Jumat, 05 Desember 2014

KONSUMSI DAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM



oleh:
Lazuardi Adnan dan Sofyan Baehaqie

Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Syariah, Manajemen dan Bisnis IPB, Angkatan EK18

1.        Pendahuluan
Konsumsi dan distribusi merupakan tahapan lanjutan dari kegiatan ekonomi setelah produksi. Distribusi memungkinkan hasil produksi sampai kepada tangan konsumen untuk di konsumsi. Ketiga hal ini merupakan aktifitas dasar dalam ekonomi.Pemikir islam Ibnu Khaldun telah membahas produksi, distribusi dan konsumsi jauh sebelum pakar ekonomi barat memikirkan dan membentuk teori perekonomian.

Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure. (Shiddiqy, 1976dalam Teori Produksi, Konsumi, dan Distribusi, Katsah An Nazhar, 2013).

2.        Arti dan Tujuan Konsumsi
Konsumsi merupakan kegiatan yang menggunakan suatu produk barang atau jasa yangdibuat oleh produsen. Sedangkan wikipedia mencatat pengertian konsumsi, yang berasal dari bahasa Belanda ‘consumptie’, adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Dalam perspektif islam dititikberatkan pada tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, yang mana harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyah.
Tujuan Konsumsi dalam Islam adalah:
1.         Untuk mengharap Ridha Allah SWT
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash:7)
2.         Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial
3.  Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi Islam.

3.        Nilai dan Moral dalam Konsumsi
Nilai dan moral yang terkandung dalam konsumsi telah diatur agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al Baqarah ayat 168, ayat 172, dan ayat 173 adalah bahwa umat Islam harus mengkonsumsi makanan yang halal dan berasal dari rezeki yang baik. Ini bukan berarti hanya zatnya, tetapi termasuk juga cara mendapatkannya. Tidak hanya makanan secara fisik namun hal lain terkait konsumsi yang dilakukan oleh Manusia.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqoroh: 168)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ ١٧٢
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah” (Al-Baqoroh: 172)

Apabila umat Islam melaksanakan perintah Allah dan dibarengi dengan rasa bersyukur yang tinggi maka hal tersebut akan menghindarkan diri dari langkah yang diambil oleh syaitan sehingga Allah ridho dan melimpahkan kasih sayang dan keberkahan kepada umat yang menjalankan perintah Allah tersebut.
Dalam surat lain, Allah juga telah menyampaikan pengaturan secara spesifik kepada umat manusia mengenai hal-hal yang haram di konsumsi sebagimana dijelaskandalam surat Al Baqarah ayat 173, juga dalam surat Al Maidah ayat 1 dan ayat 3.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Baqoroh: 173)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ أُحِلَّتۡ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلۡأَنۡعَٰمِ إِلَّا مَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ مَا يُرِيدُ ١
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Al-Ma’idah: 1)

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Ma’idah: 3)

Berdasarkan ayat-ayat di atas, etika konsumsi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu:

1.         Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal, yaitu :
·           Zat, artinya zat barang tersebut memenuhi kaidah syariah sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas
·           Proses, artinya dalam prosesnya baik pembuatan maupun perolehan telah memenuhi kaidah syariah.
2.         Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, yang berarti barang tersebut jauh memberikan manfaat dibandingkan mudharat baik untuk yang mengkonsumsi ataupun orang lain.
3.         Mengkonsumsi barang tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit, tapi pertengahan.
Meskipun demikian, dewasa ini banyak umat Islam yang seolah-olah mengabaikan etika tersebut. Terlihat dari makin banyaknya produk dan barang haram yang dikonsumsi selain tidak diindahkannya perolehan harta untuk konsumsi melalui jalan yang tidak halal seperti korupsi dan merampas hak orang lain.

4.        Konsumsi untuk diri Sendiri dan jalan Allah
Dalam surat Al Furqan ayat 67, Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا ٦٧
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (Al-Furqon: 67)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam diajarkan untuk mengkonsumsi (membelanjakan) sesuatu sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan ataupun kekurangan. Saat ini prinsip tersebut sudah sulit ditemui dalam keluarga muslim. Karena kekhawatiran akan terjadinya kelangkaan barang dan juga sifat dasar manusia yang tamak, banyak keluarga muslim yang menimbun/menyimpan barang yang mungkin tidak diperlukan.

Selain untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, Allah juga memerintahkan manusia untuk beramal sholeh (bersedekah) dengan membelanjakan hartanya di jalan Allah (fiisabilillah). Hal ini diperintahkan dalam surat Al Baqarah ayat 195 dan ayat 215. Kedua ayat ini mengingatkan manusia bahwa masih ada hak orang lain dalam harta-harta yang diamanatkan oleh Allah kepadanya dan dengan membelanjakan harta tersebut dijalan Allah maka Allah menjanjikan kebaikan pada dirinya. 

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqoroh: 195)

يَسۡ‍َٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلۡ مَآ أَنفَقۡتُم مِّنۡ خَيۡرٖ فَلِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٢١٥
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya (Al-Baqoroh: 215)

5.        Makan dan minum dalam Islam
Makan dan minum merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Namun demikian, Islam juga mengingatkan umatnya untuk tidak berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Furqan ayat 67 di atas.
Di antara adab makan dan minum dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.         Memakan makanan dan minuman yang halal.
“Hai para rasul, makanlah yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu`minun: 51)
2.         Mendahulukan makan daripada shalat jika makanan telah dihidangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila makan malam telah dihidangkan dan shalat telah ditegakkan, maka mulailah dengan makan malam dan janganlah tergesa-gesa (pergi shalat) sampai makanmu selesai.”
3.         Tidak makan dan minum dengan menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang minum pada bejana perak sesungguhnya ia mengobarkan api neraka jahanam dalam perutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) \
4.         Jangan berlebih-lebihan dan boros.
5.         Mencuci tangan sebelum makan. Para salaf (generasi terdahulu yang shalih) melakukan hal ini yang berguna untuk menjaga kesehatan dan menjauhkan diri dari berbagai penyakit.
6.         Jangan menyantap makanan dan minuman dalam keadaan masih sangat panas ataupun sangat dingin karena hal ini membahayakan tubuh.
7.         Tuntunan bagi orang yang makan tetapi tidak merasa kenyang.Para sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tetapi tidak merasa kenyang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Barangkali kalian makan berpencar (sendiri-sendiri).” Mereka menjawab, ”Benar.” Beliau kemudian bersabda, “Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk kalian.” (HR. Abu Dawud)
8.         Dianjurkan memuji makanan dan dilarang mencelanya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Apabila beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Dan apabila beliau tidak suka terhadapnya, maka beliau meninggalkannya. (HR. Muslim)
9.         Membaca tasmiyah (basmallah) sebelum makan.
10.     Makan dan minum dengan tangan kanan dan dilarang dengan tangan kiri.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanan dan minumlah dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mendoakan keburukan bagi orang yang tidak mau makan dengan tangan kanannya. Seseorang makan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan tangan kirinya, maka beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu menjawab, “Saya tidak bisa.” Beliau bersabda, “Semoga kamu tidak bisa!” Orang tersebut tidak mau makan dengan tangan kanan hanya karena sombong. Akhirnya dia benar-benar tidak bisa mengangkat tangan kanannya ke mulutnya. (HR. Muslim)
11.     Makan mulai dari makanan yang terdekat.Umar Ibnu Abi Salamah radhiyallahu’anhuma berkata, “Saya dulu adalah seorang bocah kecil yang ada dalam bimbingan (asuhan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tangan saya (kalau makan) menjelajah semua bagian nampan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menegur saya, ‘Wahai bocah bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari yang terdekat denganmu.’ Maka demikian seterusnya cara makan saya setelah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12.Memungut makanan yang jatuh, membersihkannya, kemudian memakannya.Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah satu dari kalian makan lalu makanan tersebut jatuh, maka hendaklah ia memungutnya dan membuang kotorannya kemudian memakannya. Jangan ia biarkan makanan itu untuk setan.” (HR. At-Tirmidzi)
13.Makan dengan tiga jari (yaitu dengan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah) kemudian menjilati jari dan wadah makan selesai makan.Ka’ab bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya. Apabila beliau telah selesai makan, beliau menjilatinya.” (HR. Muslim)
14.Cara duduk untuk makan dengan tidak bersandar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Aku tidak makan dengan bersandar.” (HR. Bukhari) Maksudnya adalah duduk yang serius untuk makan.
15.Apabila lalat terjatuh dalam minumanNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila lalat jatuh pada minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tersebut kemudian barulah ia buang, sebab di salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari)
16.Bersyukur kepada Allah Ta’ala setelah makan.
17.Buruknya makan sambil berdiri dan boleh minum sambil berdiri, tetapi yang lebih utama sambil duduk.
18.Minum tiga kali tegukan seraya mengambil nafas di luar gelas.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sebanyak tiga kali, menyebut nama Allah di awalnya dan memuji Allah di akhirnya. (HR.Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaumi wallailah (472))Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum, beliau bernafas tiga kali. Beliau bersabda, “Cara seperti itu lebih segar, lebih nikmat dan lebih mengenyangkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
19.Berdoa sebelum minum susu dan berkumur-kumur sesudahnya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika minum susu maka ucapkanlah, ‘Allahumma barik lana fihi wa zidna minhu’ (Ya Allah berkahilah kami pada susu ini dan tambahkanlah untuk kami lebih dari itu) karena tidak ada makanan dan minuman yang setara dengan susu.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (5957),
20.Dianjurkan bicara saat makan, tidak diam dan tenang menikmati makanan seperti halnya orang-orang Yahudi.

6.        Berpakaian dalam Islam
Pakaian merupakan salahsatu kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat tinggal. Pakaianbukan sekadar pelindung manusia dari udara panas dan dingin. Pakaian punmemiliki beragam fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Kefgan dan Touchi-Specht misalnya, sebagaimana dikutip Dr. JalaluddinRakhmat, menyebutkan setidaknya tiga fungsi penting dari pakaian.

Pertama, sebagai pembeda (diferensiasi). Dengan pakaian, seseorangmembedakan dirinya, kelompoknya, dan golongannya dari orang lain. Kedua,fungsi perilaku. Pakaian akan mempengaruhi cara pandang dan perilakuorang yang memakainya. Ketika berpenampilan seperi seorang santri, Anda“terpaksa” akan berperilaku dalam batas-batas kaidah kelompok santri.Anda akan sulit berbuat macam-macam, semisal mengganggu perempuan di jalan.Ketiga, fungsi emosional. Pakaian akan mencerminkan emosi pemakainya,dan pada saat bersamaan akan memengaruhi emosi orang lain. Kita kerapmemandang orang lain secara berbeda dan memberikan reaksi karenapenampilannya. Kita tanpa sadar sering mengelompokkan orang-orang yangkita temui sebagai gelandangan, dokter, tentara, polisi, dan lainnya, melalui melihat dari pakaiannya.

Islam menaruh perhatian yang besar terhadap masalah /berpakaian dalam Islam/. Arti penting dari berpakaian dalam Islam dapat kita lihat dari penyebutan fungsi pakaian di dalam Al-Quran, di antaranya adalah sesuai dengan salah satu firman-Nya:

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقۡوَىٰ ذَٰلِكَ خَيۡرٞۚ ذَٰلِكَ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمۡ يَذَّكَّرُونَ ٢٦
“Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al-’Arof :26)

Ayat tersebut diatas memberi acuan cara berpakaian sebagaimana dituntut oleh sifat takwa, yaitu untuk menutup aurat dan berpakaian rapi.Namun secara sederhana, berpakaian dalam Islam itu sebaiknya adalah menggunakan pakaian yang bisa kita gunakan untuk shalat. Ketika hendak shalat, kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain sebagai berikut.
ü  Bersih dari najis,
ü  Menutupi aurat. Bagi wanita harus yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan,
ü  Tidak transparan,
ü  Tidak mengganggu orang lain. Semisal memuat gambar yang bisa merusak     kekhusyukkan orang lain.
ü  Tidak menyerupai lawan jenis. Bagi kaum laki-laki ada pakaiannya     tersendiri, demikian pula bagi perempuan,
ü  Tidak berasal dari zat yang diharamkan, baik zatnya maupun cara mendapatkannya.
Apabila syarat-syarat tentang berpakaian dalam Islam ini terpenuhi, di luar kondisi darurat, pakaian tersebut boleh kita pakai untuk shalat. Pakaian yang memenuhi syarat sahnya shalat pun, secara tidak langsung, telah memenuhi fungsi-fungsi dari sebuah pakaian, baik sebagai fungsi pembeda (diferensiasi), fungsi penentu perilaku, fungsi emosional, fungsi perlindungan, fungsi estetika, penutup aurat, sekaligus fungsi ibadah dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.Berikut adalah ayat yang menjelaskan mengenai perintah Allah SWT untuk berhijab kepada wanita yang beriman, yakni:

وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (An-Nur:31)

Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting, di antaranya:
ü  Hendaknya kaum wanita menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada laki-laki non muhrim.
ü  Wajib bagi kaum wanita menutupi auratnya dari laki-laki non muhrim.
ü   Wajib bagi kaum wanita menutupi badan dan perhiasan mereka.
ü  Diperbolehkan bagi kaum wanita untuk menampakkan badan dan perhiasan mereka di hadapan para muhrimnya.
7.        Prinsip Dasar Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Berdasarkan uraian tersebut diatas, menurut Abdul Mannan, konsumsi dalam ekonomi Islam dikendalikan oleh 5 prinsip dasar sebagai berikut :
a.         Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, ada hal yang terlarang dicantumkan dalam Al-Qur’an Larangan terakhir berkaitan langsung dengan membahayakannya  moral dan spiritual,  Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
b.         Prinsip Kebersihan
Syarat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
c.         Prinsip kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
d.        Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntunan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
e.         Prinsip Moralitas
Bukan hanya mengenai makan dan minuman tetapi untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya.

8.        Konsep distribusi
Salah satu tujuan Islam mengatur distribusi barang dan jasa adalah untuk mewujudkan keadilan. Untuk mewujudkan distribusi barang yang adil diperlukan prinisp kejujuran. Hal ini dikarenakan sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal lain adalah apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial. Ketidakseimbangan distribusi kekayaan (pendapatan) menyebabkan munculnya disparitas (ketimpangan) sehingga memunculkan golongan kaya dan golongan miskin.
Pada masa khalifah Umar bin Khotab, khalifah yang sangat concern untuk maslahah rakyatnya. Dalam kisahnya yang sudah tidak asing, ketika khalifah berjalan keliling malam beliau mendengar isak tangis dari keluarga miskin yang anak-anaknya minta makan, maka seketika itu juga khalifah langsung pulang dan mengambil sekarung gandum untuk di berikan kepada keluarga tersebut.
Dalam Alquran surat Al-Mudatsir:42-44, Allah telah memerintahkan untuk member makan orang miskin sehingga orang miskin tersebut terperhatikan. Banyak mekanisme yang digunakan untuk dapat membantu antara lain berupa zakat, infaq, maupun shodaqoh. Dengan member makan orang miskin tersebut maka diharapkan mendapat ridho Allah dan terhindar dari pedihnya siksa azab neraka.

  مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢ قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣ وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ ٤٤
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin” (Al-Mudatsir : 42-44)

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ٣٤
“Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin”(Al-Haqqoh : 34)
 إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ ٢٢ 

“kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat”(Al-Maarij: 22)

9.        Keadilan dan Pemerataan Distribusi
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, disparitas kekayaan dengan munculnya golongan kaya dan golongan miskin akan membawa dampak timbulnya ketidakadilan pemerataan distribusi. Hal ini lebih lanjut  akan banyak menimbulkan konflik individu dan sosial.
Apabila ketidakadilan ini tidak diatasi dengan penyaluran zakat, shodaqoh, dan infak makan dari golongan kaya ke golongan miskin maka dikhawatirkan dapat membawa kerusakan lebih jauh dimuka bumi seperti pencurian, perampokan, korupsi, dan lain-lain. Allah melalui Al-Quran telah mengingatkan umat manusia untuk tidak berbuat kerusakan yang akan merugikan dirinya maupun orang lain melalui surat Al Baqarah ayat 11-16 yang berbunyi:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢ وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ ١٣ وَإِذَا لَقُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ إِلَىٰ شَيَٰطِينِهِمۡ قَالُوٓاْ إِنَّا مَعَكُمۡ إِنَّمَا نَحۡنُ مُسۡتَهۡزِءُونَ ١٤ ٱللَّهُ يَسۡتَهۡزِئُ بِهِمۡ وَيَمُدُّهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ ١٥ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ فَمَا رَبِحَت تِّجَٰرَتُهُمۡ وَمَا كَانُواْ مُهۡتَدِينَ ١٦
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusa=kan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan"Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk(Al-Baqarah: 11-16)

10.    Distribusi untuk dakwah, sosial, dan Ekonomi
۞وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا غَنِمۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُۥ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ إِن كُنتُمۡ ءَامَنتُم بِٱللَّهِ وَمَآ أَنزَلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا يَوۡمَ ٱلۡفُرۡقَانِ يَوۡمَ ٱلۡتَقَى ٱلۡجَمۡعَانِۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al Anfal:41)

Ayat diatas menjelaskan mengenai pembagian Ghanimah dan distribusinya untuk dakwah, sosial, dan ekonomi. Yang dimaksud dengan Ghanimah (rampasan perang) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran. Bagian 1/5 dari Ghanimah itu dibagikan kepada:
ü  Allah dan Rasul-Nya,
ü  Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib),
ü  Anak-anak yatim,
ü  Fakir miskin,
ü  Ibnussabil (orang yang berjuang di jalan Allah)
Sedangkan 4/5 dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur.
Dengan demikian maka Allah telah mengatur untuk mendistribusikan harta rampasan perang menjadi tidak hanya untuk yang orang-orang yang berperang saja tapi juga kepada bagian-bagian ummat lainnya sehingga dapat menjadi penggerak dakwah, dan juga keadilan sosial dan keadilan ekonomi terjaga.

وَمَآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡهُمۡ فَمَآ أَوۡجَفۡتُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ خَيۡلٖ وَلَا رِكَابٖ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُۥ عَلَىٰ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٦ مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧ لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ٨ وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠
Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntun. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang"(Al Haysr: 6-10)

11.    Permasalahan Konsumsi dan Analisisnya
Teori perilaku konsumsi yang digunakan dalam ekonomi modern adalah teori utility, yang membahas tentang kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh seseorang dari mengkonsumsikan barang-barang.Pada dasarnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku konsumen, yaitu pendekatan marginal utility dan pendekatan indifference.
Pendekatan marginal utility bertitik tolak pada anggapan yang berarti bahwa kepuasan setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain. Dengan adanya teori pendekatan ini konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan total yang maksimum. Sedangkan pendekatan indifference ini, pendekatan yang memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa diukur. Karena barang-barang yang dikonsumsi mempunyai dan menghasilkan tingkat kepuasan yang sama. Anggapan yang diperlukan dalam pendekatan indifference ini adalah bahwa tingkat kepuasan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa menyatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah.
Perilaku konsumsi di atas berupaya untuk mencapai kepuasan maksimum yang hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang dimilikinya. Dengan kata lain konsumen dapat mengkonsumsi apa saja sepanjang anggarannya memadai untuk itu, serta konsumen cenderung menghabiskan anggarannya demi mengejar kepuasan tertinggi yang bisa dicapainya demi mengejar kepuasan maksimum.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsumsi yang dilakukan umat Islam banyak tidak ditujukan untuk mencapai falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Untuk mencapai hal tersebut, dalam memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani dan agar mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka umat perlu memasukkan unsur zakat dan sedekah sebagai bagian dari konsumsi (DR. Yusuf Qardhawi).

Dengan pendekatan ini pendapatan yang diperoleh akan digunakan untuk konsumsi dan tabungan dalam konsep Islam dapat dirumuskan:
Y= (C + Zakat) + S
Y = Pendapatan
C = Consumsi + Zakat
S = Tabungan

Kekayaan atau harta dalam Islam merupakan amanah Allah, yang harus dibelanjakan secara benar, yaitu seimbang dan adil, tidak boros, tidak kikir, dan tidak pula mubazir. Harta yang dimiliki tidak semata-mata untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk kegiatan sosial seperti zakat, infaq dan sedekah.
Tujuan konsumsi bukan semata-mata untuk memenuhi kepuasan terhadap barang (utilitas), namun juga memaksimalkan maslahah sehingga tercapai kepuasan yang utuh dan komprehensif yaitu kepuasan dunia dan akhirat.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
a.         Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya.
b.          Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.

12.    Permasalahan Distribusi dan Analisisnya
Penyaluran atau penyebaran roda perekonomian yang merupakan pertemuan atau efek dari produksi dan konsumsi. Dalam artian, distribusi adalah menyalurkan hasil produksi dalam bentuk barang ataupun jasa dari produsen kepada konsumen. Penyebaran atau perputaran ekonomi, dalam sekala negara seringkali diterjemahkan menjadi pemeratan kesejahteraan warga negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan aksesibilitas umat dalam distribusi barang dan jasa karena adanya perbedaan dalam kepemilikan harta.Sistem kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan adalah dengan cara meningkatkan produksi dan memberikan kebebasaan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak mungkin.
Dalam ekonomi kapitalis distribusi dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu. teori yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan ekonomi islam adalah dzalim, sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukaan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan dipihak yang lain.
Mekanisme syariah islam yang mengatur persoalan distribusi kekayaan diantara umat manusia tidak terlepas dari pandangan ideologis bahwa semua kekayaan yang ada dialam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT sehingga harus diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syariah kebijakan ekonomi melalui instrument moneter dan fiskal merupakan alat (tools) untuk mendorong peningkatan produksi dan distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.

Permasalahan utama distribusi adalah terjadinya bottle necking distribusi dan adanya penimbunan (ihtikar) sehingga produk tidak mencapai konsumen secara sempurna dan harga menjadi lebih tinggi dari semestinya.
Sistem ekonomi yang berbasis islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilaan kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang dibingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakan sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak manapun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya.
Adapun mekanisme redistribusi pendapatan yang dikenal dalam Islam antara lain:
1. Zakat (wajib)
2. Infaq (sunnah)
3. Shadaqah (sunnah)
4. Ghanimah
5. Fa’i
6. Kh
araj

Daftar Pustaka
Al-Quranul Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.
An Nazrah, Katshar, (2013), Prinsip Moral Ekonomi Islam Dalam Produksi, Konsumsi Dan Distribusi. Artikel. S41f.blogspot.com
Lestari, Rianapuji, (2014), Etika Islam dalam bidang, produksi, konsumsi dan distribusi. Makalah. rianapuji.wordpresss.com
Manan, Abdul Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997
Salihah, Ummu, (2014), Adab Makan dan Minum. Artikel. Jakarta. muslimah.co.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar