Oleh :
Cahyo Kartiko dan Yudi Yudiana
(Magister Manajemen dan Bisnis – EK 18 - Institut
Pertanian Bogor)
Pendahuluan
Dalam setiap segi kehidupan, Islam
senantiasa mendorong kebebasan
melakukan bisnis dan transaksi keuangan
berdasarkan etika, norma dan aturan. Disamping
adanya aturan-aturan utama,
hukum Islam menetapkan serangkaian norma dan batasan lain dalam rangka
menghindarkan adanya keuntungan yang tidak sewajarnya dan ketidakadilan.
Kesesuaian syariah merupakan hakikat dari sistem keuangan Islami, sehingga perhatian terhadap nilai-nilai kesyariahan seharusnya mendominasi
hal-hal lain yang diperhatikan dalam lembaga
keuangan syariah. Sistem yang dikembangkan dengan tingkat pertumbuhan dapat dipertahankan dan memastikan
keadilan bagi para investor, komunitas serta institusi bisnis melalui kesesuaian
kegiatan operasional lembaga keuangan
islami
yang mendasarkan diri pada norma
dan prinsip syariah.
Dalam fungsinya sebagai
peraturan, hukum Islam tidak
mengakui berbagai transaksi
yang mengandung unsur-unsur melanggar aturan syar’i. Dan telah
mengindentifikasi beberapa elemen yang harus dihindari dalam transaksi
perniagaan atau bisnis. Dalam hal pengharaman atas riba, gharar dan perjudian adalah faktor yang stategis sehingga dapat mendefinisikan
kontrak-kontrak (akad) yang tidak sah dan tidak berlaku serta menentukan
kesemua batasan yang seharusnya tidak dilanggar.
Banyak
pihak yang telah menyatakan pandangan berbeda mengenai dasar rasional atas
tujuan pengharaman bunga oleh syariah. Secara keseluruhan keadilan sosial, ekonomi dan
distribusi, keseimbangan antar generasi, instabilitas perekonomian dan
kehancuran ekologis dianggap sebagai dasar pengharaman bunga. Mengingat semua
teks dan prinsip yang relevan dalam hukum Islam, alasan satu-satunya yang
meyakinkan adalah tentang keadilan distribusi karena pengaharaman riba dimaksudkan untuk
mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang, yaitu harta itu jangan hanya
beredar diantara orang-orang
kaya (QS. 59:7). Oleh karena itu tujuan utama pelaranagan atas riba adalah
untuk menghalagi sarana yang dapat menuntun ke akumulasi kekayaan pada
segelintir pihak, baik bank maupun individu. (1)
Riba
disukai manusia karena praktik ini bisa melipat gandakan harta tanpa harus
bekerja keras. Sebagai misal, meminjamkan barang dan meminta bayaran dua , tiga
atau empat lipat kepada orang yang meminjam. Dalam kondisi yang sangat terdesak
atau tidak memiliki pilihan lain, orang yang meminjam dengan sangat terpaksa
pasti menyetujui pembayaran lebih yang ditawarkan oleh pihak pemberi pinjaman.
Dapatkah
Riba dihancurkan ?
“Wahai orang-orang yang beriman , janganlah kalian memakan riba
dengan berlipat ganda , dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kamu
beruntung“ (Ali Imron
3:130).
Jadi
selama seseorang memeluk suatu agama apapun itu, pasti ada landasan
teologis-religius untuk meninggalkan praktik Riba. Sedangkan bagi orang-orang
yang tidak memeluk agama – kaum atheis sekarang yang mulai meningkat, mereka
tetap memiliki landasan normatif untuk meninggalkannya, yaitu hati nurani.
Sebab orang yang berperasaan pasti tidak akan tega menyaksikan ketimpangan
sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh riba. Disuatu sisi ada pihak yang
hanya duduk santai sambil menunggu pembayaran bunga riba, sementara disisi lain
ada pihak yang harus bekerja keras dan membanting tulang demi melunasi hutang
yang sejatinya tidak seberapa. Orang
yang memiliki hati nurani pasti miris saat melihat derita orang-orang yang
terjerat riba. (2)
Definisi
Riba
Menurut Rasyid, 2010, Asal
makna “Riba” menurut bahasa Arab adalah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud
disini adalah menurut istilah syara adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.
Sedangkan Syafii, 2001, Riba secara bahasa
bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil . Mengenai hal ini Allah SWT
mengingatkan dalam firman-Nya : QS. An-Nisaa : 29
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Dalam
pengertian Al Bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al Arabi Al-Maliki dalm kitabnya,
Ahkam Al Qur’an, menjelaskan, Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan,
namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah.
Abdul Azhim, 2011, dalam bukunya Fiqih riba mengatakan
bahwa sesuatu disebut riba jika ia bertambah. Demikian
juga dengan luka, tanah, dan harta bisa dikatakan “riba” jika ia bertambah atau
berkembang. Tunas daun juga dikatakan “riba” jika ia tumbuh berkembang. Ia akan tumbuh berkembang jika disiram dengan
air. Seseorang juga akan tumbuh berkembang jika dia diberi makan. Sebab dia
mendapat “riba” maka dia akan tumbuh
berkembang dan bertambah.
Demikianlah
makna riba secara bahasa. Terminologi riba digunakan untuk segala sesuatu yang
tumbuh berkembang. Misalnya anak dan tanaman.
Kata
“rabaw “ berarti ketinggian.
Sedangkan “ribawah” berarti tempat
yang tinggi.
Secara
bahasa “riba “ juga berarti tambahan
harta atau kelebihan. Kata “riba”
menggunakan mim badal dan mad.
Dalam
Al-Qur’an kata riba berarti bertambah, berkembang, dan tinggi. Seperti
dikatakan dalam surah fushshilat,
“ Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah)
bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di
atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya,
pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Berdasarkan
beberapa referensi diketahui bahwa terminologi riba yang disampaikan oleh para
ahli fiqih termasuk para pendiri mashab diantaranya dalam
terminologi mazhab
hanafi adalah penyerahan barang tertentu tanpa ada barter yang sepadan.
Terminologi ini kemudian di kritisi oleh Ibnu Abidin bahwa riba bisa terjadi
meskipun tanpa syarat. Terminologi yang benar menurut beliau adalah kelebihan
pada barang barter yang dipertukarkan dengan ukuran syara dari salah satu dari
kedua belah pihak yang bertransaksi , tanpa ada barter yang sepadan dari pihak
kedua.
Sedangkan menurut mazhab syafi’i
adalah transaksi pertukaran suatu barang tertentu yang di ukur dengan takaran
syara dengan barang lain yang belum ada ketika terjadi akad. Atau pertukaran
suatu barang yang penyerahannya di tangguhkan baik oleh kedua belah pihak
ataupun salah satunya. Maksud
“barang yang belum ada” adalah barang barter yang belum diketahui kadarnya
secara pasti ketika terjadi akad. Karena kesamaan kadar barang yang akan
ditukarkan tersebut diragukan maka disebut riba. ketidakpastian kadar barang
barter ini termasuk kategori tambahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tambahan
telah dibahas sebelumnya.
Definisi terbaik dari
mazhab hanbali adalah definisi yang diungkapkan oleh Mansur Bin Yunus. Beliau
mengatakan bahwa riba adalah tambahan , tenggang waktu, dan persyaratan
tertentu semua diharamkan oleh syara. Dan
dari mazhab Hambali melalui Ali Bin Ahmad al-Adawi
as-shuaidi berkata “ wujud riba adalah kelebihan pada takaran atau timbangan ,
baik dengan penundaan penyerahan barang barter tersebut yang waktunya diketahui
secara pasti ataupun yang masih diragukan.
Jenis-Jenis Riba
Sebab Hukum (‘Illat)
Riba
Yang dimaksud dengan sebab hukum
(‘Illat) riba adalah suatu sifat yang jika ditemukan dalam harta, harta itu
akan menjadi harta riba dan apabila ditemukan dalam transaksi, transaksi menjadi
transaksi ribawi. (3)
Beberapa
ahli fiqih berbeda pendapat
mengenai sifat yang menularkan hukum dari jenis-jenis harta yang terdapat dalam
nash diatas kepada jenis harta yang lain karena sifat tersebut tidak termaktub
dalam nash.
Jenis Barang Ribawi
(4)
Para
ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi
:
1. Emas
dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya,
2. Bahan
makanan pokok, seperti beras, gandum dan jagung, serta bahan makanan tambahan,
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam
kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar
barang- barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Jual beli antara
barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang
tersebutpun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan
rupiah hendaklah Rp. 5.000,00 dengan Rp.
5.000,00 dan diserahkan ketika tukar- menukar.
2. Jual
beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad
jual beli. Misalnya, Rp. 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual
beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam
jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak
atau kertas dengan pakaian).
4.
Jual beli antara
barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaandan diserahkan
pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
Harta-harta yang
berpotensi riba
Para
ulama fikih sepakat berdasarkan nash yang shahih bahwa riba terjadi pada enam
jenis harta berikut, yaitu emas, perak, gandum (qamh), jelai (syair), kurma dan
garam.
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Umar bin Khaththab, beliau berkata, Rasulullah
bersabda:
“Emas
dengan emas terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, gandum dengan
gandum terdapat riba kecuali ambillah yang ini dengan yang ini, syair dengan
syair terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, begitu juga kurma
dengan kurma terdapat riba kecuali yang ini dengan yang ini”. (5)
Sebagian
ulama membagi riba atas tiga macam saja yaitu, riba fadli, riba yad, riba
nasa’. Riba qardi termasuk dalam riba nasa’. Barang-barang yang berlaku riba
padanya adalah emas, perak dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna
untuk mengenyangkan misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama
jenisnya seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum, diperlukan tiga syarat
(1) tunai (2) serah terima (3) sama
timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ilat ribanya satu seperti emas
dengan perak, boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang
terima.
Kalau jenis dan ilat ribanya
berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti
barang-barang yang lain,
tidak
diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu . (6)
Mazhab
Syafi’i membedakan antara riba nasiah dengan
riba yad. Dengan demikian, menurut mereka
riba ada tiga macam. Jika penundaan waktu pembayaran itu tercatat ketika akad
maka akan disebut riba
nasiah. Jika penundaan
waktu pembayaran itu tidak tercatat ketika akad maka disebut riba yad. Lebih jelasnya riba nasiah adalah penundaan pembayaran dari
kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya dengan menyebutkan jatuh tempo
ketika akad , walaupun jangka waktunya sangat pendek.
Mazhab
Hanafi misalnya , mereka
mensyaratkan dengan menggunakan alat takar tertentu. Jika tidak menggunakan
alat takar tertentu. Jika menggunakan alat tersebut maka tidak termasuk riba.
Oleh karena itu , mereka membolehkan menukarkan satu genggam beras dengan dua
genggam beras meskipun ada kelebihan. Tentunya pendapat ini berbeda dengan definisi
yang telah di sebutkan sebelumnya bahwa semua tambahan pada salah satu barang
yang sejenis adalah termasuk riba.
Sedangkan
definisi riba nasiah yang telah
disebutkan diatas merupakan terminologi yang tidak mewakili semua pendapat
empat mazhab. Meskipun kontennya saling berkaitan bisa dikatakan bahwa definisi
tersebut bertentangan dengan pendapat-pendapat para tokoh empat mazhab.
Perbedaan ini terjadi disebabkan masing-masing tokoh memiliki alasan hukum riba
nasiah tersendiri.
Menurut
Hanafi misalnya riba nasiah bisa terjadi pada pertukaran dua
barang yang sejenis, meskipun tidak ada tambahan. Riba ini juga bisa terjadi
pada semua barang yang kadarnya tidak bisa diukur dengan alat ukur yang akurat
misalnya : seperti yang kita telah kupas dalam pembahasan fadhl. Definisi terminologi riba nasiah yang paling tepat menurut mereka adalah penundaan waktu
penyerahan kedua barang barter yang sejenis baik dengan ada kelebihan ataupun
tidak. Sedangkan menurut mazhab
Syafi’i, riba nasiah ada syaratnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang termasuk riba jenis ini adalah
penundaan waktu penyerahan pada salah satu barang
barter dengan jatuh tempo yang tercatat ketika akad. Definisi ini tidak ada
kaitannya dengan model alasan hukum, namun terkait dengan bentuk akadnya.
Selain klasifikasi riba menurut
para ulama fiqih tersebut, dalam
perkembangannya terdapat terminologi riba yang lain yakni riba hutang. Seperti
yang dikemukakan oleh Khatib Syarbini dalam
Azhim , 2011, bahwa ada jenis riba lain yaitu riba qiradh (utang). Riba utang ini adalah
tambahan bersyarat yang harus dibayar oleh pengutang kepada pemberi pinjaman
sebagi imbalan atau kompensasi dari penundaaan waktu pelunasan pembayaran. Adanya tambahan biaya
yang dibebankan kepada pihak yang
memperoleh hutang ketika terjadi transaksi baik berupa
transaksi pinjam-meminjam, jual beli , sewa menyewa atau sejenisnya adalah
termasuk dalam kategori riba. Inilah praktik riba jahiliyah yang
diharamkan oleh Al-Quran dan dipertegas
oleh As-Sunnah. Model riba utang ini misalnya adalah seorang meminjamkan
sejumlah uang kepada orang lain. Kemudian pada suatu saat pemberi utang menagih
utang tersebut. Akan tetapi , pihak pengutanng belum bisa melunasinya, padahal
telah jatuh tempo pembayaran. Selanjutnya , pemberi pinjaman memberikan
tenggang waktu lagi dengan kompensasi biaya tambahan yang akan digabungkan
dengan utang pokok (dalam praktek
perbankan sering disebut plafondering).
Meskipun beberapa ahli fiqih tidak
menyebutkan jenis riba ini sebagai bagian dari jenis riba. akan tetapi mereka
sepakat atas keharamannya. Sebab praktik itu seperti menjual utang dengan utang
atau menjual keterlambatan membayar utang dengan keterlambatan membayar utang
juga. Syafii, 2011, membedakan karakteristik bunga yang
diakui sebagai keuntungan dalam praktek riba hutang dan bagi hasil pada
transaksi musyarakah atau mudharabah adalah sebagai berikut :
Tabel 1.
Perbedaan Bunga (Interest) dan Bagi
Hasil
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
dengan asumsi harus selalu untung
|
Penentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan
rugi
|
Besarnya presentase berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi
|
Bagi
hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
meskipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
|
Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai
dengan peningkatan jumlah pendapatan
|
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
|
Tidak
ada yang meragukan kebsahan bagi
hasil
|
Riba Jahiliyah
Selanjutnya disampaikan juga adanya terminologi riba
jahiliyah yang terjadi pada riba hutang dan riba
pinjaman. Beberapa hal yang disinyalir sebagai ciri-ciri
yang
menunjukkan adanya praktik riba jahiliah, yaitu :
1. Adanya
persyaratan biaya tambahan dalam akad pinjam-meminjam.
2. Contohnya,
meminjamkan 80 asalkan dikembalikan 100.
3. Adanya biaya tambahan
dari transaksi jual beli yang di bebankan kepada pembeli karena penundaan waktu
pelunasan.
4. Jika
telah tiba jatuh tempo, sementara pihak pengutang belum mampu melunasi utangnya
maka pemberi utang menambah bunga tambahan karena dia diberi tenggang waktu
lagi.
5. Adanya
biaya tambahan dari transaksi pinjam-meminjam yang dibebankan kepada peminjam.
6. Adanya
biaya tambahan yang dibebankan kepada pengutang karena dia diberi tenggang
waktu pelunasan lagi.
7. Adanya
bunga tambahan yang dibebankan kepada peminjam.
Banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keharaman riba jahiliyah, diantaranya firman
Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi,
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Memakan
riba dengan berlipat ganda ini maksudnya adalah model riba jahiliyah yang telah
dijelaskan sebelumnya. Ayat ini telah menjelaskan bahwa “dengan berlipat ganda” ini
merupakan salah satu bentuk dari riba utang.
Larangan dan Sanksi
Riba
Secara umum larangan terhadap praktek riba telah ditegaskan dalam
al-Quran , Sunnah
dan ijma. Diantaranya
telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi,
“ Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Selanjutnya
disebutkan juga pada surat Al-Baqarah ayat 278 yang menyatakan perintah bahwa pengenaan riba yang
telah dilakukan pada masa sebelumnya wajib ditinggalkan, meskipun belum sampai
berakhirnya masa transaksi yang mengandung unsur ribawi.
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.”
Sedangkan contoh adanya larangan praktek riba dalam As-Sunnah adalah sabda
Nabi Muhammad saw pernyataan
Rasul pada sahabat yang dijelaskan pada hadits riwayat Bukhari sebagai berikut
:
“jauhilah
tujuh macam dosa besar!”.
“apa saja wahai Rasulullah? Tanya para sahabat
“menyekutukan
Allah, sihir
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba
, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memfitnah seorang
wanita mukmin yang sedang lalai dari tuduhan keji”.
Disamping
adanya larangan terhadap riba, diketahui juga adanya sangsi terhadap para
pelaku riba , diantaranya hadits yang di
riwayatkan oleh Jabir Abdullah, dia berkata ” Rasulullah saw.
Melaknat pemakan riba, orang yang mewakili transaksi riba, penulis riba, dan
kedua saksi riba. mereka semua adalah sama”. ( HR Muslim )
Dalam
pandangan hadits tersebut antar pemakan riba dan orang
yang mewakili transaksi riba adalah sama sama mendukung terjadinya riba dimana keduanya dilaknat oleh
Rasulullah saw. Beliau juga melaknat pencatat akad riba serta orang yang
menjadi saksi dari transaksi tersebut. Derajat
kesalahan pencatat akad riba dan saksinya dipandang sepadan dengan pelaku dan pendukung riba.
Dengan
demikian riba merupakan salah satu bentuk
kedzaliman, dimana
orang yang mendzalimi dan yang terdzalimi, saksi kedzaliman dan pendukunya
hukumnya sama saja. Orang yang terdzalimi ini di hukum sama. Sebab dia juga memberikan kesempatan kepada
orang yang dzalim untuk melakukan ke dzaliman.sedangkan pencatat akad dan saksi
merupakan pihak yang membiarkan transaksi dzalim ini terjadi, bahkan mungkin
justu mendukungnya.
Dampak Riba
Selain berdampak secara langsung terhadap pelaku riba,
dalam kenyataannya praktek riba memiliki pengaruh yang luas terhadap berbagai
sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan pengaruh negatif
riba tidak hanya berlaku pada suatu negara, namun juga kepada negara lain.
Ambruknya perekonomian sebuah negara akibat riba ditunjukkan dengan bangkrutnya
beberapa negara pada saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, 2002 dan
2008. Negara Indonesia, Thailand, Korea Selatan, Yunani dan sebagian besar
negara Eropa merupakan contoh konkrit kebangkrutan ekonomi sebuah negara akibat
praktek riba. Tidak terlepas negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Rusia
pun mengalami hal yang sama yakni resesi ekonomi berkepanjangan disebabkan
tidak mampu membayar bunga pinjaman surat utang negara yang telah jatuh tempo. Yunani memang dikenal
sebagai negara
dengan kinerja hutang paling buruk. Potensi gagal bayarnya begitu tinggi sampai
otoritas Eropa harus melakukan bailout masif dalam satu tahun terakhir. Namun
patut diketahui bahwa Yunani bukanlah negara dengan jumlah hutang terhadap GDP
paling besar (peringkat 16). Sayangnya, produk domestik bruto negara ini hanya
sebesar $318,1 miliar (data 2010) dan terus menyusut. Di saat yang sama, jumlah
hutangnya makin tinggi seiring waktu berjalan. Sementara negara penghutang
lain, yang jumlah pinjaman publiknya lebih besar, masih bisa mengimbangi neraca
dengan penggenjotan GDP.
Peringkat Indonesia sebagai negara
pengutang terbesar dunia diantara negara-negara berkembang bertengger di urutan
6 pada 2012, naik dari sebelumnya pada urutan ke-7 dunia tahun sebelumnya. Bank Dunia melalui Debtor Reporting
System (DRS) melaporkan peringkat utang luar negeri Indonesia mengalami
peningkatan dari sebelumnya US$213,5 miliar menjadi US$254,9 miliar pada 2012. Berdasarkan data yang dipublikasikan
Bank Dunia, pada Februari 2014, peringkat negara pengutang terbesar masih
diraih oleh Tiongkok yang memiliki utang sebesar US$775 miliar. Posisi Indonesia hanya terpaut satu
peringkat dari Turki yang berada di urutan ke-5. Turki memiliki utang luar
negeri sebesar US$337,5 miliar pada 2012.(7)
Analisis
yang dilakukan oleh Bank Dunia berdasarkan laporan arus aktual transaksi yang
berhubungan dengan utang sesuai dengan laporan dari 124 negara berkembang di
dunia. Hutang bersih yang masuk ke
negara-negara berkembang pada periode 2012 secara keseluruhan mencapai US$412
miliar. Jumlah tersebut mengalami penurunan 9% dibandingkan periode 2011. Kendati demikian, secara agregat
jumlah utang bersih negara-negara berkembang didominasi oleh penurunan tajam
utang Tiongkok yang mencapai 30% dibandingkan tahun lalu. Saat Tiongkok dikecualikan, utang
bersih yang mengalir ke negara-negara berkembang mengalami peningkatan 20% pada
2012 dengan utang jangka panjang yang naik 14% dan utang jangka pendek melesat
14% dari sebelumnya.
|
Berdasarkan
laporan dari World
Bank Debtor Reporting System, diketahui daftar negara penghutang terbesar di
dunia yang dirilis pada bulan Februari 2014 dalam www.bisnis.makassar.com adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Tabel Peringkat Hutang Luar Negeri
|
|
||||||||
No
|
Negara
|
Hutang Luar Negeri
|
||||||||
Jumlah (US$ miliar)
|
%
total
|
|||||||||
1
|
Tiongkok
|
775.0
|
15.6
|
|||||||
2
|
Brasil
|
440.5
|
9.1
|
|||||||
3
|
India
|
379.1
|
7.8
|
|||||||
4
|
Meksiko
|
354.9
|
7.3
|
|||||||
5
|
Turki
|
337.5
|
7.0
|
|||||||
6
|
Indonesia
|
254.9
|
5.3
|
|||||||
7
|
Hungaria
|
203.8
|
4.2
|
|||||||
8
|
Afrika
Selatan
|
137.5
|
2.8
|
|||||||
9
|
Kazhakhstan
|
137.0
|
2.8
|
|||||||
10
|
Ukraina
|
135.1
|
2.8
|
|||||||
Total
10 negara peminjam terbesar
|
3134.2
|
64.9
|
||||||||
Negara
berkembang lainnya
|
1695.4
|
35.1
|
||||||||
Semua
negara berkembang
|
4829.6
|
100.0
|
||||||||
|
|
|||||||||
Sumber : World Bank Debtor Reporting System – Februari
2014
Hutang Luar Negeri merupakan konsekuensi biaya yang harus dibayar
sebagai akibat pengelolaan perekonomian yang tidak seimbang, ditambah lagi
proses pemulihan ekonomi yang tidak komprehensif dan konsisten. Pada masa
krisis ekonomi, utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri
pemerintah telah meningkat drastis. Sehingga, pemerintah Indonesia harus
menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama
yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan
dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal
ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa
mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak
di Indonesia.
Perkembangan jumlah utang
luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik
dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek,
utang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti
bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Sehingga dengan terlaksananya
pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat
bertumbuh hingga sebelum terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan dalam jangka
panjang akumulasi dari utang luar negeri pemerintah ini tetap saja harus
dibayar melalui APBN, artinya menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan
demikian, maka dalam jangka panjang pembayaran utang luar negeri oleh
pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang.
Defisit current account ditutup
dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat
jangka pendek (portfolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga,
apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara,
akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional
terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban utang luar negeri
Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung
berdasarkan nilai mata uang rupiah. Semakin bertambahnya utang
luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan posisi APBN RI, karena
utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya,
semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan
bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru, karena
pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama dari sektor
pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan anggaran belanjanya. (8)
Abdul Azhim,
2011, mengatakan bahwa secara khusus dampak dari praktek riba terhadap perekonomian diantaranya meliputi :
1.
Meningkatnya harga barang dan jasa
Peningkatan
harga barang dan jasa (komoditas) dapat terjadi karena para produsen dan
distributor menambahkan komponen biaya bunga dalam harga.
2.
Terjadinya inflasi
Inflasi adalah
bertambahnya nilai mata uang tetapi tidak diikuti oleh peningkatan harga barang
dan jasa. Praktik riba merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
inflasi ini.
3.
Terjadinya krisis
ekonomi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi
4.
Kolapsnya
perusahaan-perusahaan kecil yang didanai dari uang riba.
Sebagian besar penyebab
kebangkrutan (kolaps) suatu perusahaan adalah ketidakmampuan untuk melunasi
utang yang bunganya yang semakin melejit.
5.
Pemupukan kekayaan pada
segelintir orang. Para pemodal besar dalam
memberikan dana riba dapat memonopoli kehidupan orang lain, terutama mereka
yang lemah dan membutuhkan dana namun
kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut sangat minim.
6.
Munculnya fenomena
pinjaman ribawi global
Hal ini akan memicu
terjadinya penghamburan harta untuk hal-hal yang mewah namun tidak esensial.
Contohnya, pemerintah Afrika Tengah memberikan pinjaman dengan bunga melebihi
50% jumlah budget awal hanya demi mempersiapkan pesta penobatan aparatur
negara.
7.
Monopoli negara-negara
kaya terhadap negara-negara miskin.
Negara kaya menawarkan
pinjaman dana untuk mencukup kebutuhan negara
miskin dengan bunga yang dikehendaki. Inilah yang sering kali yang
membuat kekayaan negara miskin terkuras habis oleh negara kaya.
8.
Independensi
negara yang berutang kepada negara yang memberikan utang.
Besar kemungkinan ,
negara-negara pemberi utang tersebut akan melakukan intervensi urusan kebijakan
perekonian kepada negaa-negara yang berutang kepadanya, baik secara langsung
ataupun tidak. Bahkan mereka bisa saja memberikan
tekanan negatif kepada negara-negara yang berutang dengan cara mengeruk
kekayaannya dengan kompensasi pengurangan
atas bunga dari utangnya, baik dengan strategi yang berkaitan langsung dengan
perekonomian atau tidak.
Demikian pula di bidang politik dan sosial, riba membawa dampak yang
besar atas berbagai kebijakan sebuah negara terhadap negara lain diantaranya,
1.
Adanya pengaruh
dari keinginan negara-negara pemberi pinjaman (kreditor) terhadap kebijakan
sistem politik internal (politik dalam negeri), misalnya intervensi IMF (International Monetery Fund) terhadap
penyusunan kabinet pada masa orde baru.
2.
Kebijakan sistem
politik eksternal (politik luar negeri) yang berkaitan dengan hubungan international dengan negara didunia akan
dipengaruhi juga oleh kebijakan negara pemberi utang. Bahkan hubungan terhadap
negara-negara rekanan mereka sekalipun harus disesuaikan dengan negara pemberi
utang. Contohnya seperti
yang telah kita ketahui bersama, beberapa negara Arab tunduk kepada kebijakan
Barat setelah berakhirnya Perang Teluk.
3.
Terjadinya kesenjangan
sosial yang tajam diantara anggota masyarakat.
4.
Terjadinya penyakit
jiwa , yaitu iri , dengki dan hasad yang terjalin antara pemberi utang yang
zalim dan peminjam utang yang terzalimi.
5.
Melonjaknya angka
pengangguran di tengah-tengah masyarakat serta penindasan hak asasi manusia
(HAM).
6.
Terjadinya aturan main
yang merugikan pihak pemimpin dana riba yang akan digunakan untuk pengembangan
bisnis.
7.
Terciptanya ambisi
penguat riba (lintah darah) untuk meraih keuntungan yang besar dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya manakala tidak menenemukan uang orang yang meminjamnya.
8.
Terjadinya fitnah agama
terhadap orang kafir.
9.
Hilangnya nilai moral
yang bersumber dari akal budi manusia yang notabene merupakan esensi dari
eksistensinya.
Kesimpulan
Praktek
riba yang terjadi sebelum masa kerasulan sampai dengan saat ini menunjukkan
bahwa fenomena riba telah menjadi bagian dari sebuah peradaban dan bahkan telah
merasuki sendi-sendi kehidupan. Berbagai macam dan bentuk riba telah dipraktekan
sampai pada suatu keadaan kita sangat membedakan antara yang riba dan yang
bukan riba. Dunia perekonomian, perindustrian, perdagangan, pertanian,
perbankan dan lainnya merupakan lahan yang potensial untuk tumbuhnya riba. Berbagai kerugian yang disebabkan oleh praktek
riba kadangkala tidak disadari oleh para pelaku riba baik dalam skala pribadi
maupun dalam hubungan sosial.
Alhamdulillah,
Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama telah memberikan tuntunan dan garis
besar untuk mengetahui ciri-ciri dari riba baik dalam bentuk harta maupun
transaksi-transaksi perdagangan dan keuangan. Sehingga kita dapat membedakannya
agar terhindar dari melakukan praktek riba untuk sekaligus menghancurkannya. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala hal yang kita lakukan sebagai implementasi
dari khalifatul ard’. Aamiin.
Daftar Pustaka
Al Qur’an
Al Hadits
Abu Zaid, Abdul Azhim Jalal, Fiqih riba, Senayan Publishing, Jakarta,
2011
Antonio,
Muhammad Syafii, M.Ec., Bank
Syariah dari Teori
ke Praktek, Gema Insani Press, 2001
Al Bugha,
Musthafa Dib, Buku Pintar
Transaksi Syariah, Penerbit Hikmah, Bandung, 2010
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2009
http://makassar.bisnis.com/read/20140321/32/176585/10-negara-dengan-peringkat-pengutang-terbesar-di-dunia-indonesia-urutan-berapa (diakses
3 Oktober 2014)
http://www.monexnews.com/world-economy/inilah-20-negara-dengan-rasio-hutang-terbesar-di-dunia.htm (diakses 3 Oktober 2014)
Majid, M. Khairin, Analisis
Pengaruh Utang Luar Negeri (ULN)
Dan Penanaman Modal Asing (Pma) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun
1986-2011, Jurnal Ilmiah Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, 2013
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap),
Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar