Jumat, 05 Desember 2014

Norma dan Etika Kerja Serta Produksi Dalam Al-Qur’an dan Hadist


 
Presented by :
Desy Ery & Nurul Shiyam Aprila
(Magister Manajemen Syariah - EK18)
PENDAHULUAN
Al Quran sebagai pedoman hidup mati utama umat islam telah seringkali dibuktikan keilmiahan dan kesempurnaanya baik oleh ilmuwan muslim maupun non muslim. Berawal dari konsep habluminnallah dan habluminannas, maka lahirlah banyak cabang ilmu dan pengetahuan yang kemudian terbagi menjadi ilmu aqidah dan muamalah.
Atas praktek muamalah yang sudah terjadi sejak Nabi Adam lahir di dunia ini maka posisi al Quran bukanlah sebagai pencatat kejadian pada saat kenabian Rasulullah saja tapi juga sebagai pelurus praktek praktek muamalah pada saat itu yang kemudian menjadi panutan bagi praktek muamalah umat islam sampai saat ini.
Melihat tujuan dari ekonomi islam sendiri adalah maslahat bagi umat manusia, maka kegiatan produksi yang menjadi bagian dari kegiatan ekonomi juga harus menjadi maslahat, baik mulai dari sumber, prosedur, mekanisme, sampai hasilnya harus lebih besar maslahahnya daripada mudharatnya.
Paper ini akan secara ringkas mengulas mengenai dasar hukum produksi dan etika kerja dalam islam yang sesuai dengan kondisi perkembangan perkonomian saat ini berdasarkan al-Quran dan hadist.   

PEMBAHASAN
I.         Produksi
  1. Pengertian Produksi
Mannan menyatakan bahwa system produksi dalam Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang, dan kriteria subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah[1]. Jadi dalam Islam, keberhasilan sebuah system ekonomi tidak hanya disandarkan pada segala sesuatu yang bersifat materi saja, tapi bagaimana agar setiap aktifitas ekonomi termasuk produksi, bisa menerapkan nilai-nilai, norma, etika, atau dengan kata lain adalah akhlak yang baik dalam berproduksi. Sehingga tujuan kemaslahatan umum bisa tercapai dengan aktifitas produksi yang sempurna.

Sedangkan al Ghazali menyebutkan dalam Ihya Ulumuddin bahwa pengertian produksi adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam oleh sumber daya manusia agar menjadi barang yang bermanfaat bagi manusia.[2] Apa yang menjadi batasan “secara maksimal” dalam pengertian di atas? Pertama, produsen hanya menghasilkan barang/jasa yang dibutuhkan, bukan hanya yang di inginkan konsumen dan memiliki manfaat riil sesuai bagi kehidupan yang islami bukan hanya demi kepuasan pelanggan. Kedua, Kuantitas produksi tidak boleh berlebihan, cukup sebatas kebutuhan yang wajar agar tidak menimbulkan kemubaziran. Efek lainnya juga agar sumber daya alam yang ada tidak cepat terkuras habis. Ketidakseimbangan produksi baik kekurangan maupun kelebihan sangat berpotensi menyebabkan terciptanya kerusakan kondisi masyarakat.[3]
Sedangkan terminologi produksi dalam fikih Umar ibn Khattab adalah memperbaiki harta, berusaha, memakmurkan, dan bekerja. Sehingga makna semua aktivitas produksi barang dan jasa adalah memperbaiki apa yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh pemilik dan masyarakat. Sehingga nilai akhir dari produksi adalah kesungguhan bekerja (jihad fi sabilillah).[4]

  1. Ayat dan Terjemah Al-Quran tentang Produksi
  1. Produksi dalam al-Quran
QS. al Ankabut: 62
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
Allah melapangkan rezeki bagi orang yang Dia kehendaki di antara hamba- hamba-Nya dan Dia (pula) yang membatasi baginya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir al Ankabut: 62
Pada ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dia sendirilah yang berkuasa untuk menentukan rezeki itu, karena itu janganlah kamu wahai orang-orang yang beriman enggan berhijrah karena takut miskin, Allah memberi rezeki di mana saja kamu berada baik kamu berada di negerimu sendiri, atau di negeri orang atau dalam perjalanan, maupun di waktu kamu sedang ditawan musuh Allah SWT.
Umar ibn Khattab menulis surat untuk gubernurnya abu Musa “Bersikaplah qanaah dengan rezeki kamu karena sesungguhnya Allah melebihkan sebagian hamba hambaNya atas sebagian yang lain dalam rezeki sebagai ujian bagi masing-masing. Dia menguji orang diberiNya keluasan rezeki, bagaimana dia bersyukur padaNya. Mensyukuri rezeki kepada Allah adalah menggunakannya untuk kebenaran yang ditetapkan Allah”.[5]
b.      Perintah mencari nafkah
QS. al Israa: 12
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلاً
Artinya :
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
Tafsir al Israa: 12
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Nya yang ada di alam semesta, dengan maksud agar supaya manusia memikirkan dan merenungi Penciptanya. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menciptakan malam dan siang, masing-masing sebagai tanda kekuasaan Nya. Siang dan malam merupakan dua peristiwa yang selalu silih berganti yang sangat berguna bagi kemaslahatan man usia dalam menjalankan kewajiban agama dan urusan-urusan duniawi.
Di samping itu adanya pergantian siang dan malam merupakan anugerah yang dapat dirasakan secara langsung oleh manusia dalam kehidupan mereka sehari hari. Di waktu siang mereka dapat berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan di waktu malam mereka dapat beristirahat untuk melepaskan lelah. Allah SWT menjelaskan lebih lanjut bahwa Dialah yang menghapuskan tanda-tanda malam yaitu hilangnya cahaya matahari dan ufuk barat, sehingga lama kelamaan hari menjadi gelap gulita. Hal ini merupakan tanda kekuasaan Nya pula. Dan Allah menjadikan tanda-tanda siang bercahaya, maksudnya Allah menjadikan siang yang terang benderang itu sebagai tanda kekuasaan Nya pula, dan juga untuk memberikan kesempatan kepada manusia untuk mencari kebutuhan hidup untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Kecuali itu, perubahan siang dan malam itu sangat berguna bagi manusia untuk mengetahui bilangan tahun, bulan dan hari serta perhitungannya, terkecuali di daerah kutub utara dan selatan. 
QS. al Qoshash: 77                                                                             
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Tafsir al Qashas: 77
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Karun oleh kaumnya. Barangsiapa mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan memperoleh kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.
1. Orang yang dianugerahi oleh Allah SWT kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan di akhirat. Sabda Nabi saw: 
اغتنم خمسا قبل خمس شبابك قبل هرمك وصحتك قبل سقمك وغناك قبل فقرك وفراغك قبل شغلك وحياتك قبل موتك 
Artinya:
Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuanmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu. (H.R. Baihaki dari Ibnu Abbas) 
2. Janganlah seseorang itu meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman dan pakaian serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah SWT, karena baik untuk Tuhan, untuk diri sendiri maupun keluarga, semuanya itu mempunyai hak atas seseorang yang harus dilaksanakan. Sabda Nabi Muhammad saw: 
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا 
Artinya:
Kerjakanlah (urusan) duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Don laksanakanlah amalan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok. (H.R. Ibnu Asakir) 
3. Seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah SWT berbuat baik kepadanya, membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan mesjid. madrasah, pembinaan rumah yatim piatu di panti asuhan dengan harta yang dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya, memberikan senyuman yang ramah tamah di dalam perjumpaannya dan lain sebagainya. 
4. Janganlah seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada sesama makhluk Allah, karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Allah SWT tidak akan menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan memberikan rida dan rahmat-Nya.
QS. al Jumuah: 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Tafsir al Jumuah: 10
Pada ayat ini, Allah SWT mencela perbuatan orang-orang mukmin yang pada waktu rombongan unta kafilah dagang tiba dan diadakan penyambutan beramai-ramai, mereka pergi menjemputnya dan meninggalkan Nabi SAW. dalam keadaan berdiri berkhutbah. Ayat ini ada hubungannya dengan peristiwa waktu Dihyah Al Kalby tiba dari Syam (Suriah), bersama rombongan untanya membawa barang dagangannya seperti tepung, gandum, minyak dan lain-lainnya. Sebagai kebiasaan apabila rombongan unta dagangan tiba, wanita-wanita muda keluar menyambutnya dengan menabuh gendang, sebagai pemberitahuan atas kedatangan rombongan itu, supaya orang-orang datang berbelanja membeli barang dagangan yang dibawanya. Di dalam suatu hadis diriwayatkan oleh Jabir disebutkan sebagai berikut: 
بينما النبي صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة قائما إذ قدمت عير فابتدرها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى لم يبق إلا اثنا عشر رجلا أنا فيهم وأبو بكر وعمر فأنزل الله تعالى: وإذا رأوا تجارة أو لهوا إلى آخر السورة 
Artinya:
Tengah Nabi SAW. berdiri berkhutbah pada Jumat, tiba-tiba datanglah rombongan unta (pembawa dagangan), maka cepat-cepatlah sahabat Rasulullah SAW. mengunjunginya sehingga dada yang tinggal tekun (mendengarkan khutbah) kecuali 12 orang. Saya (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk mereka yang tinggal, maka Allah Taala menurunkan ayat: wa iza ra'au tijaratan au lahwan sampai akhir surat) (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Turmuzi dari Jabir bin Abdullah) 
Selanjutnya Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya supaya menyampaikan kekeliruan perbuatan mereka dengan menegaskan bahwa apa yang di sisi Allah yang bermanfaat bagi akhirat jauh lebih baik daripada keuntungan dan kesenangan dunia yang diperolehnya, karena kebahagiaan akhirat itu kekal, sedangkan keuntungan dunia akan lenyap. 
QS. al Mulk: 15
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya :
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Tafsir al Mulk: 15
Ayat ini menerangkan nikmat Allah SWT yang tiada terhingga yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia, dengan menyatakan, "Wahai sekalian manusia, Tuhan telah menciptakan bumi dan memudahkan untukmu, sehingga kamu dapat mengambil manfaat yang tidak terhingga untuk kepentingan hidup dan kehidupanmu. Dia menciptakan bumi itu bulat, terapung-apung di angkasa luas, tetapi manusia tinggal di atasnya seperti berada di tempat yang datar terhampar, tenang dan tidak bergoyang. Dengan perputaran bumi terjadilah malam dan siang, sehingga manusia dapat berusaha pada siang hari dan beristirahat pada malam harinva. Padanya memancarkan sumber-sumber mata air, yang mengalir air untuk diminum manusia dan binatang ternak peliharaannya. Dengan air itu pula manusia mengairi kebun-kebun dan sawah sawah mereka, demikian pula kolam-kolam tempat mereka memelihara ikan. Dengan air itu pula mereka mandi membersihkan badan mereka yang telah kotor, sehingga mereka merasa segar dan nyaman. Diciptakan-Nya pula bukit-bukit, lembah-lembah, gunung-gunung yang menghijau yang menyejukkan hati orang yang memandangnya. Dari celah-celah bukit itu mengalirlah sungai-sungai dan di antara bukit-bukit dan lembah-lembah itu manusia membuat jalan-jalan yang menghubungkan suatu negeri dengan negeri yang lain. Alangkah banyaknya nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada manusia. Seandainya Allah menahan suatu nikmat saja kepada manusia, misalnya tidak memberikan udara yang akan dihirup. manusia akan mengalami penderitaan yang sangat. Siapakah yang dapat mengingkari nikmat Allah yang demikian banyaknya itu? 
Setelah Allah SWT menerangkan bahwa alam ini diciptakan untuk manusia dan memudahkannya untuk keperluan mereka, maka Dia memerintahkan agar mereka berjalan di muka bumi, untuk memperhatikan keindahan alam, berusaha mengolah alam yang mudah ini, berdagang, beternak, bercocok tanam dan mencari rezeki yang halal, karena semua yang disediakan Allah itu harus diolah dan diusahakan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia. 
Dengan memahami ayat ini dapat ditetapkan sebagai berikut:[6]
1.      Allah SWT memerintahkan agar manusia berusaha dan mengolah alam untuk kepentingan mereka guna mendapatkan rezeki yang halal. Hal ini berarti bahwa manusia yang tidak mau berusaha dan bersifat pemalas itu bertentangan dengan perintah Allah SWT. 
2.      Karena berusaha dan mencari rezeki itu termasuk melaksanakan perintah Allah SWT., maka orang yang berusaha dan mencari rezeki itu adalah orang yang menaati Allah. Menaati perintah Allah termasuk ibadat. Dengan perkataan lain bahwa berusaha dan mencari rezeki itu bukan mengurangi ibadat, tetapi memperkuat dan memperbanyak ibadat itu sendiri. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Umar Ibnul Khattab, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda: 
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ حّقَّ تّوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقَ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَامًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا 
Artinya:
Jika kamu sekalian benar-benar bertawakal kepada Allah dengan sesungguh hati, niscaya kamu akan diberi-Nya rezeki seperti Dia memberi rezeki burung. Pagi-pagi burung itu pergi mencari rezeki dengan perut yang kempis. Petang hari ia kembali ke sarangnya dengan perut yang berisi penuh. (HR. Ahmad dan Umar Ibnul Khattab) 
Hadis ini menunjukkan bahwa waktu sejak dini hari sampai petang adalah waktu mencari rezeki, seperti yang telah dilakukan burung. Jika manusia benar-benar mau berusaha sejak pagi sampai petang pasti Allah memberinya rezeki. Mereka tidak akan kelaparan. Dari hadis ini juga dapat dipahami bahwa orang yang tidak mau berusaha tidak akan diberi rezeki oleh Allah. Diriwayatkan oleh Al Hakim dan Turmuzi dari Mu'awiyah bin Qurrah, berkata, "Pada suatu hari Umar bin Khattab lewat di perkampungan suatu kaum, lalu beliau bertanya kepada kaum itu, "Siapakan kamu?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah." Umar berkata, "Kamu bukanlah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah, melainkan orang-orang yang telah dimakan karat. Adapun orang yang bertawakal kepada Allah ialah orang yang menanamkan benih ke dalam tanah lalu ia bertawakal kepada Allah. Dalam berusaha mencari rezeki itu agama Islam memberikan beberapa pedoman: 
1. Agar setiap manusia berusaha mencukupkan keperluan dirinya dan keluarganya. Orang yang berangkat dari rumahnya pagi hari untuk berusaha mencari rezeki, termasuk orang yang didoakan oleh Nabi Muhammad SAW agar diberkati Allah SWT: 
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا 
Artinya:
Bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Wahai Allah, berkatilah umatku yang berangkat berusaha pagi-pagi". (HR. Tirmizi). 
2. Dalam berusaha itu hendaklah mencari yang halal. Yang dimaksud dengan mencari yang halal ialah mencari rezeki dengan cara-cara yang halal, tidak dengan mencuri, menipu dan sebagainya. Rezeki yang dicari itu adalah rezeki yang halal, tidak yang haram, seperti khamar, bangkai dan sebagainya, sesuai dengan hadis: 
عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ يَعْنِيْ فِيْ طَلَبِ الْحَلَالِ 
Artinya:
Dari Ali bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Taala ingin melihat hamba-Nya, dalam mencari yang halal" (HR. At Tabarani). 
Dan Hadis: 
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: طَلَبُ الْحَلَالِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ 
Artinya:
Dari Anas bin Malik R.A. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Mencari rezeki yang halal wajib atas tiap-tiap muslim" (HR. At Tabarani). 

Pada akhir ayat, Allah SWT memberi peringatan kepada manusia bahwa semua makhluk akan kembali kepada-Nya di Hari Kiamat nanti; waktu itu akan di timbang semua perbuatan manusia. Amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka. Karena itu hendaklah manusia lebih dahulu selalu mawas diri, berusaha melaksanakan amal saleh sebanyak mungkin dan menilai serta meneliti perbuatan-perbuatan yang akan dikerjakannya, berusaha memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang terlanjur dilakukannya atau ia tidak menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu termasuk perbuatan yang dilarang Allah. Maka carilah rezeki yang halal saja, jangan sekali-kali memakan rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram atau bendanya sendiri adalah benda yang haram. Ingatlah bahwa semua makhluk tanpa ada kecualinya akan kembali kepada-Nya, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
  1. Perintah pemanfaatan sumber daya alam (SDA)
QS. an Nahl:14
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُواْ مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُواْ مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Tafsir an Nahl: 14
Sesudah itu Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat Nya yang diberikan kepada hamba-Nya, yang terdapat di lautan. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia yang telah mengendalikan lautan untuk manusia yaitu mengendalikan segala macam nikmat Nya, yang terdapat di lautan agar supaya manusia dapat memperoleh makanan dari lautan itu, yaitu daging yang segar. Dimaksud dengan daging yang segar di sini ialah segala macam jenis ikan yang diperoleh manusia dengan jalan menangkapnya. Bukan ikan yang telah mati dan membusuk di lautan. Disebutkan ikan itu dengan daging yang segar agar supaya dapat memahami bahwa yang boleh dimakan dari segala jenis ikan yang terdapat di dalam lautan itu ialah yang ditangkap dalam keadaan hidup, meskipun binatang itu mati tanpa disembelih. Akan tetapi apabila segala jenis ikan itu diperoleh telah menjadi bangkai apalagi telah membusuk, maka tidak boleh dimakan karena dikhawatirkan membahayakan kesehatan orang-orang yang memakannya. Dimaksud dengan binatang yang mati di lautan ialah binatang yang mati dengan sendirinya atau karena sebab-sebab yang lain sehingga binatang itu mati mengambang di dalam air, bukan binatang yang mati karena ditangkap oleh manusia. 

Rasulullah bersabda: 
ما نضب عنه الماء فكلوا وما لفظه فكلوا وما طفا فلا تأكلوا 
Artinya: 
Semua binatang laut yang mati karena kehabisan air makanlah dan semua binatang laut yang terdampar ke daratan dan lautan makanlah. Tetapi binatang yang terapung di lautan janganlah dimakan. (H.R Jabir). 
Demikian sabda Nabi Muhammad saw: 
هو الطهور ماؤه الحل ميتته 
Artinya: 
Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (H.R Arba’ah dari Abu Hurairah dari Ibnu Syaibah). 
Hendaklah dipahami bahwa bangkai binatang air laut yang halal dimakan ialah binatang yang ditangkap oleh manusia, yang terlempar ke daratan, yang mati kerana kehabisan air, yang masih segar bukan binatang yang mati terapung di lautan yang sudah membusuk. 
Sesudah itu Allah SWT menyebutkan nikmat-Nya yang lain yang didapat manusia dan lautan yang mereka pergunakan sebagai perhiasan. Perhiasan yang didapat orang dan lautan ialah sebangsa mutiara dan marjan. Kesemuanya itu berupa nikmat Allah yang diberikan kepada manusia yang tiada bernilai harganya.
Dan di antara nikmat yang diberikan kepada manusia yang didapat dari lautan itu ialah bahwa dapat dijadikan lalu lintas pelayaran, baik oleh kapal-kapal layar ataupun kapal-kapal api yang hilir mudik dari suatu negara ke negara lain untuk mengangkut segala macam barang perdagangan sehingga mempermudah perdagangan dari suatu negara ke negara lain. Dari perdagangan itulah orang-orang mendapat rezeki karena untung yang diperoleh dari padanya. Nikmat-nikmat Allah itu disebutkan dengan maksud agar supaya manusia dapat mensyukuri semua nikmat Allah yang diberikan kepada mereka itu dan agar manusia dapat memahami betapa besarnya nikmat Allah yang telah diberikan pada mereka dan memanfaatkan nikmat yang tiada taranya itu untuk kesejahteraan mereka.
QS. Al Israa: 66
رَّبُّكُمُ الَّذِي يُزْجِي لَكُمُ الْفُلْكَ فِي الْبَحْرِ لِتَبْتَغُواْ مِن فَضْلِهِ إِنَّهُ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya :
Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-Kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu.
Tafsir al Israa: 66
Allah SWT menjelaskan bahwa Allah yang melajukan kapal-kapal di lautan untuk para hamba Nya, agar mereka itu dapat memanfaatkan kapal-kapal itu sebagai alat pengangkut kebutuhan hidup mereka dari suatu negeri ke negeri lain. Dengan pengangkutan itulah kemakmuran yang terdapat di suatu negeri dapat dipindahkan ke negeri yang lain. Dan dengan pengangkutan itu pulalah orang-orang yang merasa kesempitan mencari rezeki di suatu negeri, dapat diantarkan ke tempat-tempat yang makmur, agar mereka memperoleh jalan untuk mencari rezeki, serta dapat pula menyaksikan kenikmatan Allah yang terbesar di seluruh alam, yang menjadi bukti Ke Maha Murahan Allah kepada seluruh hamba Nya. Di akhir ayat Allah SWT menegaskan bahwa Dia benar-benar Maha Penyayang terhadap seluruh hamba Nya, karena ke mana saja manusia itu mengarahkan pandangannya, tentulah akan menyaksikan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga, yang menjadi tanda-tanda kebesaran kekuasaan Nya.
QS. ar Rum: 46
وَمِنْ آيَاتِهِ أَن يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ وَلِيُذِيقَكُم مِّن رَّحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya; mudah-mudahn kamu bersyukur
Tafsir ar Rum: 46
Di antara tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah dan sebagai bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa Dia telah meniupkan angin menghalau awan ke suatu tempat, kemudian awan itu semakin berat, sehingga menjadi mendung yang akan menurunkan hujan. Adanya angin dan mendung ini merupakan kabar gembira bagi manusia yang telah menunggu-nunggu turunnya hujan yang akan menyirami kebun, sawah dan ladang mereka. Dengan adanya angin dan awan itu tergambarlah dalam angan-angan mereka bahwa tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman mereka akan hidup subur, mereka akan memperoleh hasil yang cukup untuk kehidupan keluarga mereka, dan binatang ternak mereka akan berkembang biak.
Angin yang baik di lautan menimbulkan harapan yang baik pula bagi para pelaut yang sedang mengarungi lautan. Dengan angin yang baik kapal dapat berlayar dengan baik pula, timbul perasaan tenang dan tenteram dalam hati setiap awak kapal itu yang membawa muatan ke pelbagai negeri, menghubungkan antara negeri yang berjauhan. Perahu layar akan meluncur dengan cepat dan tenang dengan hembusan angin yang baik. Para nelayan berlega hati mencari rezeki Allah di lautan dalam hembusan angin yang sepoi basah. Demikianlah rahmat Allah yang tiada terhingga banyaknya. Diterangkan rahmat-rahmat itu kepada manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya. 
QS. al Faatir: 12
وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ ۖ وَمِن كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا ۖ وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :
Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur
Tafsir al Faatir: 12
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa ada dua keistimewaan air, masing-masing mempunyai guna sendiri-sendiri dan dari keduanya dapat dinikmati ikan lezat cita rasanya. Yang satu airnya tawar di sungai-sungai melalui desa-desa, kota-kota besar, sedap diminum, menghilangkan dahaga, menyuburkan tanah, menumbuhkan rumput-rumput tanam-tanaman dan pohon-pohonan, perahu-perahu berlayar di atasnya membawa keperluan hidup dari satu tempat ke tempat lain, yang satu lagi airnya asin, daripadanya dapat diambil mutiara dan karang laut yang dijadikan perhiasan, menjadi tempat berlayarnya kapal-kapal besar membawa hasil bumi dan tambang dari satu tempat ke tempat-tempat lain yang jauh, baik di daerah sendiri maupun di luar negeri sebagai barang ekspor atau mendatangkannya dari luar negeri sebagai barang import yang tidak dapat dijangkau oleh perahu-perahu kecil, sebagai dagangan untuk mencari karunia Allah. Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa hal-hal yang menunjukkan kekuasaan Allah seperti tersebut di atas menundukkan air tawar dan air asin dapat dipergunakan menurut fungsinya masing-masing agar manusia bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya Itu.
C.  HADIST-HADIST TENTANG PRODUKSI
Umar RA menilai kegiatan produksi sebagai salah satu bentuk jihad fisabilillah. Dalam hal ini beliau mengatakan, “Tidaklah Allah SWT menciptakan kematian yang aku meninggal dengannya setelah terbunuh dalam jihad fisabilillah yang lebih aku cintai daripada aku meninggal di antara dua kaki untaku ketika berjalan di muka bumi dalam mencari sebagian karunia Allah SWT.” (Ibnu Abi Ad- Dunya, op, cit, hlm. 241).
Sesungguhnya penilaian bahwa produktifitas sebagai salah satu bentuk jihad fisabilillah dikuatkan hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Ia berkata, “ Kami berperang bersama Rasulullah Saw. Di Tabuk, lalu melintas di depan kami seorang pemuda yang gesit membawa hasil kerjanya, maka kami berkata, ‘Alangkah bila pemuda itu berjihad dalam perang fisabilillah, maka ia akan mendapatkan yang lebih baik daripada hasil kerjanya itu.’ Akhirnya pembicaraan kami sampai kepada Rasulullah Saw, maka beliau berkata, ‘Apa yang telah kalian katakan?’ kami menjawab, ‘ Demikian, dan demikian, ‘ Maka beliau berkata, ‘Ketahuilah, bahwa bila dia bekerja untuk kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya, maka dia berjuang di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk mencukupi keluarganya, Maka dia berjuang di jalan Allah. Dan, jika dia bekerja untuk mencukupi dirinya, maka dia berjuang di jalan Allah.” (Hadist ini dikeluarkan oleh Al- Mundziri). Hadist ini menjelaskan keutamaan produksi, baik yang memanfaatkan dirinya sendiri atau orang lain.
Umar RA berpendapat bahwasannya melakukan aktifitas produksi lebih baik daripada mengkhusukan waktu pada ibadah- ibadah sunnah, dan mengandalkan manusia dalam mencukupi kebutuhannya. Diantara bukti hal itu adalah riwayat yang mengatakan, bahwa “Umar Radhiallahu Anhu melihat tiga orang di mesjid tekun beribadah, maka beliau bertanya kepada salah satu di antara mereka, “ Dari mana kamu makan?’ Ia menjawab, ‘ Aku adalah hamba Allah, dan Dia mendatangkan kepadaku rizkiku bagaimana Dia menghendaki.’Lalu Umar meninggalkannya, dan menuju kepada orang yang kedua seraya menanyakan hal yang sama. Maka dia memberitahukan kepada umar dengan mengatakan, “ Aku memiliki saudara yang mencari kayu di gunung untuk dijual, lalu dia makan sebagian dari hasilnya, dan dia datang kepadaku memenuhi kebutuhanku.’ Maka Umar berkata, ‘Saudara kamu lebih beribadah daripada kamu.’Kemudian Umar mendatangi orang yang ketiga seraya bertanya tentang hal yang sama. Ia menjawab, ‘Manusia melihatku, lalu mereka datang kepadaku dengan sesuatu yang mencukupiku.’Maka Umar memukulnya dengan tongkatnya dan berkata kepadanya, ‘Keluarlah kamu ke Pasar,’ atau ucapan yang seperti itu.’ (Ibnu Al- Haj, Al- Madkhal (4:464)
D.  Tujuan Produksi
Tujuan utama produksi adalah meningkatkan kemashlahatan yang bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk, diantaranya :[7]
  1. Pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkatan moderat
  2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya
  3. Menyiapkan persediaan barang/jasa di masa depan
  4. Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah SWT.
Karakteristik nilai makna produksi dalam ekonomi Islam adalah :[8]
  1. Dibenarkan syariah
  2. Tidak mengandung unsur bahaya bagi orang lain
  3. Mencakup manfaat dunia dan akhirat secara seimbang (jasmani dan ruhani)
Untuk mencapai tujuan tersebut maka beberap prinsip produksi juga harus dipatuhi antara lain: [9]
  1. Kegiatan produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam sesuai dengan al Quran dan hadist. Dan tidak bertentangan dengan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
  2. Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tertier).
  3. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek keadilan, sosial, zakat, sedekah, infak dan wakaf.
  4. Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros, tidak berlebihan, dan tidak merusak lingkungan.
Mengelola sumber daya alam dengan bijak yang berorientasi pada hifzun nasl dimana pemerintah selalu memikirkan nasib generasi mendatang. Jangan sampai generasi mendatang menanggung akibat buruk dari kebijakan saat ini. Karena itu, pemerintah akan meminimalisir kebijakan pembangunan ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, atau meninggalkan generasi mendatang dengan beban hutang yang sangat berat.[10]
  1. Faktor-Faktor Produksi
Dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang/jasa. Al Ghazali menyebutkan bahwa beberapa faktor produksi antara lain :[11]
  1. Tanah
  2. Tenaga kerja
  3. Modal
  4. Manajemen Produksi
  5. Teknologi
  6. Bahan Baku
II.      Etika dan Norma Kerja
A.   Pengertian Etika dan Norma Kerja Dalam Islam
Menurut Hamzah Ya’kub, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Menurut Herman Soewardi etika dapat dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu (1) ilmu tentang apa yang baik  dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[12]
Sedangkan kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuanya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdiaan dirinya pada Allah SWT.
Islam sebagai agama dan idiologi memang mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah beribadah, dan hendaaknya kamu takut pada generasi setelah ditinggalkan dalam kesusahan iman dan ekonomi. Beberapa hadits Nabi menyatakan pentingnya generasi (umat) yang kuat ketimbang yang lemah dan tidak boleh menggantungkan diri pada orang lain, serta beberapa ajaran islam yang mendorong umatnya untuk menjalankan kegiatan atau aktivitas ekonominya secara baik, profesional, sistematis, dan kontiyuitas. Misalnya ajaran islam yang telah mendapatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang dianjurkan, dengan menggunakan cara-cara yang halal. Islam juga menempatkan prinsip kebebasan pada tempat yang sentralnya guna mengejar tujuaan keduniawian, namun serta merta juga mengharuskan umat Islam bekerja secara etik menurut norma yang secara garis besar telah diasuratkan dan diisaratkan dalam al-Quran dan hadits.
  1. Ayat dan terjemah al Quran mengenai Etika dan Norma Kerja
  1. Jaminan rizki dan tuntutan kerja (al isra:70, hud:6, al mukmin:64)
1.      Al Isra:70
 17:70Artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Tafsir:
Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah memuliakan Adam dengan raut muka yang indah, potongan yang serasi dan diberi akal, agar dapat menerima petunjuk, untuk berbudaya dan berpikir guna mencari keperluan hidupnya, mengelola kekayaan alam serta menciptakan alat pengangkut di darat, di lautan maupun di udara. Dan Allah telah memberikan rezeki yang baik-baik kepada mereka itu, yang terdiri dari makanan yang di dapat dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. 
Di akhir ayat Allah SWT menegaskan bahwa Dia telah melebihkan mereka itu dengan kelebihan yang sempurna, dari kebanyakan makhluk yang lain yang diciptakan Nya. Dengan demikian seharusnyalah mereka itu tidak mengadakan tuhan-tuhan yang lain yang mereka persekutukan dengan Allah, akan tetapi hendaknya beribadah kepada Nya, serta mengikuti bimbingan wahyu Nya.
2.      Hud:6
17:70
Artinya:
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).
Tafsir:
Binatang-binatang yang melata yang hidup di atas bumi yang meliputi binatang yang merayap, merangkak atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin rezekinya oleh Allah swt. Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan kejadiannya, semuanya itu diatur oleh Allah Taala dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian. Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada semacam binatang yang berkembang biak terlalu cepat sehingga mengancam kelangsungan hidup binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak sehingga mengganggu kesehatan umum. Maka pantaslah jika sebagian binatang memakan sebagian yang lain lagi, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat dipertahankan.[13]
Allah mengetahui tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat penyimpanannya ketika masih berada dalam perut induknya. Pada kedua tempat itu Allah senantiasa menjamin rezekinya dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya dalam sebuah kitab yang nyata yaitu Lohmahfuz yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.
3.      Al Mukmin:64
Quran, Surah Al-Mu'min, Ayat 64
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.
Tafsir:
Allahlah yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat kediaman, kamu hidup di atasnya dengan menikmati rezeki yang dilimpahkan-Nya. Dia pula yang menjadikan langit sebagai atap dan dihiasi dengan bintang-bintang yang gemerlapan tampak di malam hari dan karena teraturnya peredaran bintang-bintang itu timbullah malam, siang, gelap dan terang benderang. 
Pada ayat ini diterangkan dalil-dalil keesaan dan kekuasaan Allah yang terdapat pada diri manusia sendiri, yaitu Dia telah menjadikan manusia dalam bentuk yang baik di antara para makhluk-Nya dan dilengkapi dengan anggota tubuh yang sesuai dengan keperluan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Dia pulalah yang memberikan kepada manusia makanan dan minuman yang baik sebagai rezeki dari-Nya. Allah itu Tuhan yang Maha Tinggi, yang memiliki semesta alam. 
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Tuhan yang melimpahkan rahmat-Nya atas kamu itu adalah Tuhan yang wajib disembah, Tuhan Yang Maha Sempurna dan memiliki semesta alam.

  1. Bekerja untuk menutupi kebutuhan sendiri dan keluarga
QS al Ankabut: 6
            Artinya :
            “Dan barangsiapa bekerja sungguh-sungguh maka ia bekerja untuk diri sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam”.
Bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Karena memenuhi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain, tidak dapat diwakilkan, dan melaksanakannya juga termasuk dalam jihad. Hadis Rasulullah menyebutkan “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Ia berkata, “ Kami berperang bersama Rasulullah Saw. Di Tabuk, lalu melintas di depan kami seorang pemuda yang gesit membawa hasil kerjanya, maka kami berkata, ‘Alangkah bila pemuda itu berjihad dalam perang fisabilillah, maka ia akan mendapatkan yang lebih baik daripada hasil kerjanya itu.’ Akhirnya pembicaraan kami sampai kepada Rasulullah Saw, maka beliau berkata, ‘Apa yang telah kalian katakan?’ kami menjawab, ‘ Demikian, dan demikian, ‘ Maka beliau berkata, ‘Ketahuilah, bahwa bila dia bekerja untuk kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya, maka dia berjuang di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk mencukupi keluarganya, Maka dia berjuang di jalan Allah. Dan, jika dia bekerja untuk mencukupi dirinya, maka dia berjuang di jalan Allah.” (Hadist ini dikeluarkan oleh Al- Mundziri).
  1. Bekerja untuk memakmurkan bumi
Hud:61
Quran, Surah Hud, Ayat 61
Artinya:
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)".
Tafsir:
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus seorang utusan kepada kaum Samud namanya Saleh. Ia menyeru mereka supaya hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan sembahan-sembahan yang telah membawa mereka kepada jalan yang salah dan menyesatkan. Allahlah yang menciptakan mereka dari tanah. Dari tanah itulah diciptakan-Nya Adam a.s. dan dari itu pulalah asal mula semua manusia karena manusia dalam rahim ibunya berasal dari air mani. Setetes air mani itu setelah membuahi telur dalam rahim berkembang menjadi segumpal daging lalu membentuk kerangka tubuh berupa tulang-tulang, dan tulang-tulang ini dibalut dengan daging sehingga menjadi janin dalam rahim. Kemudian setelah sempurna semua anggota badannya ia keluar sebagai bayi. Mani itu berasal dari makanan yang dimakan manusia sedangkan makanan itu baik yang berupa tumbuh-tumbuhan maupun berupa daging binatang semua berasal dari tanah juga. Setelah manusia berkembang biak di atas bumi mereka diserahi Allah tugas memakmurkannya sebagai anugerah dan karunia daripada-Nya. Dengan karunia itu kaum Samud telah hidup senang bahkan mereka telah dapat pula membuat rumah tempat berlindung seperti tersebut dalam firman Allah: 
وَكَانُوا يَنْحِتُونَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا آمِنِينَ 
Artinya: 
Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman. (Q.S. Al-Hijr: 82)
Demikian besarnya karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Maka wajiblah mereka mensyukuri nikmat itu dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya dan tidak menyembah selain-Nya dan seharusnyalah mereka bertobat kepada-Nya, karena ketelanjuran mereka berbuat kesesatan menyembah sembahan-sembahan selain Dia. Bila mereka menyadari hal ini dan dengan sungguh-sungguh bertobat kepada-Nya tentulah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha menerima tobat mengampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Inilah yang diserukan dan dianjurkan Nabi Saleh a.s. kepada kaumnya itu.[14]
  1. Ihsan dalam bekerja (profesional)
            Artinya :
            “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

C. Profesionalisme dalam Islam

Pengertian Profesionalisme
Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok, yang disebut profesi, artinya pekerjaan tersebut bukan pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Jika profesi diartikan sebagai pekerjaan da isme sebagai pandangan hidup, maka profesional dapat diartikan sebagai pandangan untuk selalu berfikir, berpandirian, bersikap dan bekerja sungguh- sungguh, kerja keras, bekerja sepenuh waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi demi keberhasila pekerjaannya.
Dengan pengertian tersebut, profesionalisme sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu perusahaan, organisasi dan lembaga. Perusahaan, organisasi dan sejenisnya tersebut kalau ingin berhasil program-program, maka harus melibatkan orang-orang yang mampu bekrja secara profesional. Tanpa sikap dan prilaku profesional maka lembaga, organisasi tersebut tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, bahkan bisa mengalami kebangkrutan.
Dalam realitas masyarakat, banyak ditemukan adanya perusahaan, organisasi, dan lembaga yang maju, sedang atau biasa-biasa. Diantara faktor yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran perusahaan atau lembaga tersebut adalah sikap dan perilaku profesional dariorang-orang yang terlibat didalamnya, terutama para peminpinnya.

Nilai-nilai Islam yang Mendasari Profesionalisme
Ajaran Islam sebagai agama universal sangat kaya akan pesan-pesan yang mendidik bagi muslim untuk menjadi umat terbaik, menjadi khalifa, yang mengatur dengan baik bumi dan se isinya. Pesan-pesan sangat mendorong kepada setiap muslim untuk berbuat dan bekerja secara profesional, yakni bekerja dengan benar, optimal, jujur, disiplan dan tekun.
Akhlak Islam yang di ajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, memiliki sifat-sifat yang dapat dijadikan landasan bagi pengembangan profesionalisme. Ini dapat dilihat pada pengertiansifat-sifat akhlak Nabi sebagai berikut :
·      Sifat kejujuran (shiddiq). Kejujuran ini menjadi salah satu dasar yang paling penting untuk membangun profesionalisme. Hampir semua bentuk uasha yang dikerjakan bersama menjadi hancur, karena hilangnya kejujuran. Oleh karena itu kejujuran menjadi sifat wajib bagi Rasulullah SAW. Dan sifat ini pula yang selalu di ajarkan oleh islam melalui al-Qur’an dan sunah Nabi. Kegiatan yang dikembangkan di dunia organisasi, perusahan dan lembaga modern saat ini sangat ditentukan oleh kejujuran. Begitu juga tegaknya negara sangat ditentukan oleh sikap hidup jujur para pemimpinnya. Ketika para pemimpinya tidak jujur dan korup, maka negara itu menghadapi problem nasional yang sangat berat, dan sangat sulit untuk membangkitkan kembali.
·      Sifat tanggung jawab (amanah). Sikap bertanggung jawab juga merupakan sifat akhlak yang sangat diperlukan untuk membangun profesionalisme. Suatu perusahaan/organisasi/lembaga apapun pasti hancur bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak amanah.
·      Sifat komunikatif (tabligh). Salah satu ciri profesional adalah sikap komunikatif dan transparan. Dengan sifat komunikatif, seorang penanggung jawab suatu pekerjaan akna dapat menjalin kerjasama dengan orang lain lebih lancar. Ia dapat juga meyakinkan rekanannya untuk melakukan kerja sama atau melaksanakan visi dan misi yang disampaikan. Sementara dengan sifat transparan, kepemimpinan di akses semua pihak, tidak ada kecurigaan, sehingga semua masyarakat anggotanya dan rekan kerjasamanya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada kepemimpinanny. Dengan begitu, perjalanan sebuah organisasi akan berjalan lebih lanca, serta mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak.
·      Sifat cerdas (fathanah). Dengan kecerdasannya seorang profesional akan dapat melihat peluang dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat. Dalam sebuah organisasi, kepemimpina yang cerdas akan cepat dan tepat dalm memahami problematikayang ada di lembaganya. Ia cepat memahami aspirasi anggotanya, sehingga setiap peluang dapat segera dimanfaatkan secara optimal dan problem dapat dipecahkan dengan cepat dan tepat sasaran.
Disamping itu, masih terdapat pula nilai-nilai islam yang dapat mendasari pengembangan profesionalisme, yaitu :
·      Bersikap positif dan berfikir positif (husnuzh zhan ). 
Berpikir positif akan mendorong setiap orang melaksanakan tugas-tugasnya lebih baik. Hal ini disebabkan dengan bersikap dan berfikir positif mendorong seseorang untuk berfikir jernih dalam menghadapi setiap masalah. Husnuzh zhan tersebut, tidak saja ditujukan kepada sesama kawan dalam bekerja, tetapi yang paling utama adalah bersikap dan berfikir positif kepada Allah SWT. Dengan pemikiran tersebut, seseorang akan lebih lebih bersikap objektif dan optimistik. Apabil ia berhasil dalm usahanya tidak menjadi sombong dan lupa diri, dan apabila gagal tidak mudah putus asa, dan menyalahkan orang lain. Sukses dan gagl merupakan pelajaran yang harus diambil untuk menghadapi masa depan yang lebih baik, dengan selalu bertawakal kepada Allah SWT.
·      Memperbanyak shilaturahhim. 
Dalam Islam kebiasaan shilaturrahim merupakan bagian dari tanda-tanda keimanan. Namun dalam dunia profesi, shilaturahhim sering dijumpai dalam bentuk tradisi lobi. Dalam tradisi ini akan terjadi saling belajar.
·      Disiplin waktu dan menepati janji. 
Begitu pentingnya disiplin waktu, al-Qur’anmenegaskan makna waktu bagi kehidupan manusia dalam surat al-Ashr, yang diawali dengan sumpah ”Demi Waktu”. Begitu juga menepati janji, al-Qur’an menegaskan hal tersebut dalam ayat pertama al-Maidah, sebelum memasuki pesan-pesan penting lainnya. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maaidah/05:01). Yang dimaksud aqad-aqad adalah janji-janji sesama manusia.
·      Bertindak efektif dan efisien. 
Bertindak efektif artinya merencanakan , mengerjakan dan mengevaluasi sebuah kegitan dengan tepat sasaran. Sedangkan efisien adalah penggunaan fasilitas kerja dengan cukup, tidak boros dan memenuhi sasaran, juga melakukan sesuatu yang memang diperlukan dan berguna. Islam sangat menganjurkan sikap efektif dan efesien.
·      Memberikan upah secara tepat dan cepat. 
Ini sesuai dengan Hadist Nabi, yang mengatakan berikan upah kadarnya, akan mendorong seseorang pekerja atau pegawai dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara tepat pula. Sementara apabila upah ditunda, seorang pegawai akan bermalas-malas karena dia harus memikirkan beban kebutuhannya dan merasa karya-karyanya tidak dihargai secara memadai.
Aktualisasi Profesionalisme dalam Perspektif Islam
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menekankan arti penting amal dan kerja. Islam mengajarkan bahwa kerja kerja harus dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Bahwa pekerjaan itu harus dilakukan berdasarkan kesadaran dan pengetahuan yang memadai. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya. (QS. al-Isra/17:36).
2. Pekerjaan harus dilakukan berdasarkan keahlia. Seperti sabda Nabi : Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran. (Hadist Bukhari).
3. Berorientasi kepada mutu dan hasil yang baik. Dalam Islam, amal, dan kerja harus dilakukan dalam bentuk yang shalih. Sehingga makna amal shalih dapat dipahami sebagai kerja sesuai standar mutu, baik mutu dihadapan Allah maupun dihadapan manusia rekanan kerjanya.
4. Pekerjaan itu senantiasa diawasi oleh Allah, Rasulullah, dan masyarakatnya, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggunga jawab.
5. Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi
6. Pengupahan harus dilakukan secara tepat da sesuai dengan amal atau karya yang dihasilkannya.

III. Analisis Produksi dalam Islam
A. Produksi Dalam Pemikiran Ekonomi Islam
            Konsep produksi dalam perspektif pemikiran ekonomi Islam mengandung dua pengertian, yaitu bentuk pemikiran yang dihasilkan oleh para pemikir muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, saw. secara langsung atau sebuah pemikiran ekonomi produksi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Akan tetapi keduanya akan menemui titik temu karena seorang sarjana muslim akan menelurkan teori produksinya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana sejarah pemikiran ekonomi yang dilakukan para ulama’ setelah sepeninggalnya Rasulullah, saw. juga merujuk langsung pada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, saw. akan tetapi dalam perkembangannya sejarah pemikiran produksi mengalami naik turun bersamaan dengan perkembangan peradaban umat Islam yang pada zaman kekhilafahan Islam pemikiran ekonomi mengalami kemajuan pesat, akan tetapi setelah runtuhnya kekhilafahan Islam yang pada saat bersamaan sistem kolonialisasi barat mensistemisasi pembodohan umat sehingga pemikiran ekonomi Islam tidak berkembang sehingga terjadi distorsi pemikiran ekonomi dan pada perkembangannya pemikiran para pemikir muslim telah terkontaminasi oleh pemikiran para pemikir ekonomi barat.
            Maka dalam hal ini kita akan mengkaji sejarah pemikiran produksi dalam ekonomi Islam yang selanjutnya akan kita korelasikan dengan pemikiran-pemikiran ulama kontemporer dalam bidang produksi, sebagai berikut:
1. Abu Hanifah (80-150 H/699-767M)
Abu Hanifah adalah seorang fukaha terkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktifitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu transaksi yang sangat populer adalah sistem pembiyaan transaksi salam (akad pesan), yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti; jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.
Disisi lain, menurut pemikiran Abu Hanifah dalam sistem jual-beli harus dilakukan dengan jelas sehingga tidak menimbulkan permasalahan dan perselisihan, karena ini adalah bagian dari tujuan syariah. Misalnya; dalam jual beli murabahah. Dalam murabahah prosentase pengambilan keuntungan harus sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan transaksi dan boleh dengan cara diangsur. Maka pengalaman dalam perdagangannya ini menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini.
2. Abu Yusuf  (113-182 H/731-798 M)
            Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi Islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa Dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun Al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab al-Kharaj.
            Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.
            Dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxaion. Kesanggupan membayar, pemberian waktu longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
3. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/750-804)
            Salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam Mazdhab Hanafiyah adalah Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Risalah kecilnya yang berjudul “Al-Iktisabu fir-Rizki al-Mustathabi” yang membahas tentang pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia juga menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. As-Syaibani mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni: ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian) dan shina’ah (industri). Cukup menarik untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang terbaik, padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih tertarik untuk berdagang dan berniaga. Dalam suatu risalah yang lain, yakni Kitab al-Ashl, Al-Syaibani telah membahas masalah transaksi salam (prepaid order), musyarakah (pathnership) dan mudharabah (profit and loss sharing).
            Al-Syaibani mendefinisikan Al-Kasbu (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal (Rif’at Sayid Al-Audi). Dalam ilmu ekonomi, aktifitas yang demikian termasuk dalam aktifitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktifitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktifitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktifitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktifitas produksi, karena aktifitas produksi sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktifitas yang menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktifitas produksi.  (Adiwarman Karim, Sejarah pemikiran ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, 2006; 257).
Produksi suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memeihara unsur pokok kehidupan, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan-tujuan (maqashid) syari’ah. Yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.
Dalam pandangan Islam, aktifitas produksi merupakan bagian dari kewajiban imaratul kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta alam untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut, Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah, swt. dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib.
Dalam pandangan Al-Syaibani orientasi bekerja adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah, swt. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi, yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan demikian kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah, swt. hak hidup, hak keluarga dan hak masyarakat.
Dalam konteks tersebut, negara berkewajiban untuk memimpin gerakan produktifitas nasional. Dengan menerapkan instrument incentive-reward and punishment, setiap komponen masyarakat dipicu dan dipacu untuk menghasilkan sesuatu menurut bidangnya masing-masing. Sementara di sisi lain, pemerintah juga berkewajiban memayungi aktifitas produksi dengan memberikan jaminan keamanan dan keadilan bagi setiap orang.
4. Harith bin Asad Al-Muhasabi  (W. 243 H/859)
Seorang ulama terkemuka yaitu Harith bin Asad Al-Muhasabi telah menulis pemikiran-pemikirannya yang berkaitan dengan produksi yang beliau tuliskan dalam karyanya yang berjudul “Al-Makasib” yang membahas cara-cara memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan harus didapatkan dengan cara yang baik dan tidak berlebihan. Disisi lain, Harith menganjurkan kepada manusia untuk bekerjasama dalam melakukan kegiatan produksi sehingga lebih mudah dan dapat melipatgandakan hasil produksinya.
5. Imam Al-Ghazali (451-505 H/1055-111 M)
            Imam Al-Ghazali adalah seorang ekonom muslim yang cukup menaruh perhatian pada teori produksi. Beliau telah menguraikan faktor-faktor produksi dan fungsi produksi dalam kehidupan manusia. Dalam uraiannya beliau sering menggunakan istilah al-kasbu dan al-ishlah. Istilah yang pertama berarti usaha fisik yang dikerahkan manusia, sedangkan yang kedua adalah upaya manusia untuk mengelola dan mengubah sumber-sumber daya yang tersedia agar mempunyai manfa’at yang lebih tinggi. Al-Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan bermacam ragam aktifitas produksi dalam masyarakat, termasuk hirarki dan hakikatnya. Ia mengklasifikasi aktifitas produksi menurut kepentingan sosialnya dan menitik-beratkan perlunya kerjasama dan koordinasi. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam. (Adi Warman Karim; Ekonomi Mikro Islami; 2003: 158).
            Disisi lain Al-Ghazali banyak menyoroti tentang kegiatan-kegiatan bisnis yang dilarang dan yang diperbolehkan dalam Islam. Misalkan sistem ribawi adalah sistem sangat berbahaya bagi perputaran ekonomi masyarakat dan juga penimbunan barang-barang pokok untuk kepentingan-kepentingan individual. Beliau juga menyatakan bahwa korupsi dan penindasan merupakan faktor penyebab melemahnya perputaran ekonomi, oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk memberantasnya. Al-Ghazali juga mewajibkan kepada pemerintah untuk senantiasa menjaga stabilitas ekonomi dengan cara menyediakan suplai barang dan jasa tatkala masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi, dalam kondisi yang demikian ini, pemerintah harus memberikan jaminan ekonomi sehingga kesulitan masyarakat dapat terentaskan.
6. Ibn khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
            Ibn khaldun barangkali merupakan ekonomi Muslim yang terbesar, karena sedemikian cemerlang dan luas bahasannya tentang ekonomi. Dialah satu-satunya ekonom Muslim yang secara jujur diakui integritas dan kualitas karyanya oleh ekonom Barat J.A. Schumpeter dalam bukunya History of Enonomic Analisis (1959). Menurut Spengler (1963-64,hlm. 269) pemikiran ekonomi Ibn Khaldun sangat penting tidak saja karena telah banyak mendahului pemikiran para ekonom modern (Barat), tetapi karena ia memilikin penguasaan berbagai ilmu pengetahun yang luas dan mendalam sehingga mampu menulis pemikiran ekonomi dalam perspektif yang lengkap. Dalam bukunya Muqadimah memaparkan pentingnya produksi serta peranan manusia.
            Manusia dibedakan dari makhluk hidup lainnya dari segi upaya(nya) mencari penghidupan dan perhatiaannya pada berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana kehidupan (I : 69). Laba (produksi) adalah nilai utama yang dicapai dari tenaga manusia (2 : 272). Manusia mencapai produksi dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini adalah pendukung saja. Upaya manusia sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut (2: 273).
            Tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal. Jika (sumber produksi) adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpanya tidak ada hasil yang dicapai, dan tidak akan ada yang berguna (2:274).
            Disisi lain, Ibnu Khaldun juga menganalisis tentang teori perdagangan internasional yang beliau hubungkan antara perbedaan tingkat harga negara dengan ketersediaan faktor-faktor produksi. Dengan mengatakan bahwa penduduk merupakan terpenting dalam produksi dengan mengatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk maka peluang pasar dan berproduksi akan semakin luas dan besar, sehingga menambah tingkat pendapatan ekonomi masyarakat. 
7. Shah Waliyullah (1114-1176 H/1703 – 1762 M)
            Shah Waliyullah dalam karyanya yang termasyhur “Hujjatullah al-Baligha” menjelaskan secara lebih luas tentang pemikiran ekonomi dan tatanan pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Menurutnya manusia secara natural adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan kerjasama antar sesama manusia. Bentuk kerjasama ekonomi ini diwujudkan dalam bentuk perdagangan melalui pertukaran barang dan jasa, kerja sama usaha dengan sistem mudharabah, musyarakah, kerjasama pengelolaan pertanian dan lain-lain.
            Shah Waliyullah juga berbicara masalah faktor produksi khususnya adalah tanah. Beliau menyatakan: “Sesungguhnya semua tanah sebagaimana masjid atau tempat-tempat peristirahatan diberika kepada wayfarers. Benda-benda tersebut dibagi berdasarkan prinsip siapa yang pertama datang maka dialah yang mengelola dan memanfa’atkannya (first come first served).
8. Para Pemikir Ekonomi Muslim Kontemporer
Banyak penulis berkeyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti yang dijadikan pegangan oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka panjang. Selama ini yang kita fahami ketika membaca teks-teks buku ekonomi konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh setiap perusahaan tersebut. Misal: perusahaan A akan mencapai tingkat produksi maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja (L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang optimal.
Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi dalam prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan?. Gambaran di atas merupakan realita nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang diacukan pada pemikiran konvensional.
Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Ada sebuah permata dalam bukunya DR. Monzer Kahf yang berjudul: “The Islamic Economy; Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System” yang menyebutkan bahwa: “Tingkat kesalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat nilai kesalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.
Sebuah contoh: Seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah merasakan tingkat kepuasan bathin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.
Selama ini kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi–apalagi mereka yang berlatar belakang konvensional-melihat bahwa keshalehan seseorang merupakan hambatan dan rintangan untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap nilai kesalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan kesalehan tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi katifitas ekonomi? Sebuah logika berfikir yang salah perlu dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an al-Karim atau As-Sunnah as-Sahihah.
Menurut Prof. Abdul Manan: Produksi tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorangpun dapat menciptakan benda. Dalam pengertian ahli ekonomi yang dapat dikerjakan manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, yang biasa disebut dengan istilah “dihasilkan”. Sekarang kita perhatikan pembahasan prinsip produksi secara singkat.
Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem Kapitalis terdapat seruan untuk memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep Islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, agama dan banyak hal-hal lainnya. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dari segi uang seperti kata Profesor Pigou: “Kesejahteraan ekonomi kira-kira dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang”. “Karena kesejahteraan ekonomi modern bersifat materealistis, maka perlu membatasi ruang lingkup pokok persoalan yang sama itu.
Dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas. Bagi penulis, konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang yang berfaedah melalui pemanfa’atan sumber-sumber daya secara maksimum -baik manusia maupun benda- demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Dengan demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya pendapatan, yang dapat diukur dari segi terpenuhinya sumber daya ekonomi, tetapi juga perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan kita dengan usaha minimal tetapi tetap memperhatikan tuntunan perintah-perintah Islam tentang konsumsi. Oleh karena itu, dalam sebuah negara Islam kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang yang diproduksi yang tunduk pada perintah Al-Qur’an dan Sunnah, juga harus diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat tidak menguntungkan yang akan terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman terlarang dan lain sebagainya.
Terakhir, suatu negara Islam tidak hanya akan menaruh perhatian untuk menaikkan volume produksi tetapi juga untuk menjamin ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Di negara-negara kapitalis modern kita dapati perbedaan pendapatan yang mencolok karena cara produksi dikendalikan oleh segelintir kapitalis. Bahkan banyak negera muslim di dunia ini yang tidak luput dari kecaman itu. Adalah menjadi tugas setiap negara Islam untuk mengambil segala langkah yang masuk akal dalam mengurangi perbedaan pendapatan akibat terpusatnya kekuasaan berproduksi dalam beberapa tangan saja. Hal ini diusahakan dengan (a) menjalankan sistem perpajakan progresif terhadap pendapatan, (b) dikenakannya pajak warisan terhadap hak milik yang diwariskan dengan perbandingan progressif, (c) distribusi hasil pajak terutama yang terkumpul dari golongan-golongan yang lebih kaya, untuk masyarakat yang lebih miskin melalui pengaturan dinas-dinas sosial.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif; kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari terpenuhinya sumber daya ekonomi, dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah. (Manan; Teori dan Praktek Ekonomi Islam; 54-55).

B. Eksplorasi Nilai dan Prinsip Islam dalam Produksi
            Semangat produksi untuk menghasilkan maslahah maksimum perlu dituntun dengan nilai dan prinsip ekonomi Islam. Nilai dan prinsip pokok dalam produksi adalah amanah dan profesionalisme. Dua prinsip pokok ini diambil dari ayat Al-Qur’an yang mengatakan: “..."Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. 28: 26).
            Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan ayat diatas bahwa maksud dari kuat (al-qawiyyu) lagi dipercaya (al-amin) adalah profesional dan amanah (trust). Yang kedua prinsip pokok ini merupakan sebuah piranti untuk mewujudkan maslahah yang maksimum, yang akan kita jelaskan sebagai berikut:
1. Amanah untuk Mewujudkan Maslahah Maksimum
            Sifat amanah adalah salah satu nilai penting dalam Islam, yang diambil dari nilai dasar kekhilafahan, yang harus terus dijunjung tinggi. Pengertian amanah dalam konteks ini adalah penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu keberuntungan (falah). Sedangkan sumber daya yang ada di alam semesta ini oleh Allah diamanahkan kepada manusia. Manusia tidak diperbolehkan untuk mengeksplorasi/mengeksploitasi sumber daya ekonomi ini dengan cara yang bathil. Selanjutnya, pemanfa’atan sumber daya tersebut tidak boleh digunakan untuk usaha-usaha yang bertentangan dengan tujuan khilafah, yaitu: terciptanya kemakmuran di atas bumi. Untuk mewujudkan kemakmuran, manusia diberi hak penguasaan dan kebebasan dalam memanfa’atkan sumber daya yang semua itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, swt. sebagai pemberi amanah. Secara singkat, dapat diatakan bahwa amanah di sini dimaknai sebagai usaha untuk memanfa’atkan sumber daya yang ada dengan cara yang sebaik-baiknya dalam arti sesuai dengan syariah untuk mencapai kemakmuran manusia di muka bumi.
            Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari nilai amanah tersebut, maka manusia butuh pemanfa’atan sumber daya yang ada sebagai input dalam berproduksi. Memang, dalam nilai amanah ini tidak disebutkan sebagai sumber yang membawa maslahah. Sumber daya bisa berasal dari tempat yang dekat maupun dari tempat yang berjarak jauh. Namun, Islam mengajarkan manusia agar memulai suatu kebaikan berasal dari diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar dan seterusnya meluas hingga masyarakat luas dalam sekup negara dan bangsa. Dengan berdasar pada prinsip ini, maka manusia akan terbantu dalam memilih sumber daya mana yang akan dipilih menjadi input produksi. Kegiatan produksi harus memanfa’atkan dengan sebaik-baiknya sumber daya yang melimpah yang ada di sekitarnya. Ketika di lingkungan sekitar tidak ada sumber daya yang bisa dimanfa’atkan, maka manusia bisa mencari sumber daya pada lingkungan yang lebih luas dan pada sektor lain yang lebih luas, demikian seterusnya. Sehingga prioritas produksi dalam Islam adalah dengan memanfa’atkan sumber daya lokal yang melimpah.
2. Profesionalisme
            Dalam ajaran Islam, setiap muslim dituntut untuk menjadi pelaku produksi yang profesional, yaitu memiliki profesionalitas dan kompetensi di bidangnya. Segala sesuatu harus dikerjakan dengan baik, karenanya setiap urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Hal ini memberikan implikasi bahwa setiap pelaku produksi Islam harus mempunyai keahlian standar untuk bisa melaksanakan kegiatan produksi. Implikasi lebih jauh dari hal ini adalah bahwa produsen harus mempersiapkan karyawannya agar memenuhi standar minimum yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan produksi. Maka tidak lain dengan cara menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan secara intensif sehingga profesionalitas dapat tercapai bagi sumber daya manusia yang dibutuhkan.        
            Dalam kaitannya dengan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, yang mana walaupun setiap tenaga kerja sudah memenuhi standar minimum dalam melaksanakan produksi, namun ia harus selalu belajar terus untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal-hal yang terkait dengan produksi. Pembelajaran ini merupakan amanat sepanjang hidup (long life learning) dari ajaran Islam, artinya: bahwa setiap agen muslim perlu terus-menerus belajar. Adapun media untuk belajar bisa berupa pendidikan formal dan informal dimana dan kapanpun dia berada, misalnya tempat bekerja (working place). Dari tempat bekerja ini berangsur-angsur tenaga kerja akan bisa memperoleh keahlian dalam berproduksi sehingga kemampuan kerjanya semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan, maka jumlah barang/jasa yang bisa dihasilkan juga semakin besar, sebab ia bekerja semakin efisien. Selain itu frekuensi kesalahan dalam melaksanakan kegiatan produksi juga semakin menurun. Akibatnya jumlah barang yang gagal (cacat) menjadi semakin kecil yang berarti penggunaan input per unit output juga semakin menurun. Hal ini semua yang disebut sebagai efek learning curve yang bisa ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut:



Gambar  2.1.
  Learning Curve
Dengan demikian, dapat kita perhatikan bahwa sumbu vertikal dalam kurva di atas menunjukkan jumlah input yang digunakan untuk menghasilkan output, sementara sumbu horizontal menunjukkan jumlah output. Jika input, misalnya tenaga kerja, bersedia untuk melakukan kegiatan pembelajaran terus-menerus, maka produktifitasnya akan semakin meningkat. Untuk menghasilkan lebih banyak output, maka jumlah input yang digunakan semakin sedikit. Ajaran Islam mengharuskan umatnya untuk melakukan long life learning sehingga meningkatkan produktifitasnya sebagaimana telah diilustrasikan dalam learning curve di atas, yang hal ini juga dijelaskan dalam sabda Nabi, saw. “Carilah kalian ilmu pengetahuan dari ayunan sampai ke liang kubur”.
Scarcity Dalam Pandangan Islam
Berbicara mengenai produksi maka tidak lepas dari isu scarcity. Scarcity sendiri dalam ekonomi konvensional adalah mempelajari cara memanfaatkan sumber daya yang terbatas (scare) untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Doktrin scarecity ini menjadi jiwa semua teori ekonomi konvensional. Tujuan ekonomi konvensional adalah untuk memenuhi semua kebutuhan manusia dimana kebutuhan manusia itu sendiri tidak terbatas. Sehingga dengan terbatasnya sumber daya dan tidak terbatasnya kebutuhan manusia kemudian banyak pihak berlomba-lomba menguasai sumber daya tersebut dengan keserakahan masing-masing. Keserakahan manusia inilah yang membuat kebutuhan manusia tidak terbatas. Keserakahan ini pulalah yang membuat hanya sebagian orang yang menguasai sumber daya ini. Hal inilah yang kemudian membuat sumber daya tersebut terbatasi aksesnya oleh orang lain sehingga terjadi kelangkaan.
Lalu bagaimana dengan ekonomi islam, apakah teori kelangkaan sumber daya ini juga dikenal dalam ekonomi islam? Dalam al Quran telah disebutkan bahwa Allah menjamin rezeki setiap makhluknya. Artinya Allah SWT sendiri telah menjamin setiap kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini sudah otomatis menggugurkan konsep scarcity.
Karena tujuan ekonomi islam adalah untuk kemaslahatan umat maka dalam islam tidak dibenarkan menguasai sumber daya yang menyebabkan orang lain sulit atau bahkan tidak mampu mengakses barang pemenuh (bukan pemuas) kebutuhan. Sumber daya harus dikelola sesuai 5 prinsip maqashid syariah yang menurut al Ghazali di implemetasikan dengan cara sebagai berikut :
1. Produsen hanya menghasilkan barang/jasa sesuai kebutuhan (needs) bukan hanya menghasilkan barang/jasa sesuai keinginan (wants).
2. Barang/jasa yang dihasilkan harus memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang islami, bukan sekedar memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Dalam hal ini prinsip customer satisfaction atau given demand hypotesis yang banyak dijadikan rujukan produsen kapitalis, tidak dapat di implementasikan begitu saja.
3. Kuantitas produksi tidak berlebihan, hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Karena produksi berlebihan selain menimbulkan mis-alokasi dan kemubaziran, juga menyebabkan cepat terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup yang saat ini menjadi permasalahan serius dunia ini.
Jika kelangkaan disebabkan oleh faktor alam seperti yang diceritakan dalam surat Yusuf, maka Islam pun sudah mengajarkan konsep saving atau konsep lumbung padi untuk mengantisipasi kelangkaan tersebut.

KESIMPULAN
1.      Kajian dalam paper ini menganalisis beberapa kaidah baku (al Qur’an dan Hadist) dan proses penerapan yang menjadi karakter ekonomi Islam. Kaidah baku harus dijalankan dan dilindungi, sedangkan prosesnya penerapannya merupakan masalah ijtihadiyah sesuai dengan kondisi tempat dan zaman. Pemahaman kaidah ekonomi islam menjadi sangat penting demi konsistensi penerapan, pengembangan dan evaluasi bentuk-bentuk perilaku ekonomi Islam di Indonesia.
2.      Konsep produksi dalam Islam sesuai dengan al Quran dan hadist bertujuan untuk maslahah untuk memenuhi kebutuhan manusia bukan kepuasan manusia seperti teori konvensional.
3.      Scarecity tidak ada dalam konsep ekonomi islam karena Allah telah menjamin rezeki masing-masing makhlukNya.
4.      Islam mendorong pada umatnya tidak hanya beribadah, tapi juga bekerja keras sebagai manifestasi keimanan atas dalil dalil naqli.
5.      Bahkan Islam yang kaffah juga mengajarkan etika bekerja yang tidak hanya berdimensi horizontal tapi juga berdimensi vertikal. Bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi tapi sekaligus sebagai amanah dalam implementasi hifzud diin (proteksi agama), hifzun nafs (proteksi diri/jiwa), hifzun nasl (proteksi keturunan), hifzul aql (proteksi akal), dan hifzul maal (proteksi harta).


DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Karim, Sejarah pemikiran ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, 2006; 257.
Abdur Rahman, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulumuddin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2010), 102-103.
Ahmad Mushtaf Al-Maroghi. 1987. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal dkk. Terjemah Tafsir Al-Maroghi. Semarang: Tohaputra Semarang.
Faisal Badroen, dkk. 2005. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Hasan Binjai, H. Abdul Halim. 2006. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: kencana.
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-produksi/
Ika Yunia Fauzia. Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Jakarta. Kencana. 2014.
Lajnah Pentashih Mushaf Al Qur’an. 1985. Al Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Menara kudus.
Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam. Terj. Potan Arif Harahap. Jakarta: Intermassa.
Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Terj. Machnun Husein dari judul aslinya “The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36-38.
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 233.
Qurays Shihab. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati.


[1] Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam. Terj. Potan Arif Harahap. Jakarta: Intermassa.
[2] Abdur Rahma, Ekonomi Al-Ghazali: Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya Ulumuddin, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2010), 102-103.
[3] P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 233.
[4] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[5] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[6] Ahmad Mushtaf Al-Maroghi. 1987. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal dkk. Terjemah Tafsir Al-Maroghi. Semarang: Tohaputra Semarang.
[7] Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Terj. Machnun Husein dari judul aslinya “The Islamic Economy, Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 36-38.
[8] http://id.scribd.com/doc/72803656/Praktek-Implementasi-Ekonomi-Islam-Di-Era-Umar-Bin-Khattab-Iman-Abdulah-Edit
[9] http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-produksi/
[10] http://irfansb.blogdetik.com/2012/05/09/pilar-kebijakan/
[11] Ika Yunia Fauzia. Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Jakarta. Kencana. 2014.
[12] Faisal Badroen, dkk. 2005. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press.

[13] Qurays Shihab. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
[14] Hasan Binjai, H. Abdul Halim. 2006. Tafsir Al Ahkam. Jakarta: kencana.

2 komentar:

  1. Sangat bermanfaat ilmu yang disuguhkan di blog ini. terima kasih #salam blogger

    BalasHapus
  2. Terima kasih kang Jaelani :)

    BalasHapus