Jumat, 06 November 2015

PERMASALAHAN ASURANSI KONVENSIONAL PERSPEKTIF MUAMALAH ISLAM



 oleh: M Maulana Hamzah

Abstract
Purpose of this study is to review some aspects of conventional insurance that opposed to the values of Muamalah Islam such as schemes in contract, theory, culture and socio-economic impacts. Data from Law no. 40 of 2014 on Insurance, BPS, classic Islamic literatures, journals and internet are analyzed to review and find a concept of Healthy insurance based on sharia law. Qualitative method using descriptive analysis and review of literature are used to analyze the data mention above. This study found usury and ghoror practices in insurance model since the early determination of the premium to the investment allocation. By socioeconomic further increase moral hazard. The solution is the need for Insurance which was born originally from Islamic society with approach to social needs.

Keyword: Insurance, Muamalah Islam, Problem, socioeconomic.

1. PENDAHULUAN
Industri asuransi adalah bagian tak terpisahkan dari sektor financial yang turur menggerakkan ekonomi Indonesia melalui fungsi pengalihan resiko. Sistem asuransi pada hakikatnya menawarkan jaminan masa depan bagi pemegang polis, jaminan itu bisa berupa kesehatan, kematian, kecelakaan, kebakaran dan lain sebagainya. Dalam bahasa asuransi hal-hal yang ingin dijaminkan tersebut dikenal dengan istilah insurable interest yang terbagi menjadi 2 jenis yaitu asuransi jiwa, asuransi umum dan asuransi social (msig.coid, 2015). Asuransi jiwa fokus pada kematian yang sifatnya pasti (aaji.com, 2015) asuransi umum memungkinkan seseorang untuk menjaminkan apa saja yang ia anggap berharga, mobil, kucing rumah, usaha, hingga panca indra yang dinilai memiliki nilai ekonomi bagi pengguna pun bisa diasuransikan, seorang artis korea sangat lumrah untuk mengasuransikan hidungya, pemain bola juga tak segan untuk mengasuransikan kakinya. Sedangkan asuransi sosial adalah asuransi yang dikelola negara yang untuk kepentingan masyarakat umum (Wikipedia.org).

Dalam sejarahnya, asuransi di Indonesia, lahir dari kosep riba yang dibawa kolonial Belanda tahun 1602, berkembang dalam bentuk perseroan terbatas yang dikenal dengan VOC, yang selanjutnya terus menelurkan perusahaan riba lainnya, seperti bank dan asuransi. Pasca kemerdekaan, dengan dalih semangat nasionalisme dan perubahan sistem ini terus berjalan diadopsi kedalam sistem pasar dan praktek ekonomi, dianggap sebagai syarat untuk memasuki era modernitas, padahal budaya masyarakat Indonesia dalam sejarah leluhurnya, dalam hal penjaminan, memiliki konsep yang berbeda dengan asuransi.
Diantara budaya masyarakat Indonesia dalam hal perekonomian yaitu “maroan” yang bermakna separuh hasil peternakan untuk pemilik ternak dan separuh lagi bagi penggembalanya. Ada juga istilah “mertelu” dalam pertanian yang artinya sepertiga untuk pemilik lahan dan dua pertiga untuk penggarap. Yang dalam Islam kedua praktek itu dikenal dengan sebutan “mudhorobah”. Dalam kehidupan bertetangga, masyarakat muslim Indonesia terbiasa untuk berinfak melalui masjid atau melalui ketua RT bila salah satu tetangganya mengalami sakit atau musibah lainnya, dan dalam praktek ta’awun ini tak pernah ada paksaan atau pembayaran dengan nominal yang ditentukan.
Sejarah Islam juga mencatat, praktek asuransi pernah dilakukan dimasa tab’in, yang dikenal dengan sebutan “sukara”, yaitu penjaminan kapal dagang muslim kepada kafir dzimmi yang ingin berdagang ke eropa. Ibnu “abiding, ulama mazhab Hanafi pada zaman itu melihat praktek ini sebagai “iltizaamu maa lam yulzaam” (pengharusan yang tidak ada keharusan). Sebaliknya Islam menyuburkan budaya ta’awun melalui sedekah yang dikelola secara professional melalui baitul maal, dari budaya inilah tercipta masyarakat madani yang saling peduli dan jauh dari sifat individual.   
Data literasi keuangan Indonesia yang dirilis oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tahun 2013 menyebeutkan dari 21,18 % masyarakat yang paham asuransi hanya 11,08% yang memilih untuk ikut mengambil produk asuransi. Banyak alasan, kenapa orang-orang yang masuk kategori suffient literate enggan menggunakan jasa asuransi, diantaranya, klaim yang birokratis, berbagai kasus hukum dimedia massa, kegagalan investasi dan kemampuan keuangan yang belum memadai.  
Asuransi perbankan dalam hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, Data dari LPS juga menunjukkan, total asset LPS hanya bisa mencover satu bank besar di Indonesia. Dan maksimal dana yang bisa dijamin hanyalah 2 Milliar ke bawah. Artinya bila ada satu bank saja yang collapse, LPS tak akan bisa amenjamin dampak sistematis yang terjadi selanjutnya, dan akhirnya kebijakan yang diambil adalah lelang dalam arti menjual aset kepada pihak luar negeri seperti kasus bank century yang kini dimiliki J-Trust Bank asal Jepang. Dan semakin menambah daftar panjang perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dari berbagai permasalah yang muncul dari konsep asuransi diatas, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1.      Apa permasalahan yang ada dalam konsep asuransi konvensional?
2.      Bagaimana Konsep Jaminan resiko yang sesuai dengan Islam dan nilai budaya Indonesia?

2. TINJAUN PUSTAKA
2.1. Pengertian Asuransi
Secara bahasa, asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie”, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Sedangkan definisinya adalah Perlindungan terhadap risiko financial oleh penanggung Menurut (C Arthur Williams Jr dan Richard M. Heins) Asuransi adalah alat yang mana risiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan mealui kontribusi premi yang pasti atau ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim Berdasarkan UU no 40 tahun 2014, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a.       Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.      Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana
Di Indonesia ada 3 jenis asuransi yaitu:
1.      Asuransi umum yaitu asuransi non-jiwa yang memberikan pembayaran atas kerugian akibat dari suatu peristiwa kerugian keuangan tertentu. Umumnya terdiri dari asuransi yang tidak termasuk dalam kelompok asuransi jiwa seperti asuransi kendaraan bermotor, rumah, konstruksi dan kargo. (msig.co.id, 2015)
2.      Asuransi jiwa yaitu Program perlindungan dalam bentuk pengalihan resiko ekonomis atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. (aaji.com, 2015).
3.      Asuransi sosial yaitu Asuransi sosial merupakan asuransi yang menyediakan jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah bedasarkan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pihak asuransi dengan seluruh golongan masyarakat (Wikipedia.org, 2015)

2.1.1. Mekanisme Asuransi
Dalam prakteknya asuransi memiliki prinsip sebagai berikut:

1.      Insurable Interest (Kepentingan yang diasuransikan)
2.      Indemnity (Jaminan ganti rugi)
3.      Trustful (kepercayaan)
4.      Good faith
5.      Proximate Cause
6.      Subrogation (pengalihan Hak)

Yang membuat asuransi selalu menarik adalah kenyataan bahwa dunia ini tak bisa lepas dari resiko, baik resiko bisnis, resiko kematian dan lain sebagaianya. Inilah yang dijual oleh asuransi, sesuatu yang pasti ada, namun tidak pasti kejadiannya. Ada beberapa pengertian resiko dalam asuransi diantaranya:

1.      Resiko Murni ( Terjadi Rugi, tidak terjadi tidak apa-apa)
2.      Resiko Spekulatif (terjadi rugi, tidak terjadi untung)
3.      Resiko Individu (kehidupan sehari-hari) diantaranya resiko pribadi, resiko harta dan resiko tanggung gugat.

Industri asuransi dalam menjalankan bisnisnya tidak sendiri, namun ia juga menanggung resiko, daiantaranya resiko klaim yang tak terbayar, resiko investasi gagal dan lain sebagainya. Maka untuk mengalihkan resiko ini kembali, muncullah mekanisme reasuransi. Reasuransi adalah suatu sistem penyebaran risiko dimana penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang ditutupnya kepada penanggung yang lain. Penyebaran risiko tersebut dapat dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu koasuransi (Mirip PRAA (Pasar Resiko antar Asuransi) dia resiko diperjualbelikan kembali antar perusahaan asuransi dan reasuransi (ceding company -> reasuradur). Maknisme asuransi diats dapat digambarkan dengan diagram bone fish sebagai berikut:
Gambar 1: Diagram Bone Fish Mekanisme Asuransi


Sumber: www.dai.or.id
.
 2.1.2. Menentukan Jumlah Premi
Untuk menentukan jumlah premi yang akan dibayar oleh pemegang polis, harus dilakukan assement oleh underwriter dan dihitung resikonya oleh actuaria. Secara matematis rumusannya adalah sebagi berikut:

1. Future Value dan Present Value
Future value, merupakan nilai uang di masa yang akan datang. EFV = ( 1 + I )n
Present Value, merupakan nilai uang pada masa sekarang. PV = P = FV / ( 1 + I )n
dimana FV   = Future Value
            PV   = Present Value
              i     = Bunga
              n    = Jangka Waktu

2. Risk
Dihitung berdasarkan banyaknya orang, karena probabilitas orang yang hidup dan yang meninggal dunia itu berbeda. Dengan perhitungan:

Px = 1 – Qx
dimana Px = Tingkat Kehidupan
              Qx = Tingkat Kematian

3. Biaya Operasional
Biasa disebut loading factor.
Loading Factor = Prosentase x Mortality (tingkat kematian)
           
Resiko dalam poin nomor 2 dapat dihitung melalui tabel moratlita dan morbidity yang diterbitkan oleh BPS mauapun BKKBN. Tabel mortalitas berisi peluang seseorang mati berdasarkan umurnya dari kelompok orang yang diasuransikan (pemegang polis).
Asuransi umumnya memiliki biaya tetap di awal yang sering disebut biaya akuisisi. Biaya ini bervariasi, bisa hanya 10% saja, atau bisa juga lebih besar sampai 70% atau 50% di tahun pertama, 20% di tahun kedua dan seterusnya. Biaya ini tergantung jenis asuransi dan tergantung perusahaan asuransinya. Biaya akuisisi ini istilahnya profitnya perusahaan asuransi. Dari profit inilah si perusahaan asuransi akan mampu membayarkan gaji karyawannya, dan komisi untuk salesnya. Jadi biaya akuisisi tidak bisa dikembalikan, tidak bisa dielakkan.

2.2. Jaminan Dalam Islam

Jaminan dalam Islam dikenal dengan istilah kafalah. Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’amah, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau menanggung (Wahhab Zuhaili, 2002). Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai: “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee/ jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. (Adiwarman Karim, 2001). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.

2.2.1. Upah Atas Jasa Kafalah
Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/ penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.(A Karim, 2001)
Konsep Al Wadiah biujrin, menurut Dr Jafri Khalil (2003) Jika terjadi kerusakan barang saat dikembalikan, maka pihak peneria wadi’ah wajib menggantinya. Karena ketika menitiokan, pihak penitip telah membayar sejumlah uang kepada tempat penitipan.

2.2.2. Konsep Dasar Asuransi Dalam Islam
Dalam literature fiqh klasik ada konsep yang dikenal at-ta;miin,(Sukarno, 2003) yang berarti mengamankan yang punya potensi untuk dijadikan dasar dalam konsep jaminan dalam islam, dalal itu diantaranya adalah:
1. Al-‘aqilah, saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudaa terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh inilah yang disebut aqilah. Lalu, merke mengumulkan dana untuk membantu keluarga yang saudaranya terbunuh tidak sengaja.
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (An Nisa: 92).
Jadi aqilah dianggap sebagai tanggung jawab kelompok. Sebagaiman yang dipraktikkan kaum muhajirin dan anshor.
2. Al muwaalat yaitu perjanjian jaminan atau perwalian. Penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki ahli wariss dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menjamin bayarannya, jika seorang yang dijamin meakukan jinayah. Namun bia orang yang dijamin meninggal, penjamin juga berhak menjadi ahli warisnya.
3. Al-qosamah. Konsep perjanjian ini berhubungan dengan jiwa manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran darii peserta atau majlis. Manfaatnya akan diayarkan kepada ahli waris yang dibnuh jika tidak diktahui siapa pembunuhnya.
4. At-Tanahud, makanan yang dikumpullkan para peserta safar kemudian dicampur menjadi satu. Makanan dibagikan kepada mereka pada saat dibutuhkan dengan porsi yang berbeda-beda. Dalam Ringkasan Shohih bukhori hadits 1076 disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Marga Asy’ari (asy’ariyyin) ketika keluarganya menegalami kekurangan bahan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kai adalah bagian dari mereka.
Dalam kasus ini, makanan yang dibagikan bisa sama atau berbeda begitu pula dengan makanan yang akan diterima.
5. Nizam at-taqaud. Sistem pension yang sudah lama berjalan didunia Islam berupa jaminan hari tua sebagai pampasan dari usahanya ketika ia bekerja dulu.

3. METODOLOGI PENELITIAN

            Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif dan kajian literatur. Data yang digunakan adalah data sekunder. Yang didapat dari sumber yang reliable diantaranya UU no 40 tahun 2014 tentang Asuransi, data BPS, buku-buku terkait, jurnal dan beberapa kajian yang berasal dai media internet. Objek penelitian terbatas hanya pada asuransi konvensional dan bukan asuransi syariah (takaful).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Asuransi Dalam Perspektif Muamalah Islam
Dalam Islam pada hakikatnya semua kegiata muamalah dibolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya, termasuk asuransi yang merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi. Dalil yang mengharamkan dari pengertain diatas berasal dari pelanggaran terhadap batasan-batasan yang telah ditetapkan, batasan tersebut ada 11 yang disingkat MAGHRIB BIG NIGHT yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Maysir adalah judi[1], praktek muamalah yang untung-untungan dengan probability yang selalu membuat salah seorang untung dan yang lainnya pasti rugi.
2.      Ghoror adalah spekulasi,[2] ketidak jelasan dalam akad jual beli, seperti membeli kucing dalam karung, atau anak sapi dalam kandungan.
3.      Riba[3] adalah setiap tambahan dalam pinjaman atau bertambahnya harta dengan jalan yang tidak benar.
4.      Bai’ Mudhtor[4]: Menjual karena terdesak. Eksploitasi penjual
5.      Ikroh:[5] ada keterpaksaan dalam jual beli. Eksploitasi pembeli.
6.      Ghobn[6]: penipuan, overpricing, menahan.  
7.      Najasy[7] artinya manipulasi demand
8.      Ihtikar[8] artinya manipulasi supply
9.      Ghisy[9] artinya curang, termasuk korupsi dalam tender dsb
10.  Haram artinya objek yang diiperjual belikan adalah barang atau jasa yang diharamkan syariat[10] seperti jasa pelacuran, dan jual beli khomr.
11.  Tadlis[11] artinya penipuan, seperti menjual barang kw dengan mengatakan barang tersebut asli. Iklan di TV yang mengatakan produk sabun tertentu yang bisa memutihkan wajah, namun faktanya tidak demikian.

Inilah diantara batasan-batasan muamalah yang telah ditetapkan oleh Islam. Batasan ini muncul dari dalil-dali yang berasal dari alQuran dan hadits. Dalam literature klasik ulama-ulama masih lebih banyak lagi batasan dalam muamalah, istilah dan pelarangan itu muncul tergantung dari kondisi yang saat itu berkembang di aman nabi, sahabat hingga tab’in. namun menurut ulama kontemporer dizaman sekarang, 11 batasan diatas, dianggap cukup mewakili perkembangan muamalah dizaman modern.
Sedangkan asuransi dalam prakteknya adalah sebuah akad penjaminan resiko atas kerugiaN yang akan ditanggung dimasa yang akan datang. Baik kerugian yang pasti seperti meninggal, maupun kerugian yang tidak pasti seperti kebakaran dan kecelakaan. Dalam bahasa bisnis asuransi justru digunakan sebagai alat untuk mentransfer resiko, artinya memindahkan peluang terjadinya resiko kepada pihak lain dalam hal ini perusahaan asuransi. Berdsarakan asas manajemen resiko biasanya resiko yang ditransfer adalah resiko yang kerugiannya besar namun tingkat probabilitynya jarang.
Asuransi dalam menghitung premi mengacu pada tabel mortality dan morbidity yang menghitung secara historis, dengan metode acak. Padahal pada kenyataanya, peluang untuk meninggal dan sakit bagi setiap manusia itu sama (QS: 18: 23-24). Perbedaan antara ramaan asuran dan kenyataan dilapangan menghasilkan banyak mucculnya moral hazard yang mencederai asas good faith dalam asuransi. Yang menarik saat mengkaji asuransi adalah tentang asas good faith yang bertolak belakang dengan niat transaksi anatara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Good faith dalam teorinya sangat sesuai dengan ajaan Islam dalam ha ta’awun dan takaful, namun sistem asuransi yang mengant asas maksimasi keuntungan, bertolak belakang dari konsep tersebut.

Selain itu, dalam hal investasi dana premi, asuransi yang berkembang sekrang hanya melihat objek investasi yang paling menguntungkan. Tidak peduli halal atau haram,  
Gambar 2: Workflow Asuransi


Sumber: banuaw.wordpress.com, 2013
            Konsep asuransi dalam Islam dikenal dengan istilah takaful yang artinya menjamin, namun penjaminan disini bukan dimaksudkan untuk mentransfer resiko (transfer risk) tapi untuk berbagi resiko (sharing risk). Artinya resiko pada hakikatnya tak bisa dihilangkan. Resiko ini dalam Manajemen Resiko Bisnis Syariah (Imam, 2015) disebut essential risk yaitu resiko yang harus diambil dalam kegiatan bisnis, seperti ketidakpastian imbal bagi hasil (Al-ghunmu bil ghurmi) dan prohibited risk yang tidak boleh diambil sekalipun resiko itu menjanjikan return yang besar. Dua jenis resiko inilah yang tidak dikenal oleh konsep konvensional. Yang sama antara Islam dan konvensional adalah permissible risk seperti market risk, liquidity risk, operational risk yang semua bisa dikur, di eliminasi, di transfer, atau di manage. 
Praktek asuransi konvensional secara sistem lebih menguntungkan pihak perusahaan karena akad yang digunakan adalah akad jual beli, yang artinya pemegang polis membeli jaminan resiko dari keamanan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi. Menurut Nugroho (2015) ada 2 (dua) alasan mengapa perusahaan asuransi selalu untung. Pertama, prinsip tanggung renteng. Artinya para peserta asuransi menanggung secara bersama biaya asuransi dan terlebih resikonya. Artinya resiko satu orang ditanggung mungkin bisa oleh 1.000 orang. Dengan demikian biaya bisa diminimalkan. Alasan kedua, bisnis asuransi dibangun di atas penganadaian bahwa hidup manusia tidak normal. Misal: tiba-tiba meninggal, tiba-tiba mobil tabrakan, tiba-tiba rumah terbakar, dan "tiba-tiba" yang lain. Padahal probabilita atau kemungkinan seperti itu dalam kenyaataannya sangatlah kecil. Hidup berjalan dengan normal-normal saja.
Selain itu perusahaan asuransi juga mengasuransikan dirinya melalui mekanisme reasuransi dan uang premi diinvestasikan kembali untuk bisnis yang selelu memiliki potensi rugi. Konsep inilah yang melahirkan bubble ekonomi karena hakikatnya resiko tak sepenuhnya bisa dihilangkan, inilah penyebab utama krisis 2008 sialm, dengan bangkrutnya salah satu raksasa perusahaan Investasi Lehnman Brother berefek domino pada perusahaan asuransi yang kehilangan uang investasinya yang berujung pada gagal klaim. Dana hilang secara sistematis dari dunia karena sektor riil yang collapse. Ditahun 1998 pun terbukti asuransi tak bisa berbuat banyak saat rush dialami perbankan Indonesia yang berujung pada kebijakan quantitative easing yang intinya cetak duit oleh pemerintah untuk menyelamatkan (bail out) para pemain judi disektor keuangan di Indonesia.

4.2. Asuransi Menurut Pandangan Ulama Islam
            Dalam melihat fenomena asuransi, ulama berbeda pendapat, ada sebagain yang mebolehkan, sedangkan sebagian lagi mengharamkan. Titik perdebatannya adalah dalam memahami apakah konsep asuransi ini mencerminkan konsep ta’awun yang tercantum dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 2. Selanjutnya dalam ayat tersebut juga konsep ta’awun ada dua yatu dalam takwa atau perbuatan dosa.
            Muhammad Syakir Sula (2004) mernagkum beberpa pendapat ulama yang memboleh dan mengharamkan praktek asuransi tersebut diatas. Pendapat para ulama tersebut kami rangkum dalam bentuk tabel dibawah ini:

1. Pendapat Ulama yang Membolehkan

No
Nama
Alasan
1
Abdur Rahman Isa
Sama dengan “ijalah (Memberi janji upah)
2
Prof Muhammad Yusuf Musa
Merupakan Koperasi (Klaim Jatuh tempo = total premi, sebelum jatuh tempo = sesuai dengan klausal polis)
3
Abdul Wahab Kholaf
Termasuk Akad Mudharobah dalam bentuk tabungan & Koperasi
4
Prof Dr Muhammad al Bahi
Asas ta’awun dan mudharrabah, mencegah mudhorot, dan memperluas lapangan kerja
5
Bahjah Ahmad Hilmi
Mengurangi beban nasabah, Hadits tentang diyat (denda qotil)
6
Muhammad Dasuki
Syirkah mudharobah, dan sirkah ‘ainan. Al-an’aam 82 (kemanan)
7
Muhammad Najatullah Shiddiq
Dianggap Kafalah (ganti rugi) dan ji’alah (memberi janji upah).
8
Muhammad Ahmad
Tak ada yang rugi, asasnya ta’awun
9
Muhammad alMadni
Investasi dengan asas ta’awun
10
Mustafa Ahmad Azzarqo
Tidak ada goror, asas dhoruri,

Dengan keterbatasan ilmu saya, saya melihat pendapat ulama yang membolehkan rata-rata berasal dari kalangan para akademisi bukan ulama dalam kapasitas yang sebenarnya. Dan lebih melihat aspek ta’awun dalam kontek akibat, ketimbang melihat asas ta’awun dalm konteks sebab. Padahal sebab adalah jalan menuju akibat, dan sebab yang dimaksud diantaranya adalah pross asuransi yang didalamnya terdapat maysir, ghoror dan riba.

2. Pendapat Ulama yang Mengharamkan

Diantara pendapat ulam yang mengharamkan diantaranya adalah:
 4.3. Permasalahan Dalam Asurasi
Dari tinjauan literatrur diatas penulis membandingkan praktek asuransi yang disesuaikan dengan nilai muamlah dalam Islam diantaranya adalah pelarangan Riba, Ghoror dan Maysir. Hasil kajian tersebut memperlihatkan adanya pelanggaran konsep sayriah yaitu:

1.      Akad tabaduli (akad pertukaran) yang dilakukan perusaaan asuransi dengan pemegang pemegang polis membeli jaminan resiko “yang akan terjadi” kepada perusahaan yang menawarkan keamanan resiko dengan jumlah harga yang tidak jelas.  (Ghoror)
2.      Adanya praktik Maisir yaitu pembatalan kontrak sebelum reversing period. Atau kejadian terjadi sebelum jatuh tempo.
3.      Kontrak untuk menanggung resiko bersama dimana premi dipertaruhkan untuk menghadapi kemungkinan rugi.
4.      Bandar (perusahaan Asuransi) pasti yang paling dan selalu untung.
5.      Riba dalam penentuan premi dan alokasi investasi
6.      Bukan dhorurat. Dorurat adalah keadaan mendesak dimana jika seseorang tidak melakukannya dengan cepat, maka akan membawanya ada kehancuran atau kematian
Skema Permasalahan Asuransi konvensional diatas dapat dilihat dari gambar berikut:

Gambar 2: Skema Permasalahan Dalam Asuransi Konvensional


Sumber: dikembangkan Penulis.

4.4. Asuransi dalam Perspektif Muamalah Islam
            Dalam pemahaman Islam, semua orang beriman dan beramal sholeh mendapatkan jaminan dari Allah berupa surga, namun dalam proses perjalanan menuju surga, manusia hendaklah menjaga keistiqomahan dalam takwa habluminallah dan keharmonisan dalam hablumminannas. Banyak istilah dalam Islam dalam mengakomodasi konsep jaminan, ada istilah ta’min, takaful, muwaalat, aqilah, qosaamah, tanaahuud dan lain sebaginya. Yang semua istilah itu lahir dari bahasa Arab yang umum diucapkan dizamannya.
            Perbedaan mendasar dari asuransi konvensional dengan sistem jaminan Islam adalah dalam filosofi awalnya. Asuransi konvensional berusaha mentransfer resiko dengan tujuan profit dimasa depan, sedangkan jaminan dalam Islam berusaha berbagi resiko dengan tujuan kemashlahatan dimasa depan. Perbedaan antara profit dan mashlahat terletak pada asumsi profit yang ingin mendapatkan keuntungan lebih dari apa yang dibayarkan sedangkan mashlahat untuk menjaga sustainibilty seseorang dalam bekerja dalam konteks ibadah kepada Allah SWT. Tujuan mashlahat ini tidak melihat kuantitas sebagai ukuran, bisa jadi secara kuantitas lebih banyak, namun dikasus lain bisa jadi lebih sedikit seperti yang terjadi dalam hadits tentang kaum asy’ariyyin. Ukuran dari mashlahat adalah kecukupan untuk istiqomah dalam bekerja.
Kemashlahatan merupakan potret dari keberkahan harta, yang mana bila banyak akan cukup, sedikitpun akan cukup. Dan keberkahan inilah yang dibagi dalam rangka menyikapi hikmah adanya musibah dalam hidup manusia. Hal in tentu sangat sesuai dengan nilai-nilai sosial manusia. Maka dari itu konsep Islam akan sulit lahir dari masyarakat yang individual. Karena invidualisme lahir dari kapitalisme bukan dari masyarakat Islam. Maka pengembangan konsep jaminan dalam Islam harus dimulai dari membangun masyarakat muslim yang terpadu, bukan dari masyarakat perkotaan yang tingkat individualnya tinggi.
Asuransi konvensional lahir dari masayakat individual, dan konsep asuransi itu sendiri menjaga individualism suatu masyarakat untuk tetap berkembang. Maka implementasi jaminan yang ideal dalam Islam memerlukan akad yang berasas pada kebajikan (tabarru) yang dipahami sebagai sistem untuk saling tolong-menolong bukan untuk mendapatkan keuntungan. Karena dengan menolong orang lainpun sudah ada 2 keuntungan, yakni pahala diakhirat dan ketenangan didunia. Keuntungan seperti inilah yang hendaknya menjadi alat ukur bagi implementasi jaminan dalam Islam.  
  
5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari Pembahasan diatas didapatkan kesimpulan bahwa:
1.      Asuransi konvensional sekarang tidak sesuai dengan niaai syariah, karena adanya ghoror dalam akad pertukaran antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Praktik maysir dalam reverisng period, objek investasi yang tidak halal, dan indikasi riba dalam pengelolaan keuangan.
2.      Asuransi bukanlah produk dhorurat yang lahir dari kebutuhan masayakat muslim, tapi dari kebutuhan masyarakat yang ingin modern yang individulais.
3.      Konsep jaminan dalam islam menjamin kecukupan untuk istiqomah dalam beribadah ang dikenal dengan istilah mashlahat. Dan konsep ini sangat berbeda dengan asuransi konvensional yang mengacu pada hitungan angka dalam rekening, bukan ketenangan dalam batiniah dan lahiriah.

5.2. Saran 
Perlu kajian mendalam dan kerjasama semua masyarakat dan pemerintah terkait implementasi konsep jaminan dalam islam yang dibangun dari masyarakat muslim. Seperti perumah-perumahan muslim yang kini sudah banyak berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Kariim
Adiwarman A. Karim, 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press
Ahmad Sukarno, 2003. Asuransi Islam dalam TInjauan Sejarah dan PErspektif Ulama (makalah) Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ibnu Hajar Al-Asqolany, Bulughul Maroom. Daar Kutub El Islamiyah.
Jafri Khalil, 2003. Aqad-Aqad Produk Keuangan Islam. Materi Training Certified Islamic Insurance Pecialist. Lembaga Diklat Depkeu.
Nugroho SBM, 2015. Alasan Perusahaan Asuransi Selalu Untung. Diakses tanggal 29 Oktober dari http://www.kompasiana.com/nugroho_sbm/alasan-perusahaan-asuransi-selalu-untung.
Radiks Purba. 1992. Memahami Asuransi di Indonesia. Jakarta. PT Pustaka Binaman Pressindo
Syakir Sula, Muhammmad, 2004. Asuransi Syariah (Life And General): Konsep Dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press.
Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba Empat.
Wahbah Zuhaili, 2002. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2014 Tentang Perasuransian
www.aaji.or.id  diakses 11 September 2015
www.dai.or.id diakses 11 September 2015
www.msig.com diakses 11 September 2015



[1] QS Al-Maidah: 90
[2] Ibnu Hajar Al-Asqolany, Bulughul Maroom hadits ke 677, 700 dan 701. Daar kutuub al Islamiyah
[3] QS  Al-Baqoroh: 275-278 dan bulughul marom hadits ke 739
[4] (QS. An Nisa’: 29.
[5] HR. Ibnu Majah no. 2185.
[6] Lihat Silsilah As-Shahihah, karya Syaikh Al-Albani no: 250
[7] Ibnu Hajar, Op CIt hadits ke  684
[8] Shohih Muslim No.1605 dan Musnad Imam Ahmad No.8617
[9] Ibnu Hajar, Op CIt hadits ke  696
[10] Ibnu Hajar, Op CIt hadits ke  662
[11] Ibnu Hajar, Op Cit hadits ke  714

Download Versi PDFnya 
-----> DISINI <-----

1 komentar:

  1. trims atas tulisannya ... sangat bermanfaat semoga barokah ilmu yang di share ini amiin

    BalasHapus