tidak boleh
dimakan karena dikhawatirkan membahayakan kesehatan orang-orang yang
memakannya. Dimaksud dengan binatang yang mati di lautan ialah binatang yang
mati dengan sendirinya atau karena sebab-sebab yang lain sehingga binatang itu
mati mengambang di dalam air, bukan binatang yang mati karena ditangkap oleh
manusia.
Rasulullah
bersabda:
ما نضب عنه الماء
فكلوا وما لفظه فكلوا وما طفا فلا تأكلوا
Artinya:
Semua binatang laut yang mati karena kehabisan air makanlah dan semua binatang laut yang terdampar ke daratan dan lautan makanlah. Tetapi binatang yang terapung di lautan janganlah dimakan. (H.R Jabir).
Semua binatang laut yang mati karena kehabisan air makanlah dan semua binatang laut yang terdampar ke daratan dan lautan makanlah. Tetapi binatang yang terapung di lautan janganlah dimakan. (H.R Jabir).
Demikian
sabda Nabi Muhammad saw:
هو الطهور ماؤه الحل
ميتته
Artinya:
Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (H.R Arba’ah dari Abu Hurairah dari Ibnu Syaibah).
Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (H.R Arba’ah dari Abu Hurairah dari Ibnu Syaibah).
Hendaklah dipahami bahwa bangkai
binatang air laut yang halal dimakan ialah binatang yang ditangkap oleh
manusia, yang terlempar ke daratan, yang mati kerana kehabisan air, yang masih
segar bukan binatang yang mati terapung di lautan yang sudah membusuk.
Sesudah itu Allah SWT menyebutkan
nikmat-Nya yang lain yang didapat manusia dan lautan yang mereka pergunakan
sebagai perhiasan. Perhiasan yang didapat orang dan lautan ialah sebangsa
mutiara dan marjan. Kesemuanya itu berupa nikmat Allah yang diberikan kepada
manusia yang tiada bernilai harganya.
Dan di antara nikmat yang diberikan
kepada manusia yang didapat dari lautan itu ialah bahwa dapat dijadikan lalu
lintas pelayaran, baik oleh kapal-kapal layar ataupun kapal-kapal api yang
hilir mudik dari suatu negara ke negara lain untuk mengangkut segala macam
barang perdagangan sehingga mempermudah perdagangan dari suatu negara ke negara
lain. Dari perdagangan itulah orang-orang mendapat rezeki karena untung yang
diperoleh dari padanya. Nikmat-nikmat Allah itu disebutkan dengan maksud agar
supaya manusia dapat mensyukuri semua nikmat Allah yang diberikan kepada mereka
itu dan agar manusia dapat memahami betapa besarnya nikmat Allah yang telah
diberikan pada mereka dan memanfaatkan nikmat yang tiada taranya itu untuk
kesejahteraan mereka.
QS. Al
Israa: 66
رَّبُّكُمُ
الَّذِي يُزْجِي لَكُمُ الْفُلْكَ فِي الْبَحْرِ لِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ
إِنَّهُ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya :
Tuhan-mu
adalah yang melayarkan kapal-Kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari
sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu.
Tafsir al
Israa: 66
Allah SWT menjelaskan bahwa Allah yang melajukan kapal-kapal di lautan
untuk para hamba Nya, agar mereka itu dapat memanfaatkan kapal-kapal itu
sebagai alat pengangkut kebutuhan hidup mereka dari suatu negeri ke negeri
lain. Dengan pengangkutan itulah kemakmuran yang terdapat di suatu negeri dapat
dipindahkan ke negeri yang lain. Dan dengan pengangkutan itu pulalah
orang-orang yang merasa kesempitan mencari rezeki di suatu negeri, dapat
diantarkan ke tempat-tempat yang makmur, agar mereka memperoleh jalan untuk
mencari rezeki, serta dapat pula menyaksikan kenikmatan Allah yang terbesar di
seluruh alam, yang menjadi bukti Ke Maha Murahan Allah kepada seluruh hamba
Nya. Di akhir ayat Allah SWT menegaskan bahwa Dia benar-benar Maha Penyayang
terhadap seluruh hamba Nya, karena ke mana saja manusia itu mengarahkan
pandangannya, tentulah akan menyaksikan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga,
yang menjadi tanda-tanda kebesaran kekuasaan Nya.
QS. ar Rum:
46
وَمِنْ آيَاتِهِ أَن يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ
وَلِيُذِيقَكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِ
وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan di
antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai
pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya
dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu
dapat mencari karunia-Nya; mudah-mudahn kamu bersyukur
Tafsir ar
Rum: 46
Di antara tanda-tanda keesaan dan
kekuasaan Allah dan sebagai bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa Dia telah
meniupkan angin menghalau awan ke suatu tempat, kemudian awan itu semakin
berat, sehingga menjadi mendung yang akan menurunkan hujan. Adanya angin dan
mendung ini merupakan kabar gembira bagi manusia yang telah menunggu-nunggu
turunnya hujan yang akan menyirami kebun, sawah dan ladang mereka. Dengan
adanya angin dan awan itu tergambarlah dalam angan-angan mereka bahwa
tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman mereka akan hidup subur, mereka akan
memperoleh hasil yang cukup untuk kehidupan keluarga mereka, dan binatang
ternak mereka akan berkembang biak.
Angin yang baik di lautan menimbulkan
harapan yang baik pula bagi para pelaut yang sedang mengarungi lautan. Dengan
angin yang baik kapal dapat berlayar dengan baik pula, timbul perasaan tenang
dan tenteram dalam hati setiap awak kapal itu yang membawa muatan ke pelbagai
negeri, menghubungkan antara negeri yang berjauhan. Perahu layar akan meluncur
dengan cepat dan tenang dengan hembusan angin yang baik. Para nelayan berlega
hati mencari rezeki Allah di lautan dalam hembusan angin yang sepoi basah. Demikianlah
rahmat Allah yang tiada terhingga banyaknya. Diterangkan rahmat-rahmat itu
kepada manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya.
QS. al
Faatir: 12
وَمَا يَسْتَوِي
الْبَحْرَانِ هَٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ ۖ
وَمِن كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً
تَلْبَسُونَهَا ۖ وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan tiada sama
(antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi
pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan
kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada
masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu
dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur
Tafsir al
Faatir: 12
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan
bahwa ada dua keistimewaan air, masing-masing mempunyai guna sendiri-sendiri
dan dari keduanya dapat dinikmati ikan lezat cita rasanya. Yang satu airnya
tawar di sungai-sungai melalui desa-desa, kota-kota besar, sedap diminum,
menghilangkan dahaga, menyuburkan tanah, menumbuhkan rumput-rumput tanam-tanaman
dan pohon-pohonan, perahu-perahu berlayar di atasnya membawa keperluan hidup
dari satu tempat ke tempat lain, yang satu lagi airnya asin, daripadanya dapat
diambil mutiara dan karang laut yang dijadikan perhiasan, menjadi tempat
berlayarnya kapal-kapal besar membawa hasil bumi dan tambang dari satu tempat
ke tempat-tempat lain yang jauh, baik di daerah sendiri maupun di luar negeri
sebagai barang ekspor atau mendatangkannya dari luar negeri sebagai barang
import yang tidak dapat dijangkau oleh perahu-perahu kecil, sebagai dagangan
untuk mencari karunia Allah. Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa hal-hal yang
menunjukkan kekuasaan Allah seperti tersebut di atas menundukkan air tawar dan
air asin dapat dipergunakan menurut fungsinya masing-masing agar manusia
bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya Itu.
C. HADIST-HADIST
TENTANG PRODUKSI
Umar RA menilai kegiatan produksi
sebagai salah satu bentuk jihad fisabilillah. Dalam hal ini beliau mengatakan,
“Tidaklah Allah SWT menciptakan kematian yang aku meninggal dengannya setelah
terbunuh dalam jihad fisabilillah yang lebih aku cintai daripada aku meninggal
di antara dua kaki untaku ketika berjalan di muka bumi dalam mencari sebagian
karunia Allah SWT.” (Ibnu Abi Ad- Dunya, op, cit, hlm. 241).
Sesungguhnya penilaian bahwa
produktifitas sebagai salah satu bentuk jihad fisabilillah dikuatkan hadist
yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Ia berkata, “ Kami berperang
bersama Rasulullah Saw. Di Tabuk, lalu melintas di depan kami seorang pemuda
yang gesit membawa hasil kerjanya, maka kami berkata, ‘Alangkah bila pemuda itu
berjihad dalam perang fisabilillah, maka ia akan mendapatkan yang lebih baik
daripada hasil kerjanya itu.’ Akhirnya pembicaraan kami sampai kepada Rasulullah
Saw, maka beliau berkata, ‘Apa yang telah kalian katakan?’ kami menjawab, ‘
Demikian, dan demikian, ‘ Maka beliau berkata, ‘Ketahuilah, bahwa bila dia
bekerja untuk kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya, maka dia
berjuang di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk mencukupi keluarganya, Maka dia
berjuang di jalan Allah. Dan, jika dia bekerja untuk mencukupi dirinya, maka
dia berjuang di jalan Allah.” (Hadist ini dikeluarkan oleh Al- Mundziri).
Hadist ini menjelaskan keutamaan produksi, baik yang memanfaatkan dirinya
sendiri atau orang lain.
Umar RA berpendapat bahwasannya
melakukan aktifitas produksi lebih baik daripada mengkhusukan waktu pada
ibadah- ibadah sunnah, dan mengandalkan manusia dalam mencukupi kebutuhannya.
Diantara bukti hal itu adalah riwayat yang mengatakan, bahwa “Umar Radhiallahu
Anhu melihat tiga orang di mesjid tekun beribadah, maka beliau bertanya kepada
salah satu di antara mereka, “ Dari mana kamu makan?’ Ia menjawab, ‘ Aku adalah
hamba Allah, dan Dia mendatangkan kepadaku rizkiku bagaimana Dia
menghendaki.’Lalu Umar meninggalkannya, dan menuju kepada orang yang kedua
seraya menanyakan hal yang sama. Maka dia memberitahukan kepada umar dengan
mengatakan, “ Aku memiliki saudara yang mencari kayu di gunung untuk dijual,
lalu dia makan sebagian dari hasilnya, dan dia datang kepadaku memenuhi
kebutuhanku.’ Maka Umar berkata, ‘Saudara kamu lebih beribadah daripada
kamu.’Kemudian Umar mendatangi orang yang ketiga seraya bertanya tentang hal
yang sama. Ia menjawab, ‘Manusia melihatku, lalu mereka datang kepadaku dengan
sesuatu yang mencukupiku.’Maka Umar memukulnya dengan tongkatnya dan berkata
kepadanya, ‘Keluarlah kamu ke Pasar,’ atau ucapan yang seperti itu.’ (Ibnu Al-
Haj, Al- Madkhal (4:464)
D. Tujuan
Produksi
Tujuan utama produksi adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa
diwujudkan dalam beberapa bentuk, diantaranya :[7]
- Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat
- Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
- Menyiapkan persediaan barang/jasa di masa depan
- Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah SWT.
Karakteristik
nilai makna produksi dalam ekonomi Islam adalah :[8]
- Dibenarkan syariah
- Tidak mengandung unsur bahaya bagi orang lain
- Mencakup manfaat dunia dan akhirat secara seimbang (jasmani dan ruhani)
Untuk mencapai tujuan tersebut maka beberap prinsip produksi juga harus
dipatuhi antara lain: [9]
- Kegiatan produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam sesuai dengan al Quran dan hadist. Dan tidak bertentangan dengan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
- Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tertier).
- Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek keadilan, sosial, zakat, sedekah, infak dan wakaf.
- Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros, tidak berlebihan, dan tidak merusak lingkungan.
Mengelola sumber
daya alam dengan bijak yang berorientasi pada hifzun nasl dimana pemerintah
selalu memikirkan nasib generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang menanggung
akibat buruk dari kebijakan saat ini. Karena itu, pemerintah akan meminimalisir
kebijakan pembangunan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan, atau meninggalkan generasi mendatang dengan beban hutang yang
sangat berat.[10]
- Faktor-Faktor Produksi
Dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi
menjadi barang/jasa. Al Ghazali menyebutkan bahwa beberapa faktor produksi
antara lain :[11]
- Tanah
- Tenaga kerja
- Modal
- Manajemen Produksi
- Teknologi
- Bahan Baku
II. Etika dan Norma
Kerja
A. Pengertian Etika dan Norma Kerja Dalam Islam
Menurut
Hamzah Ya’kub, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang
buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran. Menurut Herman Soewardi etika dapat dijelaskan dengan
membedakan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak) (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.[12]
Sedangkan
kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuanya
tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang
optimal sebagai bukti pengabdiaan dirinya pada Allah SWT.
Islam sebagai agama dan idiologi memang mendorong pada umatnya untuk
bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah beribadah, dan hendaaknya kamu
takut pada generasi setelah ditinggalkan dalam kesusahan iman dan ekonomi.
Beberapa hadits Nabi menyatakan pentingnya generasi (umat) yang kuat ketimbang
yang lemah dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain, serta beberapa
ajaran islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan kegiatan atau aktivitas
ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan kontiyuitas. Misalnya
ajaran islam yang telah mendapatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah
satu bidang penghidupan yang dianjurkan, dengan menggunakan cara-cara yang halal.
Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang sentralnya guna
mengejar tujuaan keduniawian, namun serta merta juga mengharuskan umat Islam
bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar telah diasuratkan dan
diisaratkan dalam al-Quran dan hadits.
- Ayat dan terjemah al Quran mengenai Etika dan Norma Kerja
- Jaminan rizki dan tuntutan kerja (al isra:70, hud:6, al mukmin:64)
1.
Al Isra:70
Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Tafsir:
Kemudian Allah
SWT menjelaskan bahwa Dia telah memuliakan Adam dengan raut muka yang indah,
potongan yang serasi dan diberi akal, agar dapat menerima petunjuk, untuk
berbudaya dan berpikir guna mencari keperluan hidupnya, mengelola kekayaan alam
serta menciptakan alat pengangkut di darat, di lautan maupun di udara. Dan
Allah telah memberikan rezeki yang baik-baik kepada mereka itu, yang terdiri
dari makanan yang di dapat dari tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Di akhir ayat
Allah SWT menegaskan bahwa Dia telah melebihkan mereka itu dengan kelebihan
yang sempurna, dari kebanyakan makhluk yang lain yang diciptakan Nya. Dengan
demikian seharusnyalah mereka itu tidak mengadakan tuhan-tuhan yang lain yang
mereka persekutukan dengan Allah, akan tetapi hendaknya beribadah kepada Nya,
serta mengikuti bimbingan wahyu Nya.
2.
Hud:6
Artinya:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun
di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfuzh).
Tafsir:
Binatang-binatang
yang melata yang hidup di atas bumi yang meliputi binatang yang merayap,
merangkak atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin
rezekinya oleh Allah swt. Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan
untuk mencari rezekinya sesuai dengan kejadiannya, semuanya itu diatur oleh
Allah Taala dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian.
Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada semacam binatang yang
berkembang biak terlalu cepat sehingga mengancam kelangsungan hidup
binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak sehingga
mengganggu kesehatan umum. Maka pantaslah jika sebagian binatang memakan
sebagian yang lain lagi, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat
dipertahankan.[13]
Allah mengetahui
tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat penyimpanannya ketika masih berada
dalam perut induknya. Pada kedua tempat itu Allah senantiasa menjamin rezekinya
dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya dalam sebuah kitab yang
nyata yaitu Lohmahfuz yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari
seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.
3.
Al
Mukmin:64
Allah-lah
yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan
membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan
sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung
Allah, Tuhan semesta alam.
Tafsir:
Allahlah yang
menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat kediaman, kamu hidup di atasnya
dengan menikmati rezeki yang dilimpahkan-Nya. Dia pula yang menjadikan langit
sebagai atap dan dihiasi dengan bintang-bintang yang gemerlapan tampak di malam
hari dan karena teraturnya peredaran bintang-bintang itu timbullah malam,
siang, gelap dan terang benderang.
Pada ayat ini
diterangkan dalil-dalil keesaan dan kekuasaan Allah yang terdapat pada diri
manusia sendiri, yaitu Dia telah menjadikan manusia dalam bentuk yang baik di
antara para makhluk-Nya dan dilengkapi dengan anggota tubuh yang sesuai dengan
keperluan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Dia pulalah yang
memberikan kepada manusia makanan dan minuman yang baik sebagai rezeki
dari-Nya. Allah itu Tuhan yang Maha Tinggi, yang memiliki semesta alam.
Pada akhir ayat
ini ditegaskan bahwa Tuhan yang melimpahkan rahmat-Nya atas kamu itu adalah
Tuhan yang wajib disembah, Tuhan Yang Maha Sempurna dan memiliki semesta alam.
- Bekerja untuk menutupi kebutuhan sendiri dan keluarga
QS al
Ankabut: 6
Artinya :
“Dan barangsiapa bekerja sungguh-sungguh
maka ia bekerja untuk diri sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian
alam”.
Bekerja guna
memenuhi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Karena memenuhi kebutuhan
keluarga hukumnya fardlu ain, tidak dapat diwakilkan, dan melaksanakannya juga
termasuk dalam jihad. Hadis Rasulullah menyebutkan “Tidaklah seseorang
memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah
sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya
kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Ia berkata, “
Kami berperang bersama Rasulullah Saw. Di Tabuk, lalu melintas di depan kami
seorang pemuda yang gesit membawa hasil kerjanya, maka kami berkata, ‘Alangkah
bila pemuda itu berjihad dalam perang fisabilillah, maka ia akan mendapatkan
yang lebih baik daripada hasil kerjanya itu.’ Akhirnya pembicaraan kami sampai
kepada Rasulullah Saw, maka beliau berkata, ‘Apa yang telah kalian katakan?’
kami menjawab, ‘ Demikian, dan demikian, ‘ Maka beliau berkata, ‘Ketahuilah,
bahwa bila dia bekerja untuk kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya,
maka dia berjuang di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk mencukupi keluarganya,
Maka dia berjuang di jalan Allah. Dan, jika dia bekerja untuk mencukupi
dirinya, maka dia berjuang di jalan Allah.” (Hadist ini dikeluarkan oleh Al-
Mundziri).
- Bekerja untuk memakmurkan bumi
Hud:61
Artinya:
Dan
kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)".
Tafsir:
Pada ayat ini
Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus seorang utusan kepada kaum Samud
namanya Saleh. Ia menyeru mereka supaya hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan
sembahan-sembahan yang telah membawa mereka kepada jalan yang salah dan
menyesatkan. Allahlah yang menciptakan mereka dari tanah. Dari tanah itulah
diciptakan-Nya Adam a.s. dan dari itu pulalah asal mula semua manusia karena
manusia dalam rahim ibunya berasal dari air mani. Setetes air mani itu setelah
membuahi telur dalam rahim berkembang menjadi segumpal daging lalu membentuk
kerangka tubuh berupa tulang-tulang, dan tulang-tulang ini dibalut dengan
daging sehingga menjadi janin dalam rahim. Kemudian setelah sempurna semua
anggota badannya ia keluar sebagai bayi. Mani itu berasal dari makanan yang
dimakan manusia sedangkan makanan itu baik yang berupa tumbuh-tumbuhan maupun
berupa daging binatang semua berasal dari tanah juga. Setelah manusia berkembang
biak di atas bumi mereka diserahi Allah tugas memakmurkannya sebagai anugerah
dan karunia daripada-Nya. Dengan karunia itu kaum Samud telah hidup senang
bahkan mereka telah dapat pula membuat rumah tempat berlindung seperti tersebut
dalam firman Allah:
وَكَانُوا يَنْحِتُونَ
مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا آمِنِينَ
Artinya:
Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman. (Q.S. Al-Hijr: 82)
Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman. (Q.S. Al-Hijr: 82)
Demikian
besarnya karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Maka wajiblah mereka
mensyukuri nikmat itu dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya dan tidak
menyembah selain-Nya dan seharusnyalah mereka bertobat kepada-Nya, karena
ketelanjuran mereka berbuat kesesatan menyembah sembahan-sembahan selain Dia.
Bila mereka menyadari hal ini dan dengan sungguh-sungguh bertobat kepada-Nya
tentulah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha menerima tobat mengampuni mereka dan
memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Inilah yang
diserukan dan dianjurkan Nabi Saleh a.s. kepada kaumnya itu.[14]
- Ihsan dalam bekerja (profesional)
Artinya
:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.
C. Profesionalisme dalam Islam
Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap dari seorang
profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok,
yang disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau
sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan da isme sebagai
pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai pandangan untuk
selalu berfikir, berpandirian, bersikap dan bekerja sungguh- sungguh, kerja
keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh
dedikasi demi keberhasila pekerjaannya.
Dengan pengertian tersebut, profesionalisme sangat
diperlukan untuk keberhasilan suatu perusahaan, organisasi dan lembaga.
Perusahaan, organisasi dan sejenisnya tersebut kalau ingin berhasil program-program, maka harus melibatkan orang-orang yang mampu bekrja secara profesional.
Tanpa sikap dan prilaku profesional maka lembaga, organisasi tersebut tidak
akan memperoleh hasil yang maksimal, bahkan bisa mengalami kebangkrutan.
Dalam realitas masyarakat, banyak ditemukan adanya
perusahaan, organisasi, dan lembaga yang maju, sedang atau biasa-biasa. Diantara faktor yang mempengaruhi kemajuan
dan kemunduran perusahaan atau lembaga tersebut adalah sikap dan perilaku
profesional dariorang-orang yang
terlibat didalamnya, terutama para peminpinnya.
Nilai-nilai Islam
yang Mendasari Profesionalisme
Ajaran Islam sebagai agama universal sangat kaya
akan pesan-pesan yang mendidik bagi muslim untuk
menjadi umat terbaik, menjadi khalifa, yang mengatur dengan baik bumi dan se
isinya. Pesan-pesan sangat mendorong kepada setiap muslim
untuk berbuat dan bekerja secara profesional, yakni bekerja dengan benar,
optimal, jujur, disiplan dan tekun.
Akhlak Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, memiliki sifat-sifat yang dapat dijadikan landasan bagi
pengembangan profesionalisme. Ini dapat dilihat pada pengertiansifat-sifat akhlak Nabi sebagai berikut :
·
Sifat kejujuran (shiddiq). Kejujuran ini menjadi salah satu dasar yang paling
penting untuk membangun profesionalisme. Hampir semua bentuk uasha yang
dikerjakan bersama menjadi hancur, karena hilangnya kejujuran. Oleh karena itu
kejujuran menjadi sifat wajib bagi Rasulullah SAW. Dan sifat ini pula yang
selalu di ajarkan oleh islam melalui al-Qur’an dan sunah Nabi. Kegiatan yang
dikembangkan di dunia organisasi, perusahan dan lembaga modern saat ini sangat
ditentukan oleh kejujuran. Begitu juga tegaknya negara sangat ditentukan oleh
sikap hidup jujur para pemimpinnya. Ketika para pemimpinya tidak jujur dan
korup, maka negara itu menghadapi problem nasional yang sangat berat, dan
sangat sulit untuk membangkitkan kembali.
·
Sifat tanggung jawab (amanah). Sikap bertanggung jawab juga merupakan sifat akhlak
yang sangat diperlukan untuk membangun profesionalisme. Suatu
perusahaan/organisasi/lembaga apapun pasti hancur bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak
amanah.
·
Sifat komunikatif (tabligh). Salah satu ciri profesional adalah sikap
komunikatif dan transparan. Dengan sifat komunikatif, seorang penanggung jawab
suatu pekerjaan akna dapat menjalin kerjasama dengan orang lain lebih lancar.
Ia dapat juga meyakinkan rekanannya untuk melakukan kerja sama atau
melaksanakan visi dan misi yang disampaikan. Sementara dengan sifat transparan,
kepemimpinan di akses semua pihak, tidak ada kecurigaan, sehingga semua
masyarakat anggotanya dan rekan kerjasamanya akan memberikan apresiasi yang
tinggi kepada kepemimpinanny. Dengan begitu, perjalanan sebuah organisasi akan
berjalan lebih lanca, serta mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak.
·
Sifat cerdas (fathanah). Dengan kecerdasannya seorang profesional akan dapat
melihat peluang dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat. Dalam sebuah
organisasi, kepemimpina yang cerdas akan cepat dan tepat dalm memahami
problematikayang ada di lembaganya. Ia cepat memahami aspirasi anggotanya,
sehingga setiap peluang dapat segera dimanfaatkan secara optimal dan problem
dapat dipecahkan dengan cepat dan tepat sasaran.
Disamping itu, masih terdapat pula nilai-nilai islam yang dapat mendasari pengembangan profesionalisme, yaitu :
· Bersikap positif dan berfikir
positif (husnuzh zhan ).
Berpikir positif akan mendorong setiap orang melaksanakan tugas-tugasnya lebih baik. Hal ini disebabkan
dengan bersikap dan berfikir positif mendorong seseorang untuk berfikir jernih dalam menghadapi setiap masalah.
Husnuzh zhan tersebut, tidak saja ditujukan kepada sesama kawan dalam bekerja,
tetapi yang paling utama adalah bersikap dan berfikir positif kepada Allah SWT.
Dengan pemikiran tersebut, seseorang akan lebih lebih bersikap objektif dan
optimistik. Apabil ia berhasil dalm usahanya tidak menjadi sombong dan lupa
diri, dan apabila gagal tidak mudah putus asa, dan menyalahkan orang lain.
Sukses dan gagl merupakan pelajaran yang harus diambil untuk menghadapi masa
depan yang lebih baik, dengan selalu bertawakal kepada Allah SWT.
· Memperbanyak shilaturahhim.
Dalam Islam kebiasaan shilaturrahim merupakan bagian dari tanda-tanda keimanan. Namun dalam dunia profesi,
shilaturahhim sering dijumpai dalam bentuk tradisi lobi. Dalam tradisi ini akan
terjadi saling belajar.
· Disiplin waktu dan menepati
janji.
Begitu pentingnya disiplin waktu, al-Qur’anmenegaskan makna waktu bagi
kehidupan manusia dalam surat al-Ashr, yang diawali dengan sumpah ”Demi
Waktu”. Begitu juga menepati janji, al-Qur’an menegaskan hal tersebut dalam ayat
pertama al-Maidah, sebelum memasuki pesan-pesan penting lainnya. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maaidah/05:01). Yang dimaksud aqad-aqad adalah janji-janji sesama manusia.
· Bertindak efektif dan
efisien.
Bertindak efektif artinya merencanakan , mengerjakan dan
mengevaluasi sebuah kegitan dengan tepat sasaran. Sedangkan efisien adalah
penggunaan fasilitas kerja dengan cukup, tidak boros dan memenuhi sasaran, juga
melakukan sesuatu yang memang diperlukan dan berguna. Islam sangat menganjurkan
sikap efektif dan efesien.
· Memberikan upah secara tepat
dan cepat.
Ini sesuai dengan Hadist Nabi, yang mengatakan
berikan upah kadarnya, akan mendorong seseorang pekerja atau pegawai dapat
memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara tepat pula. Sementara apabila
upah ditunda, seorang pegawai akan bermalas-malas karena dia harus memikirkan beban
kebutuhannya dan merasa karya-karyanya tidak dihargai secara memadai.
Aktualisasi
Profesionalisme dalam Perspektif Islam
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menekankan arti
penting amal dan kerja. Islam mengajarkan bahwa kerja kerja harus dilaksanakan
berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Bahwa pekerjaan itu harus dilakukan berdasarkan kesadaran
dan pengetahuan yang memadai. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya. (QS. al-Isra/17:36).”
2. Pekerjaan harus dilakukan berdasarkan keahlia.
Seperti sabda Nabi : Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran. (Hadist Bukhari).
3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik. Dalam Islam, amal, dan kerja harus dilakukan dalam
bentuk yang shalih. Sehingga makna amal shalih dapat dipahami sebagai kerja
sesuai standar mutu, baik mutu dihadapan Allah maupun dihadapan manusia rekanan
kerjanya.
4. Pekerjaan itu senantiasa diawasi oleh Allah, Rasulullah,
dan masyarakatnya, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggunga
jawab.
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang
tinggi
6. Pengupahan harus dilakukan secara tepat da sesuai dengan
amal atau karya yang dihasilkannya.
III. Analisis Produksi dalam Islam
A.
Produksi Dalam Pemikiran Ekonomi Islam
Konsep
produksi dalam perspektif pemikiran ekonomi Islam mengandung dua pengertian,
yaitu bentuk pemikiran yang dihasilkan oleh para pemikir muslim yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, saw. secara langsung atau sebuah
pemikiran ekonomi produksi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Akan
tetapi keduanya akan menemui titik temu karena seorang sarjana muslim akan
menelurkan teori produksinya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana
sejarah pemikiran ekonomi yang dilakukan para ulama’ setelah sepeninggalnya
Rasulullah, saw. juga merujuk langsung pada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, saw. akan tetapi dalam perkembangannya sejarah pemikiran
produksi mengalami naik turun bersamaan dengan perkembangan peradaban umat
Islam yang pada zaman kekhilafahan Islam pemikiran ekonomi mengalami kemajuan
pesat, akan tetapi setelah runtuhnya kekhilafahan Islam yang pada saat
bersamaan sistem kolonialisasi barat mensistemisasi pembodohan umat sehingga
pemikiran ekonomi Islam tidak berkembang sehingga terjadi distorsi pemikiran
ekonomi dan pada perkembangannya pemikiran para pemikir muslim telah
terkontaminasi oleh pemikiran para pemikir ekonomi barat.
Maka dalam hal ini kita akan
mengkaji sejarah pemikiran produksi dalam ekonomi Islam yang selanjutnya akan
kita korelasikan dengan pemikiran-pemikiran ulama kontemporer dalam bidang
produksi, sebagai berikut:
1. Abu
Hanifah (80-150 H/699-767M)
Abu Hanifah adalah seorang fukaha terkenal yang juga
seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktifitas perdagangan
dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu
transaksi yang sangat populer adalah sistem pembiyaan transaksi salam
(akad pesan), yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan
pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah
meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia
mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang
harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti; jenis
komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan
persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu
kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa
pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.
Disisi
lain, menurut pemikiran Abu Hanifah dalam sistem jual-beli harus dilakukan
dengan jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan dan perselisihan, karena
ini adalah bagian dari tujuan syariah. Misalnya; dalam jual beli murabahah.
Dalam murabahah prosentase pengambilan keuntungan harus sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan transaksi dan boleh dengan cara
diangsur. Maka pengalaman dalam perdagangannya ini menjadikan beliau dapat
menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini.
2. Abu
Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab
penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal.
Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya
kepada penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari,
surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai
Kitab al-Kharaj.
Abu Yusuf
cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para
penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara
ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar
dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah
garapan.
Dalam hal pajak, ia telah meletakkan
prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxaion.
Kesanggupan membayar, pemberian waktu longgar bagi pembayar pajak dan
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa
prinsip yang ditekankannya.
3.
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804)
Salah satu rekan sejawat Abu Yusuf
dalam Mazdhab Hanafiyah adalah Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Risalah kecilnya
yang berjudul “Al-Iktisabu fir-Rizki al-Mustathabi” yang membahas
tentang pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia juga menguraikan perilaku
konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka berderma dan
tidak suka meminta-minta. As-Syaibani mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke
dalam empat hal, yakni: ijarah (sewa-menyewa), tijarah
(perdagangan), zira’ah (pertanian) dan shina’ah (industri). Cukup
menarik untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan
yang terbaik, padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih tertarik untuk
berdagang dan berniaga. Dalam suatu risalah yang lain, yakni Kitab al-Ashl,
Al-Syaibani telah membahas masalah transaksi salam (prepaid order),
musyarakah (pathnership) dan mudharabah (profit and loss sharing).
Al-Syaibani mendefinisikan Al-Kasbu
(kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal
(Rif’at Sayid Al-Audi). Dalam ilmu ekonomi, aktifitas yang demikian termasuk
dalam aktifitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud
dengan aktifitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktifitas
produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktifitas
yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktifitas produksi, karena
aktifitas produksi sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu barang atau
jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktifitas yang menghasilkan
barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktifitas
produksi. (Adiwarman Karim, Sejarah
pemikiran ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, 2006; 257).
Produksi
suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena
barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa
suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna jika mengandung kemaslahatan.
Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai
dengan memeihara unsur pokok kehidupan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta benda. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi
setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut. Hal ini berarti bahwa
konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen
karena ditentukan oleh tujuan-tujuan (maqashid) syari’ah. Yakni
memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Pandangan Islam
tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap
bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional nilai guna suatu
barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini
bersifat subjektif.
Dalam
pandangan Islam, aktifitas produksi merupakan bagian dari kewajiban imaratul
kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta alam untuk semua makhluk. Berkenaan
dengan hal tersebut, Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur
utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena
menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, swt. dan karenanya, hukum bekerja
adalah wajib.
Dalam
pandangan Al-Syaibani orientasi bekerja adalah hidup untuk meraih keridhaan
Allah, swt. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda
perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi, yang
berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan
demikian kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah,
swt. hak hidup, hak keluarga dan hak masyarakat.
Dalam
konteks tersebut, negara berkewajiban untuk memimpin gerakan produktifitas
nasional. Dengan menerapkan instrument incentive-reward and punishment, setiap
komponen masyarakat dipicu dan dipacu untuk menghasilkan sesuatu menurut
bidangnya masing-masing. Sementara di sisi lain, pemerintah juga berkewajiban
memayungi aktifitas produksi dengan memberikan jaminan keamanan dan keadilan
bagi setiap orang.
4.
Harith bin Asad Al-Muhasabi (W. 243
H/859)
Seorang
ulama terkemuka yaitu Harith bin Asad Al-Muhasabi telah menulis
pemikiran-pemikirannya yang berkaitan dengan produksi yang beliau tuliskan
dalam karyanya yang berjudul “Al-Makasib” yang membahas cara-cara
memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri
dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan harus didapatkan dengan cara
yang baik dan tidak berlebihan. Disisi lain, Harith menganjurkan kepada manusia
untuk bekerjasama dalam melakukan kegiatan produksi sehingga lebih mudah dan
dapat melipatgandakan hasil produksinya.
5. Imam
Al-Ghazali (451-505 H/1055-111 M)
Imam Al-Ghazali adalah seorang
ekonom muslim yang cukup menaruh perhatian pada teori produksi. Beliau telah
menguraikan faktor-faktor produksi dan fungsi produksi dalam kehidupan manusia.
Dalam uraiannya beliau sering menggunakan istilah al-kasbu dan al-ishlah.
Istilah yang pertama berarti usaha fisik yang dikerahkan manusia, sedangkan
yang kedua adalah upaya manusia untuk mengelola dan mengubah sumber-sumber daya
yang tersedia agar mempunyai manfa’at yang lebih tinggi. Al-Ghazali memberikan
perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan bermacam ragam aktifitas
produksi dalam masyarakat, termasuk hirarki dan hakikatnya. Ia mengklasifikasi
aktifitas produksi menurut kepentingan sosialnya dan menitik-beratkan perlunya
kerjasama dan koordinasi. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang
sesuai dengan dasar-dasar etos Islam. (Adi Warman Karim; Ekonomi Mikro Islami;
2003: 158).
Disisi lain Al-Ghazali banyak
menyoroti tentang kegiatan-kegiatan bisnis yang dilarang dan yang diperbolehkan
dalam Islam. Misalkan sistem ribawi adalah sistem sangat berbahaya bagi
perputaran ekonomi masyarakat dan juga penimbunan barang-barang pokok untuk
kepentingan-kepentingan individual. Beliau juga menyatakan bahwa korupsi dan
penindasan merupakan faktor penyebab melemahnya perputaran ekonomi, oleh karena
itu pemerintah berkewajiban untuk memberantasnya. Al-Ghazali juga mewajibkan
kepada pemerintah untuk senantiasa menjaga stabilitas ekonomi dengan cara
menyediakan suplai barang dan jasa tatkala masyarakat menghadapi kesulitan
ekonomi, dalam kondisi yang demikian ini, pemerintah harus memberikan jaminan
ekonomi sehingga kesulitan masyarakat dapat terentaskan.
6.
Ibn khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
Ibn
khaldun barangkali merupakan ekonomi Muslim yang terbesar, karena sedemikian
cemerlang dan luas bahasannya tentang ekonomi. Dialah satu-satunya ekonom
Muslim yang secara jujur diakui integritas dan kualitas karyanya oleh ekonom
Barat J.A. Schumpeter dalam bukunya History
of Enonomic Analisis (1959). Menurut Spengler (1963-64,hlm. 269) pemikiran
ekonomi Ibn Khaldun sangat penting tidak saja karena telah banyak mendahului
pemikiran para ekonom modern (Barat), tetapi karena ia memilikin penguasaan
berbagai ilmu pengetahun yang luas dan mendalam sehingga mampu menulis
pemikiran ekonomi dalam perspektif yang lengkap. Dalam bukunya Muqadimah memaparkan pentingnya produksi
serta peranan manusia.
Manusia dibedakan dari makhluk hidup
lainnya dari segi upaya(nya) mencari penghidupan dan perhatiaannya pada
berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana kehidupan (I : 69). Laba (produksi) adalah nilai
utama yang dicapai dari tenaga manusia (2 : 272). Manusia mencapai produksi
dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan
ladang, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini adalah pendukung saja.
Upaya manusia sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut (2: 273).
Tenaga manusia sangat penting untuk
setiap akumulasi laba dan modal. Jika (sumber produksi) adalah kerja,
sedemikian rupa seperti misalnya kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber
pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga
manusia tetaplah penting. Tanpanya tidak ada hasil yang dicapai, dan tidak akan
ada yang berguna (2:274).
Disisi lain, Ibnu Khaldun juga
menganalisis tentang teori perdagangan internasional yang beliau hubungkan
antara perbedaan tingkat harga negara dengan ketersediaan faktor-faktor
produksi. Dengan mengatakan bahwa penduduk merupakan terpenting dalam produksi
dengan mengatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk maka peluang pasar dan
berproduksi akan semakin luas dan besar, sehingga menambah tingkat pendapatan
ekonomi masyarakat.
7. Shah
Waliyullah (1114-1176 H/1703 – 1762 M)
Shah Waliyullah dalam karyanya yang
termasyhur “Hujjatullah al-Baligha” menjelaskan secara lebih luas
tentang pemikiran ekonomi dan tatanan pembangunan sosial ekonomi masyarakat.
Menurutnya manusia secara natural adalah makhluk sosial sehingga harus
melakukan kerjasama antar sesama manusia. Bentuk kerjasama ekonomi ini diwujudkan
dalam bentuk perdagangan melalui pertukaran barang dan jasa, kerja sama usaha
dengan sistem mudharabah, musyarakah, kerjasama pengelolaan pertanian dan
lain-lain.
Shah Waliyullah juga berbicara
masalah faktor produksi khususnya adalah tanah. Beliau menyatakan:
“Sesungguhnya semua tanah sebagaimana masjid atau tempat-tempat peristirahatan
diberika kepada wayfarers. Benda-benda tersebut dibagi berdasarkan
prinsip siapa yang pertama datang maka dialah yang mengelola dan
memanfa’atkannya (first come first served).
8. Para
Pemikir Ekonomi Muslim Kontemporer
Banyak
penulis berkeyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti yang
dijadikan pegangan oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar
mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan
memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka
panjang. Selama ini yang kita fahami ketika membaca teks-teks buku ekonomi
konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan
untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh
setiap perusahaan tersebut. Misal: perusahaan A akan mencapai tingkat produksi
maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja
(L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang
optimal.
Dasar
pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam
berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan
meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat
realita ekonomi dalam prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market
imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil
dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah
keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost
(biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan?. Gambaran di atas merupakan realita
nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang
diacukan pada pemikiran konvensional.
Adapun
aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma
berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi
dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang
bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat
ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan
ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul
melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang
produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi
kehidupan di dunia ini.
Ada
sebuah permata dalam bukunya DR. Monzer Kahf yang berjudul: “The Islamic
Economy; Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System” yang
menyebutkan bahwa: “Tingkat kesalehan seseorang mempunyai korelasi positif
terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat
nilai kesalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu
juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan
berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.
Sebuah
contoh: Seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti
ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah
merasakan tingkat kepuasan bathin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya
telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya.
Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka
pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam
jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya
akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.
Selama
ini kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi–apalagi
mereka yang berlatar belakang konvensional-melihat bahwa keshalehan seseorang
merupakan hambatan dan rintangan untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang
shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya
hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas
ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap
nilai kesalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan kesalehan
tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi katifitas ekonomi? Sebuah
logika berfikir yang salah perlu dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut
akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
Islam, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an al-Karim atau As-Sunnah as-Sahihah.
Menurut
Prof. Abdul Manan: Produksi tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang
tidak ada, karena tidak seorangpun dapat menciptakan benda. Dalam pengertian
ahli ekonomi yang dapat dikerjakan manusia hanyalah membuat barang-barang
menjadi berguna, yang biasa disebut dengan istilah “dihasilkan”. Sekarang kita
perhatikan pembahasan prinsip produksi secara singkat.
Prinsip
fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip
kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem Kapitalis terdapat seruan untuk
memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi.
Keunikan konsep Islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan
bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih
luas yang menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, agama dan
banyak hal-hal lainnya. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur
dari segi uang seperti kata Profesor Pigou: “Kesejahteraan ekonomi kira-kira
dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan
alat pengukur uang”. “Karena kesejahteraan ekonomi modern bersifat
materealistis, maka perlu membatasi ruang lingkup pokok persoalan yang sama
itu.
Dalam
sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang
lebih luas. Bagi penulis, konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari
bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya
barang-barang yang berfaedah melalui pemanfa’atan sumber-sumber daya secara
maksimum -baik manusia maupun benda- demikian juga melalui ikut sertanya jumlah
maksimum orang dalam proses produksi. Dengan demikian, perbaikan sistem
produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya pendapatan, yang dapat
diukur dari segi terpenuhinya sumber daya ekonomi, tetapi juga perbaikan dalam
memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan kita dengan usaha minimal tetapi tetap
memperhatikan tuntunan perintah-perintah Islam tentang konsumsi. Oleh karena
itu, dalam sebuah negara Islam kenaikan volume produksi saja tidak akan
menjamin kesejahteraan rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang yang
diproduksi yang tunduk pada perintah Al-Qur’an dan Sunnah, juga harus
diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita
harus memperhitungkan akibat-akibat tidak menguntungkan yang akan terjadi dalam
hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman
terlarang dan lain sebagainya.
Terakhir,
suatu negara Islam tidak hanya akan menaruh perhatian untuk menaikkan volume
produksi tetapi juga untuk menjamin ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam
proses produksi. Di negara-negara kapitalis modern kita dapati perbedaan
pendapatan yang mencolok karena cara produksi dikendalikan oleh segelintir
kapitalis. Bahkan banyak negera muslim di dunia ini yang tidak luput dari
kecaman itu. Adalah menjadi tugas setiap negara Islam
untuk mengambil segala langkah yang masuk akal dalam mengurangi perbedaan
pendapatan akibat terpusatnya kekuasaan berproduksi dalam beberapa tangan saja.
Hal ini diusahakan dengan (a) menjalankan sistem perpajakan progresif terhadap
pendapatan, (b) dikenakannya pajak warisan terhadap hak milik yang diwariskan
dengan perbandingan progressif, (c) distribusi hasil pajak terutama yang
terkumpul dari golongan-golongan yang lebih kaya, untuk masyarakat yang lebih
miskin melalui pengaturan dinas-dinas sosial.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa sistem produksi dalam suatu negara Islam harus
dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif; kriteria yang objektif
akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari terpenuhinya
sumber daya ekonomi, dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang
diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah Kitab
suci Al-Qur’an dan Sunnah. (Manan; Teori dan Praktek Ekonomi Islam; 54-55).
B. Eksplorasi
Nilai dan Prinsip Islam dalam Produksi
Semangat
produksi untuk menghasilkan maslahah maksimum perlu dituntun dengan nilai dan
prinsip ekonomi Islam. Nilai dan prinsip pokok dalam produksi adalah amanah dan
profesionalisme. Dua prinsip pokok ini diambil dari ayat Al-Qur’an yang
mengatakan: “..."Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS.
28: 26).
Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan ayat
diatas bahwa maksud dari kuat (al-qawiyyu) lagi dipercaya (al-amin)
adalah profesional dan amanah (trust). Yang kedua prinsip pokok ini
merupakan sebuah piranti untuk mewujudkan maslahah yang maksimum, yang akan
kita jelaskan sebagai berikut:
1. Amanah
untuk Mewujudkan Maslahah Maksimum
Sifat amanah adalah salah satu nilai
penting dalam Islam, yang diambil dari nilai dasar kekhilafahan, yang harus
terus dijunjung tinggi. Pengertian amanah dalam konteks ini adalah penggunaan
sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu keberuntungan (falah).
Sedangkan sumber daya yang ada di alam semesta ini oleh Allah diamanahkan
kepada manusia. Manusia tidak diperbolehkan untuk
mengeksplorasi/mengeksploitasi sumber daya ekonomi ini dengan cara yang bathil.
Selanjutnya, pemanfa’atan sumber daya tersebut tidak boleh digunakan untuk
usaha-usaha yang bertentangan dengan tujuan khilafah, yaitu: terciptanya
kemakmuran di atas bumi. Untuk mewujudkan kemakmuran, manusia diberi hak
penguasaan dan kebebasan dalam memanfa’atkan sumber daya yang semua itu akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah, swt. sebagai pemberi amanah. Secara
singkat, dapat diatakan bahwa amanah di sini dimaknai sebagai usaha untuk
memanfa’atkan sumber daya yang ada dengan cara yang sebaik-baiknya dalam arti
sesuai dengan syariah untuk mencapai kemakmuran manusia di muka bumi.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi
dari nilai amanah tersebut, maka manusia butuh pemanfa’atan sumber daya yang
ada sebagai input dalam berproduksi. Memang, dalam nilai amanah ini tidak
disebutkan sebagai sumber yang membawa maslahah. Sumber daya bisa
berasal dari tempat yang dekat maupun dari tempat yang berjarak jauh. Namun,
Islam mengajarkan manusia agar memulai suatu kebaikan berasal dari diri
sendiri, keluarga, lingkungan sekitar dan seterusnya meluas hingga masyarakat
luas dalam sekup negara dan bangsa. Dengan berdasar pada prinsip ini, maka
manusia akan terbantu dalam memilih sumber daya mana yang akan dipilih menjadi
input produksi. Kegiatan produksi harus memanfa’atkan dengan sebaik-baiknya
sumber daya yang melimpah yang ada di sekitarnya. Ketika di lingkungan sekitar
tidak ada sumber daya yang bisa dimanfa’atkan, maka manusia bisa mencari sumber
daya pada lingkungan yang lebih luas dan pada sektor lain yang lebih luas,
demikian seterusnya. Sehingga prioritas produksi dalam Islam adalah dengan
memanfa’atkan sumber daya lokal yang melimpah.
2. Profesionalisme
Dalam ajaran Islam, setiap muslim
dituntut untuk menjadi pelaku produksi yang profesional, yaitu memiliki
profesionalitas dan kompetensi di bidangnya. Segala sesuatu harus dikerjakan
dengan baik, karenanya setiap urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Hal ini
memberikan implikasi bahwa setiap pelaku produksi Islam harus mempunyai
keahlian standar untuk bisa melaksanakan kegiatan produksi. Implikasi lebih
jauh dari hal ini adalah bahwa produsen harus mempersiapkan karyawannya agar
memenuhi standar minimum yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan produksi.
Maka tidak lain dengan cara menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan secara
intensif sehingga profesionalitas dapat tercapai bagi sumber daya manusia yang
dibutuhkan.
Dalam kaitannya dengan meningkatkan
profesionalisme sumber daya manusia, yang mana walaupun setiap tenaga kerja
sudah memenuhi standar minimum dalam melaksanakan produksi, namun ia harus
selalu belajar terus untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal-hal yang terkait
dengan produksi. Pembelajaran ini merupakan amanat sepanjang hidup (long
life learning) dari ajaran Islam, artinya: bahwa setiap agen muslim perlu
terus-menerus belajar. Adapun media untuk belajar bisa berupa pendidikan formal
dan informal dimana dan kapanpun dia berada, misalnya tempat bekerja (working
place). Dari tempat bekerja ini berangsur-angsur tenaga kerja akan bisa
memperoleh keahlian dalam berproduksi sehingga kemampuan kerjanya semakin
meningkat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan, maka jumlah barang/jasa yang
bisa dihasilkan juga semakin besar, sebab ia bekerja semakin efisien. Selain
itu frekuensi kesalahan dalam melaksanakan kegiatan produksi juga semakin
menurun. Akibatnya jumlah barang yang gagal (cacat) menjadi semakin kecil yang
berarti penggunaan input per unit output juga semakin menurun. Hal ini semua
yang disebut sebagai efek learning curve yang bisa ditunjukkan dalam
gambar sebagai berikut:
Gambar 2.1.
Learning Curve
Dengan
demikian, dapat kita perhatikan bahwa sumbu vertikal dalam kurva di atas
menunjukkan jumlah input yang digunakan untuk menghasilkan output, sementara
sumbu horizontal menunjukkan jumlah output. Jika input, misalnya tenaga kerja,
bersedia untuk melakukan kegiatan pembelajaran terus-menerus, maka
produktifitasnya akan semakin meningkat. Untuk menghasilkan lebih banyak
output, maka jumlah input yang digunakan semakin sedikit. Ajaran Islam
mengharuskan umatnya untuk melakukan long life learning sehingga
meningkatkan produktifitasnya sebagaimana telah diilustrasikan dalam learning
curve di atas, yang hal ini juga dijelaskan dalam sabda Nabi, saw. “Carilah
kalian ilmu pengetahuan dari ayunan sampai ke liang kubur”.
Scarcity Dalam Pandangan Islam
Berbicara mengenai produksi
maka tidak lepas dari isu scarcity. Scarcity sendiri dalam ekonomi konvensional
adalah mempelajari cara memanfaatkan sumber daya yang terbatas (scare) untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Doktrin scarecity ini menjadi
jiwa semua teori ekonomi konvensional. Tujuan ekonomi konvensional adalah untuk
memenuhi semua kebutuhan manusia dimana kebutuhan manusia itu sendiri tidak
terbatas. Sehingga dengan terbatasnya sumber daya dan tidak terbatasnya
kebutuhan manusia kemudian banyak pihak berlomba-lomba menguasai sumber daya
tersebut dengan keserakahan masing-masing. Keserakahan manusia inilah yang
membuat kebutuhan manusia tidak terbatas. Keserakahan ini pulalah yang membuat
hanya sebagian orang yang menguasai sumber daya ini. Hal inilah yang kemudian
membuat sumber daya tersebut terbatasi aksesnya oleh orang lain sehingga
terjadi kelangkaan.
Lalu bagaimana dengan ekonomi
islam, apakah teori kelangkaan sumber daya ini juga dikenal dalam ekonomi
islam? Dalam al Quran telah disebutkan bahwa Allah menjamin rezeki setiap
makhluknya. Artinya Allah SWT sendiri telah menjamin setiap kebutuhan manusia
dan makhluk hidup lainnya. Hal ini sudah otomatis menggugurkan konsep scarcity.
Karena tujuan ekonomi islam
adalah untuk kemaslahatan umat maka dalam islam tidak dibenarkan menguasai
sumber daya yang menyebabkan orang lain sulit atau bahkan tidak mampu mengakses
barang pemenuh (bukan pemuas) kebutuhan. Sumber daya harus dikelola sesuai 5
prinsip maqashid syariah yang menurut al Ghazali di implemetasikan dengan cara
sebagai berikut :
1. Produsen hanya menghasilkan
barang/jasa sesuai kebutuhan (needs) bukan hanya menghasilkan barang/jasa
sesuai keinginan (wants).
2. Barang/jasa yang dihasilkan
harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami, bukan sekedar
memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Dalam hal ini prinsip customer
satisfaction atau given demand hypotesis yang banyak dijadikan rujukan produsen
kapitalis, tidak dapat di implementasikan begitu saja.
3. Kuantitas produksi tidak
berlebihan, hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Karena produksi berlebihan selain
menimbulkan mis-alokasi dan kemubaziran, juga menyebabkan cepat terkurasnya
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup yang saat ini menjadi
permasalahan serius dunia ini.
Jika kelangkaan disebabkan
oleh faktor alam seperti yang diceritakan dalam surat Yusuf, maka Islam pun
sudah mengajarkan konsep saving atau
konsep lumbung padi untuk mengantisipasi kelangkaan tersebut.
KESIMPULAN
1. Kajian
dalam paper ini menganalisis beberapa kaidah baku (al Qur’an dan Hadist) dan
proses penerapan yang menjadi karakter ekonomi Islam. Kaidah baku harus
dijalankan dan dilindungi, sedangkan prosesnya penerapannya merupakan masalah
ijtihadiyah sesuai dengan kondisi tempat dan zaman. Pemahaman
kaidah ekonomi islam menjadi sangat penting demi konsistensi penerapan, pengembangan
dan evaluasi bentuk-bentuk perilaku ekonomi Islam di Indonesia.
2. Konsep produksi dalam Islam sesuai dengan al Quran dan hadist bertujuan
untuk maslahah untuk memenuhi kebutuhan manusia bukan kepuasan manusia seperti
teori konvensional.
3. Scarecity tidak ada dalam konsep ekonomi islam karena Allah telah
menjamin rezeki masing-masing makhlukNya.
4. Islam
mendorong pada umatnya tidak hanya beribadah, tapi juga bekerja keras sebagai
manifestasi keimanan atas dalil dalil naqli.
5. Bahkan
Islam yang kaffah juga mengajarkan etika bekerja yang tidak hanya berdimensi
horizontal tapi juga berdimensi vertikal. Bekerja tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan duniawi tapi sekaligus sebagai amanah dalam implementasi hifzud diin (proteksi agama), hifzun nafs (proteksi diri/jiwa), hifzun nasl (proteksi keturunan), hifzul aql (proteksi akal), dan hifzul maal (proteksi harta).
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman Karim, Sejarah
pemikiran ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, 2006; 257.
Abdur Rahman, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep
Ekonomi Islam dalam Ihya Ulumuddin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2010),
102-103.
Ahmad Mushtaf Al-Maroghi.
1987. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal dkk. Terjemah Tafsir Al-Maroghi.
Semarang: Tohaputra Semarang.
Faisal Badroen, dkk. 2005. Etika
Bisnis dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Hasan Binjai, H. Abdul
Halim. 2006. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: kencana.
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-produksi/
Ika Yunia Fauzia. Prinsip Dasar Ekonomi Islam.
Jakarta. Kencana. 2014.
Lajnah Pentashih Mushaf Al
Qur’an. 1985. Al Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Menara kudus.
Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam. Terj. Potan
Arif Harahap. Jakarta: Intermassa.
Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Telaah Analitik
Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Terj. Machnun Husein dari judul
aslinya “The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of The Islamic
Economic System, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36-38.
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), 233.
Qurays Shihab. 2002. Tafsir
Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam.
Terj. Potan Arif Harahap. Jakarta: Intermassa.
[2] Abdur Rahma, Ekonomi Al-Ghazali:
Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulumuddin, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu,2010), 102-103.
[3] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2008), 233.
[4] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[5] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[6] Ahmad Mushtaf
Al-Maroghi. 1987. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal dkk. Terjemah Tafsir
Al-Maroghi. Semarang: Tohaputra Semarang.
[7] Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Telaah
Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Terj. Machnun Husein dari
judul aslinya “The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of The
Islamic Economic System, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36-38.
[8] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[9] http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-produksi/
[10] http://irfansb.blogdetik.com/2012/05/09/pilar-kebijakan/
[11] Ika Yunia Fauzia. Prinsip Dasar Ekonomi
Islam. Jakarta. Kencana. 2014.
[12] Faisal Badroen,
dkk. 2005. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.
[14] Hasan Binjai, H.
Abdul Halim. 2006. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: kencana.
Sangat bermanfaat ilmu yang disuguhkan di blog ini. terima kasih #salam blogger
BalasHapusTerima kasih kang Jaelani :)
BalasHapus