oleh:
Lazuardi Adnan dan Sofyan Baehaqie
Mahasiswa Pascasarjana Magister
Manajemen Syariah, Manajemen dan Bisnis IPB, Angkatan EK18
1.
Pendahuluan
Konsumsi dan
distribusi merupakan tahapan lanjutan dari kegiatan ekonomi setelah produksi.
Distribusi memungkinkan hasil produksi sampai kepada tangan konsumen untuk di
konsumsi. Ketiga hal ini merupakan aktifitas dasar dalam ekonomi.Pemikir islam Ibnu Khaldun telah membahas produksi, distribusi
dan konsumsi jauh sebelum pakar ekonomi barat memikirkan dan membentuk teori
perekonomian.
“Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the
subject value, division of labour, the price system, the law of supply and
demand, consumption and production, money, capital formation, population
growth, macroeconomics of taxation and public expenditure. (Shiddiqy, 1976dalam Teori Produksi, Konsumi,
dan Distribusi, Katsah An Nazhar, 2013).
2.
Arti dan
Tujuan Konsumsi
Konsumsi merupakan
kegiatan yang menggunakan suatu produk barang atau jasa yangdibuat oleh
produsen. Sedangkan wikipedia mencatat
pengertian konsumsi, yang berasal dari bahasa Belanda ‘consumptie’,
adalah suatu kegiatan
yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda,
baik berupa barang
maupun jasa,
untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Dalam perspektif islam dititikberatkan pada tujuan pencapaian dari konsumsi itu
sendiri, yang mana harus memenuhi kaidah pedoman
syariah islamiyah.
Tujuan
Konsumsi dalam Islam adalah:
1.
Untuk mengharap Ridha Allah SWT
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash:7)
2.
Untuk mewujudkan kerjasama antar
anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial
3. Untuk menumbuhkan rasa tanggung
jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian
aktivitas dan dinamisasi ekonomi Islam.
3.
Nilai dan Moral dalam Konsumsi
Nilai dan moral yang terkandung dalam konsumsi telah diatur agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al Baqarah ayat 168, ayat
172, dan ayat 173 adalah bahwa umat Islam harus mengkonsumsi makanan yang halal
dan berasal dari rezeki yang baik. Ini bukan berarti hanya zatnya, tetapi termasuk juga cara
mendapatkannya. Tidak hanya makanan secara fisik namun hal lain terkait
konsumsi yang dilakukan oleh Manusia.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي
ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ
لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqoroh: 168)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ
إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ ١٧٢
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (Al-Baqoroh: 172)
Apabila umat Islam melaksanakan perintah Allah dan dibarengi dengan rasa
bersyukur yang tinggi maka hal tersebut akan menghindarkan diri dari langkah
yang diambil oleh syaitan sehingga Allah ridho dan melimpahkan kasih sayang dan keberkahan kepada
umat yang menjalankan perintah Allah tersebut.
Dalam surat lain, Allah juga telah menyampaikan pengaturan secara
spesifik kepada umat manusia mengenai hal-hal yang haram di konsumsi sebagimana
dijelaskandalam surat Al Baqarah ayat 173, juga
dalam surat Al Maidah ayat 1 dan ayat 3.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ
وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ
ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ
رَّحِيمٌ ١٧٣
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Baqoroh: 173)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ أُحِلَّتۡ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلۡأَنۡعَٰمِ إِلَّا مَا
يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ إِنَّ ٱللَّهَ
يَحۡكُمُ مَا يُرِيدُ ١
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya” (Al-Ma’idah: 1)
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ
وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ
وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ
أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن
تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ
لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ
دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ
ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣
Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Ma’idah: 3)
Berdasarkan ayat-ayat di atas,
etika konsumsi harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu:
1.
Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal, yaitu :
·
Zat, artinya zat barang tersebut memenuhi kaidah syariah sebagaimana dijelaskan dalam
ayat di atas
·
Proses, artinya dalam prosesnya baik pembuatan maupun perolehan telah memenuhi kaidah syariah.
2.
Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, yang berarti barang tersebut
jauh memberikan manfaat dibandingkan mudharat baik untuk yang mengkonsumsi ataupun orang lain.
3.
Mengkonsumsi barang tidak
berlebihan dan tidak terlalu sedikit, tapi pertengahan.
Meskipun demikian,
dewasa ini banyak umat Islam yang seolah-olah mengabaikan etika tersebut.
Terlihat dari makin banyaknya produk dan barang haram yang
dikonsumsi selain tidak diindahkannya perolehan
harta untuk konsumsi melalui jalan yang tidak halal seperti korupsi dan
merampas hak orang lain.
4.
Konsumsi untuk diri Sendiri dan jalan Allah
Dalam surat Al Furqan ayat 67,
Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ
إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ
قَوَامٗا ٦٧
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”
(Al-Furqon: 67)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa umat Islam diajarkan untuk mengkonsumsi
(membelanjakan) sesuatu sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan ataupun
kekurangan. Saat ini prinsip tersebut sudah sulit ditemui dalam keluarga muslim.
Karena kekhawatiran akan terjadinya kelangkaan barang dan juga sifat dasar
manusia yang tamak, banyak keluarga muslim yang menimbun/menyimpan barang yang
mungkin tidak diperlukan.
Selain untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, Allah juga memerintahkan manusia untuk
beramal sholeh (bersedekah) dengan membelanjakan hartanya di jalan Allah (fiisabilillah). Hal ini diperintahkan
dalam surat Al Baqarah ayat 195 dan ayat 215. Kedua ayat ini mengingatkan
manusia bahwa masih ada hak orang lain dalam harta-harta yang diamanatkan oleh
Allah kepadanya dan dengan membelanjakan harta tersebut dijalan Allah maka
Allah menjanjikan kebaikan pada dirinya.
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا
تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqoroh: 195)
يَسَۡٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلۡ
مَآ أَنفَقۡتُم مِّنۡ خَيۡرٖ فَلِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ
ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٢١٥
Mereka bertanya tentang
apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa
saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya (Al-Baqoroh: 215)
5.
Makan dan minum dalam Islam
Makan dan minum merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.
Namun demikian, Islam juga mengingatkan umatnya untuk tidak berlebihan dalam
mengkonsumsi sesuatu sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Furqan ayat 67 di
atas.
Di antara adab makan dan minum dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.
Memakan makanan dan
minuman yang halal.
“Hai
para rasul, makanlah yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mu`minun: 51)
2.
Mendahulukan makan
daripada shalat jika makanan telah dihidangkan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila makan malam telah dihidangkan dan
shalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam dan janganlah
tergesa-gesa (pergi shalat) sampai makanmu selesai.”
3.
Tidak makan dan minum
dengan menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang minum pada bejana perak
sesungguhnya ia mengobarkan api neraka jahanam dalam perutnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim) \
4.
Jangan berlebih-lebihan
dan boros.
5.
Mencuci tangan sebelum
makan. Para salaf (generasi terdahulu yang shalih) melakukan hal ini
yang berguna untuk menjaga kesehatan dan menjauhkan diri dari berbagai
penyakit.
6.
Jangan menyantap
makanan dan minuman dalam keadaan masih sangat panas ataupun sangat dingin
karena hal ini membahayakan tubuh.
7.
Tuntunan bagi orang
yang makan tetapi tidak merasa kenyang.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tetapi tidak merasa
kenyang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Barangkali
kalian makan berpencar (sendiri-sendiri).” Mereka menjawab, ”Benar.”
Beliau kemudian bersabda, “Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan
sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk kalian.” (HR. Abu
Dawud)
8.
Dianjurkan memuji
makanan dan dilarang mencelanya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau menyukainya, maka
beliau memakannya. Dan apabila beliau tidak suka terhadapnya, maka beliau
meninggalkannya. (HR. Muslim)
9.
Membaca tasmiyah
(basmallah) sebelum makan.
10. Makan
dan minum dengan tangan kanan dan dilarang dengan tangan kiri.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian makan, makanlah
dengan tangan kanan dan minumlah dengan tangan kanan, karena
sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR.
Muslim)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mendoakan keburukan
bagi orang yang tidak mau makan dengan tangan kanannya. Seseorang makan di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan tangan kirinya,
maka beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu
menjawab, “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda, “Semoga kamu tidak
bisa!” Orang tersebut tidak mau makan dengan tangan kanan hanya karena
sombong. Akhirnya dia benar-benar tidak bisa mengangkat tangan kanannya ke
mulutnya. (HR. Muslim)
11. Makan
mulai dari makanan yang terdekat.Umar Ibnu Abi Salamah radhiyallahu’anhuma berkata,
“Saya dulu adalah seorang bocah kecil yang ada dalam bimbingan (asuhan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tangan saya (kalau makan) menjelajah
semua bagian nampan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menegur saya,
‘Wahai bocah bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah
dari yang terdekat denganmu.’ Maka demikian seterusnya cara makan saya setelah
itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12.Memungut
makanan yang jatuh, membersihkannya, kemudian memakannya.Hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah satu dari kalian
makan lalu makanan tersebut jatuh, maka hendaklah ia memungutnya dan membuang
kotorannya kemudian memakannya. Jangan ia biarkan makanan itu untuk setan.”
(HR. At-Tirmidzi)
13.Makan
dengan tiga jari (yaitu dengan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah) kemudian
menjilati jari dan wadah makan selesai makan.Ka’ab bin Malik radhiyallahu
’anhu berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
makan dengan tiga jarinya. Apabila beliau telah selesai makan, beliau
menjilatinya.” (HR. Muslim)
14.Cara
duduk untuk makan dengan tidak bersandar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Aku tidak makan dengan
bersandar.” (HR. Bukhari) Maksudnya adalah duduk yang serius untuk
makan.
15.Apabila
lalat terjatuh dalam minumanNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila lalat jatuh pada minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah
ia mencelupkan lalat tersebut kemudian barulah ia buang, sebab
di salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap yang lain terdapat
penawarnya.” (HR. Bukhari)
16.Bersyukur
kepada Allah Ta’ala setelah makan.
17.Buruknya
makan sambil berdiri dan boleh minum sambil berdiri, tetapi yang lebih utama
sambil duduk.
18.Minum
tiga kali tegukan seraya mengambil nafas di luar gelas.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam minum sebanyak tiga kali, menyebut nama Allah di awalnya
dan memuji Allah di akhirnya. (HR.Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaumi
wallailah (472))Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum,
beliau bernafas tiga kali. Beliau bersabda, “Cara seperti itu lebih segar,
lebih nikmat dan lebih mengenyangkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
19.Berdoa
sebelum minum susu dan berkumur-kumur sesudahnya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jika minum susu maka ucapkanlah, ‘Allahumma
barik lana fihi wa zidna minhu’ (Ya Allah berkahilah kami pada
susu ini dan tambahkanlah untuk kami lebih dari itu) karena tidak ada makanan
dan minuman yang setara dengan susu.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman (5957),
20.Dianjurkan
bicara saat makan, tidak diam dan tenang menikmati makanan seperti halnya
orang-orang Yahudi.
6.
Berpakaian dalam Islam
Pakaian
merupakan salahsatu kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat tinggal.
Pakaianbukan sekadar pelindung manusia dari udara panas dan dingin. Pakaian
punmemiliki beragam fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Kefgan
dan Touchi-Specht misalnya, sebagaimana dikutip Dr. JalaluddinRakhmat,
menyebutkan setidaknya tiga fungsi penting dari pakaian.
Pertama,
sebagai pembeda (diferensiasi). Dengan pakaian, seseorangmembedakan dirinya,
kelompoknya, dan golongannya dari orang lain. Kedua,fungsi perilaku. Pakaian
akan mempengaruhi cara pandang dan perilakuorang yang memakainya. Ketika
berpenampilan seperi seorang santri, Anda“terpaksa” akan berperilaku dalam
batas-batas kaidah kelompok santri.Anda akan sulit berbuat macam-macam, semisal
mengganggu perempuan di jalan.Ketiga, fungsi emosional. Pakaian akan
mencerminkan emosi pemakainya,dan pada saat bersamaan akan memengaruhi emosi
orang lain. Kita kerapmemandang orang lain secara berbeda dan memberikan reaksi
karenapenampilannya. Kita tanpa sadar sering mengelompokkan orang-orang
yangkita temui sebagai gelandangan, dokter, tentara, polisi, dan lainnya,
melalui melihat dari pakaiannya.
Islam
menaruh perhatian yang besar terhadap masalah /berpakaian dalam Islam/. Arti
penting dari berpakaian dalam Islam dapat kita lihat dari penyebutan fungsi
pakaian di dalam Al-Quran, di antaranya adalah sesuai dengan salah satu
firman-Nya:
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا
عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ
ذَٰلِكَ خَيۡرٞۚ ذَٰلِكَ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمۡ يَذَّكَّرُونَ ٢٦
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian
takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al-’Arof :26)
Ayat
tersebut diatas memberi acuan cara berpakaian sebagaimana dituntut oleh sifat
takwa, yaitu untuk menutup aurat dan berpakaian rapi.Namun secara sederhana,
berpakaian dalam Islam itu sebaiknya adalah menggunakan pakaian yang bisa kita
gunakan untuk shalat. Ketika hendak shalat, kita diperintahkan untuk mengenakan
pakaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain sebagai berikut.
ü
Bersih dari najis,
ü
Menutupi aurat. Bagi wanita harus
yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan,
ü
Tidak transparan,
ü
Tidak mengganggu orang lain. Semisal
memuat gambar yang bisa merusak
kekhusyukkan orang lain.
ü
Tidak menyerupai lawan jenis. Bagi
kaum laki-laki ada pakaiannya
tersendiri, demikian pula bagi perempuan,
ü
Tidak berasal dari zat yang
diharamkan, baik zatnya maupun cara mendapatkannya.
Apabila
syarat-syarat tentang berpakaian dalam Islam ini terpenuhi, di luar kondisi
darurat, pakaian tersebut boleh kita pakai untuk shalat. Pakaian yang memenuhi
syarat sahnya shalat pun, secara tidak langsung, telah memenuhi fungsi-fungsi
dari sebuah pakaian, baik sebagai fungsi pembeda (diferensiasi), fungsi penentu
perilaku, fungsi emosional, fungsi perlindungan, fungsi estetika, penutup
aurat, sekaligus fungsi ibadah dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.Berikut
adalah ayat yang menjelaskan mengenai perintah Allah SWT untuk berhijab kepada wanita
yang beriman, yakni:
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ
أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ
ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ
نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ
أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ
عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا
يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung” (An-Nur:31)
Dari ayat di
atas kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting, di antaranya:
ü
Hendaknya kaum wanita menutup
pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada laki-laki non muhrim.
ü
Wajib bagi kaum wanita menutupi
auratnya dari laki-laki non muhrim.
ü
Wajib bagi kaum wanita menutupi badan dan
perhiasan mereka.
ü
Diperbolehkan bagi kaum wanita untuk
menampakkan badan dan perhiasan mereka di hadapan para muhrimnya.
7.
Prinsip
Dasar Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, menurut Abdul Mannan, konsumsi dalam ekonomi Islam dikendalikan oleh 5 prinsip dasar sebagai berikut :
a.
Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki
secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, ada hal
yang terlarang dicantumkan dalam Al-Qur’an Larangan terakhir berkaitan langsung
dengan membahayakannya moral dan
spiritual, Kelonggaran diberikan bagi
orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak
mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu
sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
b.
Prinsip Kebersihan
Syarat yang
kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan
sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh
dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan
dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
c.
Prinsip kesederhanaan
Prinsip ini mengatur
perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak
berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
d.
Prinsip Kemurahan Hati
Dengan
mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya.
Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik
dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam
tuntunan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian
bagi semua perintah-Nya.
e.
Prinsip Moralitas
Bukan hanya mengenai makan
dan minuman tetapi untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan
menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan
merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya.
8.
Konsep distribusi
Salah satu tujuan Islam mengatur distribusi barang dan jasa adalah untuk
mewujudkan keadilan. Untuk mewujudkan distribusi barang yang adil diperlukan
prinisp kejujuran. Hal ini dikarenakan sekecil apapun perbuatan yang kita
lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal lain adalah
apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu
timbulnya konflik individu maupun sosial. Ketidakseimbangan distribusi kekayaan
(pendapatan) menyebabkan munculnya disparitas (ketimpangan) sehingga
memunculkan golongan kaya dan golongan miskin.
Pada masa
khalifah Umar bin Khotab, khalifah yang sangat concern untuk maslahah rakyatnya. Dalam kisahnya yang sudah tidak
asing, ketika khalifah berjalan keliling malam beliau mendengar isak tangis
dari keluarga miskin yang anak-anaknya minta makan, maka seketika itu juga
khalifah langsung pulang dan mengambil sekarung gandum untuk di berikan kepada
keluarga tersebut.
Dalam Alquran surat
Al-Mudatsir:42-44, Allah telah memerintahkan untuk member makan orang miskin sehingga
orang miskin tersebut terperhatikan. Banyak mekanisme yang digunakan untuk
dapat membantu antara lain berupa zakat, infaq, maupun shodaqoh. Dengan member
makan orang miskin tersebut maka diharapkan mendapat ridho Allah dan terhindar
dari pedihnya siksa azab neraka.
مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢ قَالُواْ لَمۡ
نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣ وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ ٤٤
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka
menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin” (Al-Mudatsir : 42-44)
وَلَا
يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ٣٤
“Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan
orang miskin”(Al-Haqqoh : 34)
إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ ٢٢
“kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat”(Al-Ma’arij: 22)
9.
Keadilan dan Pemerataan Distribusi
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, disparitas kekayaan dengan munculnya golongan kaya dan
golongan miskin akan membawa dampak timbulnya ketidakadilan pemerataan distribusi.
Hal ini lebih lanjut akan banyak
menimbulkan konflik individu dan sosial.
Apabila
ketidakadilan ini tidak diatasi dengan penyaluran zakat, shodaqoh, dan infak
makan dari golongan kaya ke golongan miskin maka dikhawatirkan dapat membawa
kerusakan lebih jauh dimuka bumi seperti pencurian, perampokan, korupsi, dan
lain-lain. Allah melalui Al-Quran telah mengingatkan umat manusia untuk tidak
berbuat kerusakan yang akan merugikan dirinya maupun orang lain melalui surat
Al Baqarah ayat 11-16 yang berbunyi:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي
ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ
ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢ وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ
كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ
أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ ١٣ وَإِذَا
لَقُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ إِلَىٰ
شَيَٰطِينِهِمۡ قَالُوٓاْ إِنَّا مَعَكُمۡ إِنَّمَا نَحۡنُ مُسۡتَهۡزِءُونَ ١٤
ٱللَّهُ يَسۡتَهۡزِئُ بِهِمۡ وَيَمُدُّهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ ١٥
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ فَمَا رَبِحَت
تِّجَٰرَتُهُمۡ وَمَا كَانُواْ مُهۡتَدِينَ ١٦
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusa=kan
di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan"Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka:
"Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka
menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu
telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh;
tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang
beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka
kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya
kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". Allah akan
(membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam
kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk,
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk(Al-Baqarah: 11-16)
10.
Distribusi untuk dakwah, sosial, dan Ekonomi
۞وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ إِن كُنتُمۡ
ءَامَنتُم بِٱللَّهِ وَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا يَوۡمَ ٱلۡفُرۡقَانِ
يَوۡمَ ٱلۡتَقَى ٱلۡجَمۡعَانِۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al Anfal:41)
Ayat diatas
menjelaskan mengenai pembagian Ghanimah dan distribusinya untuk dakwah, sosial,
dan ekonomi. Yang dimaksud dengan Ghanimah (rampasan perang) adalah harta yang
diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran. Bagian 1/5 dari Ghanimah
itu dibagikan kepada:
ü
Allah dan Rasul-Nya,
ü
Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan
Muthalib),
ü
Anak-anak yatim,
ü
Fakir miskin,
ü
Ibnussabil (orang yang berjuang di
jalan Allah)
Sedangkan
4/5 dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
Dengan
demikian maka Allah telah mengatur untuk mendistribusikan harta rampasan perang
menjadi tidak hanya untuk yang orang-orang yang berperang saja tapi juga kepada
bagian-bagian ummat lainnya sehingga dapat menjadi penggerak dakwah, dan juga keadilan
sosial dan keadilan ekonomi terjaga.
وَمَآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ
رَسُولِهِۦ مِنۡهُمۡ فَمَآ أَوۡجَفۡتُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ خَيۡلٖ وَلَا رِكَابٖ
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُۥ عَلَىٰ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٦ مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ
ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ
ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ
ٱلۡعِقَابِ ٧ لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن
دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗا
وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ٨
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ
هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ
وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ
شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ
بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ
سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ
ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
Dan apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan
(tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada
Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Juga) bagi orang fakir
yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntun. Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang"(Al Haysr: 6-10)
11.
Permasalahan
Konsumsi dan Analisisnya
Teori perilaku konsumsi yang digunakan dalam ekonomi
modern adalah teori utility, yang
membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seseorang dari
mengkonsumsikan barang-barang.Pada dasarnya ada dua pendekatan yang digunakan
untuk menjelaskan perilaku konsumen, yaitu pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference.
Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti bahwa kepuasan
setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain. Dengan adanya
teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan total yang
maksimum. Sedangkan pendekatan indifference
ini, pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen
bisa diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan
tingkat kepuasan yang sama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan indifference ini adalah bahwa tingkat
kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa
menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah.
Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk
mencapai kepuasan maksimum yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran
keuangan yang dimilikinya. Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa
saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung
menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya
demi mengejar kepuasan maksimum.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsumsi
yang dilakukan umat Islam banyak tidak ditujukan untuk mencapai falah
(kebahagiaan dunia dan akhirat). Untuk mencapai hal tersebut, dalam memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani dan agar mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat, maka umat perlu memasukkan unsur zakat dan sedekah sebagai bagian dari konsumsi
(DR. Yusuf Qardhawi).
Dengan pendekatan ini pendapatan yang diperoleh akan digunakan untuk konsumsi dan tabungan dalam konsep Islam dapat dirumuskan:
Y= (C + Zakat) + S
Y = Pendapatan
C = Consumsi + Zakat
S = Tabungan
Kekayaan atau harta dalam Islam merupakan
amanah Allah, yang harus dibelanjakan secara benar, yaitu seimbang dan adil,
tidak boros, tidak kikir, dan tidak pula mubazir. Harta yang dimiliki tidak
semata-mata untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk kegiatan sosial seperti zakat,
infaq dan sedekah.
Tujuan
konsumsi bukan semata-mata untuk
memenuhi kepuasan terhadap barang
(utilitas), namun juga
memaksimalkan maslahah sehingga tercapai kepuasan yang utuh dan komprehensif yaitu kepuasan
dunia dan akhirat.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan
manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar
menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda
(al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
a.
Maslahah
bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing
masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau
bukan bagi dirinya.
b.
Konsep
maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi,
konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
12. Permasalahan Distribusi dan
Analisisnya
Penyaluran atau penyebaran
roda perekonomian yang merupakan pertemuan atau efek dari produksi dan
konsumsi. Dalam artian, distribusi adalah
menyalurkan hasil produksi dalam bentuk barang ataupun jasa dari produsen
kepada konsumen. Penyebaran atau
perputaran ekonomi, dalam sekala negara seringkali diterjemahkan menjadi
pemeratan kesejahteraan warga negara.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan aksesibilitas umat dalam distribusi
barang dan jasa karena adanya perbedaan dalam kepemilikan harta.Sistem
kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan
adalah dengan cara meningkatkan produksi dan memberikan kebebasaan bagi
penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak mungkin.
Dalam
ekonomi kapitalis distribusi dilakukan dengan cara memberikan kebebasan
memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap
individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu. teori
yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan
ekonomi islam adalah dzalim, sebab apabila teori tersebut diterapkan maka
berimplikasi pada penumpukaan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan
dipihak yang lain.
Mekanisme
syariah islam yang mengatur persoalan distribusi kekayaan diantara umat manusia
tidak terlepas dari pandangan ideologis bahwa semua kekayaan yang ada dialam
semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT sehingga harus diatur sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah kebijakan ekonomi melalui instrument moneter dan
fiskal merupakan alat (tools) untuk mendorong peningkatan produksi dan
distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.
Permasalahan utama distribusi adalah terjadinya bottle necking distribusi dan adanya penimbunan (ihtikar) sehingga produk tidak mencapai konsumen secara sempurna dan harga menjadi lebih tinggi dari semestinya.
Sistem
ekonomi yang berbasis islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus
berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilaan kepemilikan.
Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang dibingkai oleh
nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang
menyatakan sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa campur tangan pihak manapun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu
dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang
lainnya.
Adapun
mekanisme redistribusi pendapatan yang dikenal dalam Islam antara lain:
1. Zakat (wajib)
2. Infaq (sunnah)
3. Shadaqah (sunnah)
4. Ghanimah
5. Fa’i
6. Kharaj
2. Infaq (sunnah)
3. Shadaqah (sunnah)
4. Ghanimah
5. Fa’i
6. Kharaj
Daftar
Pustaka
Al-Quranul
Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
An
Nazrah, Katshar, (2013), Prinsip
Moral Ekonomi Islam Dalam Produksi, Konsumsi Dan Distribusi.
Artikel. S41f.blogspot.com
Lestari,
Rianapuji, (2014), Etika Islam dalam bidang, produksi, konsumsi
dan distribusi. Makalah. rianapuji.wordpresss.com
Manan, Abdul Teori dan
Praktek Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar