oleh: M Maulana Hamzah
Abstract
Purpose of this study is to review some aspects of conventional insurance that opposed to the values of Muamalah Islam such as schemes in contract, theory, culture and socio-economic impacts. Data from Law no. 40 of 2014 on Insurance, BPS, classic Islamic literatures, journals and internet are analyzed to review and find a concept of Healthy insurance based on sharia law. Qualitative method using descriptive analysis and review of literature are used to analyze the data mention above. This study found usury and ghoror practices in insurance model since the early determination of the premium to the investment allocation. By socioeconomic further increase moral hazard. The solution is the need for Insurance which was born originally from Islamic society with approach to social needs.
Purpose of this study is to review some aspects of conventional insurance that opposed to the values of Muamalah Islam such as schemes in contract, theory, culture and socio-economic impacts. Data from Law no. 40 of 2014 on Insurance, BPS, classic Islamic literatures, journals and internet are analyzed to review and find a concept of Healthy insurance based on sharia law. Qualitative method using descriptive analysis and review of literature are used to analyze the data mention above. This study found usury and ghoror practices in insurance model since the early determination of the premium to the investment allocation. By socioeconomic further increase moral hazard. The solution is the need for Insurance which was born originally from Islamic society with approach to social needs.
Keyword: Insurance, Muamalah Islam, Problem, socioeconomic.
1. PENDAHULUAN
Industri asuransi
adalah bagian tak terpisahkan dari sektor financial yang turur menggerakkan
ekonomi Indonesia melalui fungsi pengalihan resiko. Sistem asuransi pada
hakikatnya menawarkan jaminan masa depan bagi pemegang polis, jaminan itu bisa berupa
kesehatan, kematian, kecelakaan, kebakaran dan lain sebagainya. Dalam bahasa
asuransi hal-hal yang ingin dijaminkan tersebut dikenal dengan istilah insurable
interest yang terbagi menjadi 2 jenis yaitu asuransi jiwa, asuransi umum
dan asuransi social (msig.coid, 2015). Asuransi jiwa fokus pada kematian yang
sifatnya pasti (aaji.com, 2015) asuransi umum memungkinkan seseorang untuk
menjaminkan apa saja yang ia anggap berharga, mobil, kucing rumah, usaha, hingga
panca indra yang dinilai memiliki nilai ekonomi bagi pengguna pun bisa
diasuransikan, seorang artis korea sangat lumrah untuk mengasuransikan hidungya,
pemain bola juga tak segan untuk mengasuransikan kakinya. Sedangkan asuransi
sosial adalah asuransi yang dikelola negara yang untuk kepentingan masyarakat
umum (Wikipedia.org).
Dalam
sejarahnya, asuransi di Indonesia, lahir dari kosep riba yang dibawa kolonial Belanda
tahun 1602, berkembang dalam bentuk perseroan terbatas yang dikenal dengan VOC,
yang selanjutnya terus menelurkan perusahaan riba lainnya, seperti bank dan
asuransi. Pasca kemerdekaan, dengan dalih semangat nasionalisme dan perubahan sistem
ini terus berjalan diadopsi kedalam sistem pasar dan praktek ekonomi, dianggap
sebagai syarat untuk memasuki era modernitas, padahal budaya masyarakat
Indonesia dalam sejarah leluhurnya, dalam hal penjaminan, memiliki konsep yang
berbeda dengan asuransi.
Diantara budaya
masyarakat Indonesia dalam hal perekonomian yaitu “maroan” yang bermakna separuh
hasil peternakan untuk pemilik ternak dan separuh lagi bagi penggembalanya. Ada
juga istilah “mertelu” dalam pertanian yang artinya sepertiga untuk pemilik lahan
dan dua pertiga untuk penggarap. Yang dalam Islam kedua praktek itu dikenal
dengan sebutan “mudhorobah”. Dalam kehidupan bertetangga, masyarakat muslim
Indonesia terbiasa untuk berinfak melalui masjid atau melalui ketua RT bila
salah satu tetangganya mengalami sakit atau musibah lainnya, dan dalam praktek ta’awun
ini tak pernah ada paksaan atau pembayaran dengan nominal yang ditentukan.
Sejarah Islam
juga mencatat, praktek asuransi pernah dilakukan dimasa tab’in, yang dikenal
dengan sebutan “sukara”, yaitu penjaminan kapal dagang muslim kepada kafir
dzimmi yang ingin berdagang ke eropa. Ibnu “abiding, ulama mazhab Hanafi pada
zaman itu melihat praktek ini sebagai “iltizaamu maa lam yulzaam” (pengharusan
yang tidak ada keharusan). Sebaliknya Islam menyuburkan budaya ta’awun
melalui sedekah yang dikelola secara professional melalui baitul maal, dari
budaya inilah tercipta masyarakat madani yang saling peduli dan jauh dari sifat
individual.
Data literasi
keuangan Indonesia yang dirilis oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tahun 2013
menyebeutkan dari 21,18 % masyarakat yang paham asuransi hanya 11,08% yang
memilih untuk ikut mengambil produk asuransi. Banyak alasan, kenapa orang-orang
yang masuk kategori suffient literate enggan menggunakan jasa asuransi,
diantaranya, klaim yang birokratis, berbagai kasus hukum dimedia massa, kegagalan
investasi dan kemampuan keuangan yang belum memadai.
Asuransi
perbankan dalam hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, Data dari LPS juga
menunjukkan, total asset LPS hanya bisa mencover satu bank besar di Indonesia.
Dan maksimal dana yang bisa dijamin hanyalah 2 Milliar ke bawah. Artinya bila
ada satu bank saja yang collapse, LPS tak akan bisa amenjamin dampak sistematis
yang terjadi selanjutnya, dan akhirnya kebijakan yang diambil adalah lelang
dalam arti menjual aset kepada pihak luar negeri seperti kasus bank century
yang kini dimiliki J-Trust Bank asal Jepang. Dan semakin menambah daftar
panjang perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dari berbagai permasalah yang
muncul dari konsep asuransi diatas, maka rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah:
1.
Apa permasalahan
yang ada dalam konsep asuransi konvensional?
2.
Bagaimana
Konsep Jaminan resiko yang sesuai dengan Islam dan nilai budaya Indonesia?
2. TINJAUN PUSTAKA
2.1. Pengertian Asuransi
Secara bahasa,
asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie”, yang dalam hukum
Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Sedangkan
definisinya adalah Perlindungan terhadap risiko financial oleh penanggung
Menurut (C Arthur Williams Jr dan Richard M. Heins) Asuransi adalah alat yang
mana risiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan mealui
kontribusi premi yang pasti atau ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk
membayar klaim Berdasarkan UU no 40 tahun 2014, Asuransi adalah perjanjian
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi
dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a.
Memberikan
penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.
Memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana
Di Indonesia ada 3 jenis asuransi yaitu:
1.
Asuransi umum
yaitu asuransi non-jiwa yang memberikan pembayaran atas kerugian akibat dari
suatu peristiwa kerugian keuangan tertentu. Umumnya terdiri dari asuransi yang
tidak termasuk dalam kelompok asuransi jiwa seperti asuransi kendaraan
bermotor, rumah, konstruksi dan kargo. (msig.co.id, 2015)
2.
Asuransi jiwa
yaitu Program perlindungan dalam bentuk pengalihan resiko ekonomis atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (aaji.com, 2015).
3.
Asuransi sosial
yaitu Asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi
anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah bedasarkan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat
(Wikipedia.org, 2015)
2.1.1. Mekanisme Asuransi
Dalam prakteknya asuransi memiliki prinsip sebagai berikut:
1.
Insurable
Interest (Kepentingan yang diasuransikan)
2.
Indemnity
(Jaminan ganti rugi)
3.
Trustful
(kepercayaan)
4.
Good
faith
5.
Proximate Cause
6.
Subrogation
(pengalihan Hak)
Yang membuat
asuransi selalu menarik adalah kenyataan bahwa dunia ini tak bisa lepas dari
resiko, baik resiko bisnis, resiko kematian dan lain sebagaianya. Inilah yang
dijual oleh asuransi, sesuatu yang pasti ada, namun tidak pasti kejadiannya.
Ada beberapa pengertian resiko dalam asuransi diantaranya:
1. Resiko Murni ( Terjadi Rugi, tidak terjadi tidak apa-apa)
2. Resiko Spekulatif (terjadi rugi, tidak terjadi untung)
3. Resiko Individu (kehidupan sehari-hari) diantaranya resiko pribadi,
resiko harta dan resiko tanggung gugat.
Industri
asuransi dalam menjalankan bisnisnya tidak sendiri, namun ia juga menanggung
resiko, daiantaranya resiko klaim yang tak terbayar, resiko investasi gagal dan
lain sebagainya. Maka untuk mengalihkan resiko ini kembali, muncullah mekanisme
reasuransi. Reasuransi adalah suatu sistem penyebaran risiko dimana penanggung
menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada
penanggung yang lain. Penyebaran risiko tersebut dapat dilakukan dengan dua
mekanisme, yaitu koasuransi (Mirip PRAA (Pasar Resiko antar Asuransi) dia
resiko diperjualbelikan kembali antar perusahaan asuransi dan reasuransi
(ceding company -> reasuradur). Maknisme asuransi diats dapat digambarkan
dengan diagram bone fish sebagai berikut:
Gambar 1: Diagram Bone Fish Mekanisme Asuransi
Sumber: www.dai.or.id
|
2.1.2. Menentukan Jumlah
Premi
Untuk
menentukan jumlah premi yang akan dibayar oleh pemegang polis, harus dilakukan assement
oleh underwriter dan dihitung resikonya oleh actuaria. Secara
matematis rumusannya adalah sebagi berikut:
1. Future Value dan Present Value
Future value, merupakan nilai uang di masa yang akan datang. EFV =
( 1 + I )n
Present Value, merupakan nilai uang pada masa sekarang. PV = P = FV
/ ( 1 + I )n
dimana FV = Future Value
PV
= Present Value
i = Bunga
n = Jangka Waktu
2. Risk
Dihitung
berdasarkan banyaknya orang, karena probabilitas orang yang hidup dan yang
meninggal dunia itu berbeda. Dengan perhitungan:
Px = 1 – Qx
dimana Px = Tingkat Kehidupan
Qx = Tingkat Kematian
3. Biaya Operasional
Biasa disebut loading factor.
Loading Factor = Prosentase x Mortality (tingkat kematian)
Resiko dalam
poin nomor 2 dapat dihitung melalui tabel moratlita dan morbidity yang
diterbitkan oleh BPS mauapun BKKBN. Tabel mortalitas berisi peluang seseorang
mati berdasarkan umurnya dari kelompok orang yang diasuransikan (pemegang
polis).
Asuransi
umumnya memiliki biaya tetap di awal yang sering disebut biaya akuisisi. Biaya
ini bervariasi, bisa hanya 10% saja, atau bisa juga lebih besar sampai 70% atau
50% di tahun pertama, 20% di tahun kedua dan seterusnya. Biaya ini tergantung
jenis asuransi dan tergantung perusahaan asuransinya. Biaya akuisisi ini
istilahnya profitnya perusahaan asuransi. Dari profit inilah si perusahaan
asuransi akan mampu membayarkan gaji karyawannya, dan komisi untuk salesnya.
Jadi biaya akuisisi tidak bisa dikembalikan, tidak bisa dielakkan.
2.2. Jaminan Dalam Islam
Jaminan dalam Islam
dikenal dengan istilah kafalah. Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah,
hamalah, dan za’amah, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni
menjamin atau menanggung (Wahhab Zuhaili, 2002). Sedangkan menurut terminologi
Kafalah didefinisikan sebagai: “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung)
kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua
(tertanggung)”. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian
ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee/
jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta
secara mutlak. (Adiwarman Karim, 2001). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn
yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang
berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut,
baik diri maupun barang.
2.2.1.
Upah Atas Jasa Kafalah
Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah
atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan:
"Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia
menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang
mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada
orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat
dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah),
dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu
al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/ penjamin haruslah
mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini
membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si
penjamin dalam memperhitungkan upahnya.(A Karim, 2001)
Konsep Al Wadiah biujrin, menurut Dr Jafri Khalil (2003) Jika
terjadi kerusakan barang saat dikembalikan, maka pihak peneria wadi’ah wajib
menggantinya. Karena ketika menitiokan, pihak penitip telah membayar sejumlah
uang kepada tempat penitipan.
2.2.2.
Konsep Dasar Asuransi Dalam Islam
Dalam literature fiqh klasik ada konsep yang dikenal at-ta;miin,(Sukarno,
2003) yang berarti mengamankan yang punya potensi untuk dijadikan dasar dalam
konsep jaminan dalam islam, dalal itu diantaranya adalah:
1. Al-‘aqilah,
saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah satu
anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar
dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudaa terdekat dari pembunuh.
Saudara terdekat dari pembunuh inilah yang disebut aqilah. Lalu, merke
mengumulkan dana untuk membantu keluarga yang saudaranya terbunuh tidak
sengaja.
Dan
tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
(An Nisa: 92).
Jadi
aqilah dianggap sebagai tanggung jawab kelompok. Sebagaiman yang dipraktikkan
kaum muhajirin dan anshor.
2. Al
muwaalat yaitu perjanjian jaminan atau perwalian. Penjamin menjamin
seseorang yang tidak memiliki ahli wariss dan tidak diketahui ahli warisnya.
Penjamin setuju untuk menjamin bayarannya, jika seorang yang dijamin meakukan
jinayah. Namun bia orang yang dijamin meninggal, penjamin juga berhak menjadi
ahli warisnya.
3. Al-qosamah.
Konsep perjanjian ini berhubungan dengan jiwa manusia. Sistem ini melibatkan
usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran darii
peserta atau majlis. Manfaatnya akan diayarkan kepada ahli waris yang dibnuh
jika tidak diktahui siapa pembunuhnya.
4. At-Tanahud,
makanan yang dikumpullkan para peserta safar kemudian dicampur menjadi satu.
Makanan dibagikan kepada mereka pada saat dibutuhkan dengan porsi yang
berbeda-beda. Dalam Ringkasan Shohih bukhori hadits 1076 disebutkan bahwa
Rasulullah bersabda, “Marga Asy’ari (asy’ariyyin) ketika keluarganya
menegalami kekurangan bahan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka
miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata.
Mereka adalah bagian dari kami dan kai adalah bagian dari mereka.
Dalam kasus ini, makanan yang dibagikan bisa sama atau berbeda
begitu pula dengan makanan yang akan diterima.
5. Nizam
at-taqaud. Sistem pension yang sudah lama berjalan didunia Islam berupa
jaminan hari tua sebagai pampasan dari usahanya ketika ia bekerja dulu.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Metode
yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif
dan kajian literatur. Data yang digunakan adalah data sekunder. Yang didapat
dari sumber yang reliable diantaranya UU no 40 tahun 2014 tentang Asuransi,
data BPS, buku-buku terkait, jurnal dan beberapa kajian yang berasal dai media
internet. Objek penelitian terbatas hanya pada asuransi
konvensional dan bukan asuransi syariah (takaful).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Asuransi Dalam Perspektif Muamalah Islam
Dalam Islam
pada hakikatnya semua kegiata muamalah dibolehkan sampai ada dalil yang
mengharamkannya, termasuk asuransi yang merupakan salah satu bentuk kegiatan
ekonomi. Dalil yang mengharamkan dari pengertain diatas berasal dari
pelanggaran terhadap batasan-batasan yang telah ditetapkan, batasan tersebut
ada 11 yang disingkat MAGHRIB BIG NIGHT yang penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1.
Maysir adalah
judi[1],
praktek muamalah yang untung-untungan dengan probability yang selalu
membuat salah seorang untung dan yang lainnya pasti rugi.
2.
Ghoror adalah
spekulasi,[2]
ketidak jelasan dalam akad jual beli, seperti membeli kucing dalam karung, atau
anak sapi dalam kandungan.
3.
Riba[3]
adalah setiap tambahan dalam pinjaman atau bertambahnya harta dengan jalan yang
tidak benar.
4.
Bai’ Mudhtor[4]:
Menjual karena terdesak. Eksploitasi penjual
5.
Ikroh:[5]
ada keterpaksaan dalam jual beli. Eksploitasi pembeli.
7.
Najasy[7]
artinya manipulasi demand
8.
Ihtikar[8]
artinya manipulasi supply
9.
Ghisy[9]
artinya curang, termasuk korupsi dalam tender dsb
10. Haram artinya objek yang diiperjual belikan adalah barang atau jasa
yang diharamkan syariat[10]
seperti jasa pelacuran, dan jual beli khomr.
11. Tadlis[11]
artinya penipuan, seperti menjual barang kw dengan mengatakan barang tersebut asli.
Iklan di TV yang mengatakan produk sabun tertentu yang bisa memutihkan wajah,
namun faktanya tidak demikian.
Inilah diantara
batasan-batasan muamalah yang telah ditetapkan oleh Islam. Batasan ini muncul
dari dalil-dali yang berasal dari alQuran dan hadits. Dalam literature klasik
ulama-ulama masih lebih banyak lagi batasan dalam muamalah, istilah dan
pelarangan itu muncul tergantung dari kondisi yang saat itu berkembang di aman
nabi, sahabat hingga tab’in. namun menurut ulama kontemporer dizaman sekarang,
11 batasan diatas, dianggap cukup mewakili perkembangan muamalah dizaman
modern.
Sedangkan
asuransi dalam prakteknya adalah sebuah akad penjaminan resiko atas kerugiaN yang akan
ditanggung dimasa yang akan datang. Baik kerugian yang pasti seperti meninggal,
maupun kerugian yang tidak pasti seperti kebakaran dan kecelakaan. Dalam bahasa
bisnis asuransi justru digunakan sebagai alat untuk mentransfer resiko, artinya
memindahkan peluang terjadinya resiko kepada pihak lain dalam hal ini
perusahaan asuransi. Berdsarakan asas manajemen resiko biasanya resiko yang
ditransfer adalah resiko yang kerugiannya besar namun tingkat probabilitynya
jarang.
Asuransi dalam menghitung premi mengacu pada tabel mortality dan
morbidity yang menghitung secara historis, dengan metode acak. Padahal pada
kenyataanya, peluang untuk meninggal dan sakit bagi setiap manusia itu sama
(QS: 18: 23-24). Perbedaan antara ramaan asuran dan kenyataan dilapangan
menghasilkan banyak mucculnya moral hazard yang mencederai asas good faith
dalam asuransi. Yang menarik saat mengkaji asuransi adalah tentang asas good
faith yang bertolak belakang dengan niat transaksi anatara pemegang polis
dan perusahaan asuransi. Good faith dalam teorinya sangat sesuai dengan
ajaan Islam dalam ha ta’awun dan takaful, namun sistem asuransi yang mengant
asas maksimasi keuntungan, bertolak belakang dari konsep tersebut.
Selain itu,
dalam hal investasi dana premi, asuransi yang berkembang sekrang hanya melihat
objek investasi yang paling menguntungkan. Tidak peduli halal atau haram,
Gambar 2: Workflow Asuransi
Sumber: banuaw.wordpress.com, 2013
|
Praktek
asuransi konvensional secara sistem lebih menguntungkan pihak perusahaan karena
akad yang digunakan adalah akad jual beli, yang artinya pemegang polis membeli
jaminan resiko dari keamanan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Menurut
Nugroho (2015) ada 2 (dua) alasan mengapa perusahaan asuransi selalu untung.
Pertama, prinsip tanggung renteng. Artinya para peserta asuransi menanggung
secara bersama biaya asuransi dan terlebih resikonya. Artinya resiko satu orang
ditanggung mungkin bisa oleh 1.000 orang. Dengan demikian biaya bisa
diminimalkan. Alasan kedua, bisnis asuransi dibangun di atas penganadaian bahwa
hidup manusia tidak normal. Misal: tiba-tiba meninggal, tiba-tiba mobil
tabrakan, tiba-tiba rumah terbakar, dan "tiba-tiba" yang lain.
Padahal probabilita atau kemungkinan seperti itu dalam kenyaataannya sangatlah
kecil. Hidup berjalan dengan normal-normal saja.
Selain itu
perusahaan asuransi juga mengasuransikan dirinya melalui mekanisme reasuransi
dan uang premi diinvestasikan kembali untuk bisnis yang selelu memiliki potensi
rugi. Konsep inilah yang melahirkan bubble ekonomi karena hakikatnya
resiko tak sepenuhnya bisa dihilangkan, inilah penyebab utama krisis 2008
sialm, dengan bangkrutnya salah satu raksasa perusahaan Investasi Lehnman
Brother berefek domino pada perusahaan asuransi yang kehilangan uang
investasinya yang berujung pada gagal klaim. Dana hilang secara sistematis dari
dunia karena sektor riil yang collapse. Ditahun 1998 pun terbukti asuransi tak
bisa berbuat banyak saat rush dialami perbankan Indonesia yang berujung
pada kebijakan quantitative easing yang intinya cetak duit oleh
pemerintah untuk menyelamatkan (bail out) para pemain judi disektor
keuangan di Indonesia.
4.2.
Asuransi Menurut Pandangan Ulama Islam
Dalam melihat fenomena
asuransi, ulama berbeda pendapat, ada sebagain yang mebolehkan, sedangkan
sebagian lagi mengharamkan. Titik perdebatannya adalah dalam memahami apakah
konsep asuransi ini mencerminkan konsep ta’awun
yang tercantum dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 2. Selanjutnya dalam ayat
tersebut juga konsep ta’awun ada dua yatu dalam takwa atau perbuatan dosa.
Muhammad Syakir Sula (2004) mernagkum beberpa
pendapat ulama yang memboleh dan mengharamkan praktek asuransi tersebut diatas.
Pendapat para ulama tersebut kami rangkum dalam bentuk tabel dibawah ini:
1. Pendapat Ulama yang Membolehkan
No
|
Nama
|
Alasan
|
1
|
Abdur Rahman Isa
|
Sama dengan “ijalah (Memberi janji upah)
|
2
|
Prof Muhammad Yusuf Musa
|
Merupakan Koperasi (Klaim Jatuh tempo = total premi, sebelum
jatuh tempo = sesuai dengan klausal polis)
|
3
|
Abdul Wahab Kholaf
|
Termasuk Akad Mudharobah dalam bentuk tabungan & Koperasi
|
4
|
Prof Dr Muhammad al Bahi
|
Asas ta’awun dan mudharrabah, mencegah mudhorot, dan memperluas
lapangan kerja
|
5
|
Bahjah Ahmad Hilmi
|
Mengurangi beban nasabah, Hadits tentang diyat (denda qotil)
|
6
|
Muhammad Dasuki
|
Syirkah mudharobah, dan sirkah ‘ainan. Al-an’aam 82 (kemanan)
|
7
|
Muhammad Najatullah Shiddiq
|
Dianggap Kafalah (ganti rugi) dan ji’alah (memberi janji upah).
|
8
|
Muhammad Ahmad
|
Tak ada yang rugi, asasnya ta’awun
|
9
|
Muhammad alMadni
|
Investasi dengan asas ta’awun
|
10
|
Mustafa Ahmad Azzarqo
|
Tidak ada goror, asas dhoruri,
|
Dengan keterbatasan ilmu saya, saya melihat pendapat ulama yang membolehkan rata-rata
berasal dari kalangan para akademisi bukan ulama dalam kapasitas yang
sebenarnya. Dan lebih melihat aspek
ta’awun dalam kontek akibat, ketimbang melihat asas ta’awun dalm konteks sebab.
Padahal sebab adalah jalan menuju akibat, dan sebab yang dimaksud diantaranya
adalah pross asuransi yang didalamnya terdapat maysir, ghoror dan riba.
2. Pendapat Ulama yang Mengharamkan
Diantara pendapat ulam yang mengharamkan diantaranya adalah:
Dari tinjauan
literatrur diatas penulis membandingkan praktek asuransi yang disesuaikan
dengan nilai muamlah dalam Islam diantaranya adalah pelarangan Riba, Ghoror dan
Maysir. Hasil kajian tersebut memperlihatkan adanya pelanggaran konsep sayriah
yaitu:
1.
Akad tabaduli
(akad pertukaran) yang dilakukan perusaaan asuransi dengan pemegang pemegang
polis membeli jaminan resiko “yang akan terjadi” kepada perusahaan yang
menawarkan keamanan resiko dengan jumlah harga yang tidak jelas. (Ghoror)
2.
Adanya praktik
Maisir yaitu pembatalan kontrak sebelum reversing period. Atau kejadian terjadi
sebelum jatuh tempo.
3.
Kontrak untuk
menanggung resiko bersama dimana premi dipertaruhkan untuk menghadapi
kemungkinan rugi.
4.
Bandar
(perusahaan Asuransi) pasti yang paling dan selalu untung.
5.
Riba dalam
penentuan premi dan alokasi investasi
6.
Bukan dhorurat.
Dorurat adalah keadaan mendesak dimana jika seseorang tidak melakukannya dengan
cepat, maka akan membawanya ada kehancuran atau kematian
Skema Permasalahan Asuransi konvensional diatas dapat dilihat dari
gambar berikut:
Gambar 2: Skema Permasalahan Dalam Asuransi Konvensional
Sumber: dikembangkan Penulis.
4.4.
Asuransi dalam Perspektif Muamalah Islam
Dalam pemahaman Islam, semua
orang beriman dan beramal sholeh mendapatkan jaminan dari Allah berupa
surga, namun dalam proses perjalanan menuju
surga, manusia hendaklah menjaga keistiqomahan dalam takwa habluminallah
dan keharmonisan dalam hablumminannas. Banyak istilah dalam Islam dalam
mengakomodasi konsep jaminan, ada istilah ta’min, takaful, muwaalat, aqilah,
qosaamah, tanaahuud dan lain sebaginya. Yang semua istilah itu lahir dari
bahasa Arab yang umum diucapkan dizamannya.
Perbedaan
mendasar dari asuransi konvensional dengan sistem jaminan Islam adalah dalam
filosofi awalnya. Asuransi konvensional berusaha mentransfer resiko dengan
tujuan profit dimasa depan, sedangkan jaminan dalam Islam berusaha berbagi
resiko dengan tujuan kemashlahatan dimasa depan. Perbedaan antara profit dan
mashlahat terletak pada asumsi profit yang ingin mendapatkan keuntungan lebih
dari apa yang dibayarkan sedangkan mashlahat untuk menjaga sustainibilty
seseorang dalam bekerja dalam konteks ibadah kepada Allah SWT. Tujuan mashlahat
ini tidak melihat kuantitas sebagai ukuran, bisa jadi secara kuantitas lebih banyak,
namun dikasus lain bisa jadi lebih sedikit seperti yang terjadi dalam hadits
tentang kaum asy’ariyyin. Ukuran dari mashlahat adalah kecukupan untuk
istiqomah dalam bekerja.
Kemashlahatan merupakan potret dari keberkahan harta, yang mana bila
banyak akan cukup, sedikitpun akan cukup. Dan keberkahan inilah yang dibagi
dalam rangka menyikapi hikmah adanya musibah dalam hidup manusia. Hal in tentu
sangat sesuai dengan nilai-nilai sosial manusia. Maka dari itu konsep Islam
akan sulit lahir dari masyarakat yang individual. Karena invidualisme lahir
dari kapitalisme bukan dari masyarakat Islam. Maka pengembangan konsep jaminan
dalam Islam harus dimulai dari membangun masyarakat muslim yang terpadu, bukan
dari masyarakat perkotaan yang tingkat individualnya tinggi.
Asuransi konvensional lahir dari masayakat individual, dan konsep
asuransi itu sendiri menjaga individualism suatu masyarakat untuk tetap
berkembang. Maka implementasi jaminan yang ideal dalam Islam memerlukan akad
yang berasas pada kebajikan (tabarru) yang dipahami sebagai sistem untuk saling
tolong-menolong bukan untuk mendapatkan keuntungan. Karena dengan menolong
orang lainpun sudah ada 2 keuntungan, yakni pahala diakhirat dan ketenangan
didunia. Keuntungan seperti inilah yang hendaknya menjadi alat ukur bagi
implementasi jaminan dalam Islam.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari Pembahasan diatas didapatkan kesimpulan bahwa:
1.
Asuransi
konvensional sekarang tidak sesuai dengan niaai syariah, karena adanya ghoror
dalam akad pertukaran antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Praktik
maysir dalam reverisng period, objek investasi yang tidak halal, dan indikasi
riba dalam pengelolaan keuangan.
2.
Asuransi
bukanlah produk dhorurat yang lahir dari kebutuhan masayakat muslim, tapi dari
kebutuhan masyarakat yang ingin modern yang individulais.
3.
Konsep jaminan
dalam islam menjamin kecukupan untuk istiqomah dalam beribadah ang dikenal
dengan istilah mashlahat. Dan konsep ini sangat berbeda dengan asuransi
konvensional yang mengacu pada hitungan angka dalam rekening, bukan ketenangan
dalam batiniah dan lahiriah.
5.2. Saran
Perlu kajian
mendalam dan kerjasama semua masyarakat dan pemerintah terkait implementasi
konsep jaminan dalam islam yang dibangun dari masyarakat muslim. Seperti
perumah-perumahan muslim yang kini sudah banyak berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Kariim
Adiwarman A. Karim, 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani Press
Ahmad Sukarno, 2003. Asuransi Islam dalam TInjauan Sejarah dan
PErspektif Ulama (makalah) Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ibnu Hajar Al-Asqolany, Bulughul Maroom. Daar Kutub El Islamiyah.
Jafri Khalil, 2003. Aqad-Aqad Produk Keuangan Islam. Materi
Training Certified Islamic Insurance Pecialist. Lembaga Diklat Depkeu.
Nugroho SBM, 2015. Alasan Perusahaan Asuransi Selalu Untung.
Diakses tanggal 29 Oktober dari http://www.kompasiana.com/nugroho_sbm/alasan-perusahaan-asuransi-selalu-untung.
Radiks Purba. 1992. Memahami Asuransi di Indonesia. Jakarta. PT
Pustaka Binaman Pressindo
Syakir Sula, Muhammmad, 2004. Asuransi Syariah (Life And General):
Konsep Dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press.
Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. 2009. Bank dan Lembaga
Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat.
Wahbah Zuhaili, 2002. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, cet. 6,
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2014 Tentang Perasuransian
https://pemimpikreatif.wordpress.com/tag/asuransi-pasti-untung/
diakses 29 Oktober 2015
https://banuaw.wordpress.com/2013/03/09/proses-bisnis-asuransi/
diakses 29 Oktober 2015
www.aaji.or.id diakses 11 September 2015
www.dai.or.id
diakses 11 September 2015
www.msig.com
diakses 11 September 2015
[2] Ibnu Hajar Al-Asqolany, Bulughul
Maroom hadits ke 677, 700 dan 701. Daar kutuub al Islamiyah
[4] (QS. An Nisa’: 29.
[5] HR. Ibnu Majah no. 2185.
[6] Lihat Silsilah As-Shahihah,
karya Syaikh Al-Albani no: 250
[7] Ibnu Hajar, Op CIt hadits
ke 684
[9] Ibnu Hajar, Op CIt hadits
ke 696
[10] Ibnu Hajar, Op CIt hadits
ke 662
trims atas tulisannya ... sangat bermanfaat semoga barokah ilmu yang di share ini amiin
BalasHapus