Jumat, 05 Desember 2014

RIBA DALAM PERSPEKTIF SYARIAH



Oleh :
Cahyo Kartiko dan Yudi Yudiana
(Magister Manajemen dan Bisnis – EK 18 - Institut Pertanian Bogor)

Pendahuluan
Dalam setiap segi kehidupan, Islam senantiasa mendorong kebebasan melakukan bisnis dan transaksi keuangan berdasarkan etika, norma dan aturan. Disamping adanya aturan-aturan utama, hukum Islam menetapkan serangkaian norma dan batasan lain dalam rangka menghindarkan adanya keuntungan yang tidak sewajarnya dan ketidakadilan.
Kesesuaian syariah merupakan hakikat dari sistem keuangan Islami, sehingga perhatian terhadap nilai-nilai kesyariahan seharusnya mendominasi hal-hal lain yang diperhatikan dalam lembaga keuangan syariah. Sistem yang dikembangkan dengan tingkat  pertumbuhan dapat dipertahankan dan memastikan keadilan bagi para investor, komunitas serta institusi bisnis melalui kesesuaian kegiatan operasional lembaga keuangan islami yang mendasarkan diri pada norma dan prinsip syariah.
Dalam fungsinya sebagai peraturan, hukum Islam tidak mengakui berbagai transaksi yang mengandung unsur-unsur melanggar aturan syar’i. Dan telah mengindentifikasi beberapa elemen yang harus dihindari dalam transaksi perniagaan atau bisnis. Dalam hal pengharaman atas riba, gharar dan perjudian adalah faktor yang stategis sehingga dapat mendefinisikan kontrak-kontrak (akad) yang tidak sah dan tidak berlaku serta menentukan kesemua batasan yang seharusnya tidak dilanggar.
Banyak pihak yang telah menyatakan pandangan berbeda mengenai dasar rasional atas tujuan pengharaman bunga oleh syariah. Secara keseluruhan keadilan sosial, ekonomi dan distribusi, keseimbangan antar generasi, instabilitas perekonomian dan kehancuran ekologis dianggap sebagai dasar pengharaman bunga. Mengingat semua teks dan prinsip yang relevan dalam hukum Islam, alasan satu-satunya yang meyakinkan adalah tentang keadilan distribusi karena pengaharaman riba dimaksudkan untuk mencegah akumulasi kekayaan pada segelintir orang, yaitu harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya (QS. 59:7). Oleh karena itu tujuan utama pelaranagan atas riba adalah untuk menghalagi sarana yang dapat menuntun ke akumulasi kekayaan pada segelintir pihak, baik bank maupun individu. (1)
Riba disukai manusia karena praktik ini bisa melipat gandakan harta tanpa harus bekerja keras. Sebagai misal, meminjamkan barang dan meminta bayaran dua , tiga atau empat lipat kepada orang yang meminjam. Dalam kondisi yang sangat terdesak atau tidak memiliki pilihan lain, orang yang meminjam dengan sangat terpaksa pasti menyetujui pembayaran lebih yang ditawarkan oleh pihak pemberi pinjaman.
Dapatkah Riba dihancurkan ?

   “Wahai orang-orang yang beriman , janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda , dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kamu beruntung“ (Ali Imron 3:130).

Jadi selama seseorang memeluk suatu agama apapun itu, pasti ada landasan teologis-religius untuk meninggalkan praktik Riba. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak memeluk agama – kaum atheis sekarang yang mulai meningkat, mereka tetap memiliki landasan normatif untuk meninggalkannya, yaitu hati nurani. Sebab orang yang berperasaan pasti tidak akan tega menyaksikan ketimpangan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh riba. Disuatu sisi ada pihak yang hanya duduk santai sambil menunggu pembayaran bunga riba, sementara disisi lain ada pihak yang harus bekerja keras dan membanting tulang demi melunasi hutang yang sejatinya tidak seberapa. Orang yang memiliki hati nurani pasti miris saat melihat derita orang-orang yang terjerat riba. (2)



Definisi Riba

Menurut Rasyid, 2010, Asal makna “Riba” menurut bahasa Arab adalah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini adalah menurut istilah syara adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui  sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.
Sedangkan Syafii, 2001, Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil . Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya : QS. An-Nisaa : 29


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam pengertian Al Bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al Arabi Al-Maliki dalm kitabnya, Ahkam Al Qur’an, menjelaskan,  Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Abdul Azhim, 2011, dalam bukunya Fiqih riba mengatakan bahwa sesuatu disebut riba jika ia bertambah. Demikian juga dengan luka, tanah, dan harta bisa dikatakan “riba” jika ia bertambah atau berkembang. Tunas daun juga dikatakan “riba” jika ia tumbuh berkembang.  Ia akan tumbuh berkembang jika disiram dengan air. Seseorang juga akan tumbuh berkembang jika dia diberi makan. Sebab dia mendapat “riba” maka dia akan tumbuh berkembang dan bertambah.
Demikianlah makna riba secara bahasa. Terminologi riba digunakan untuk segala sesuatu yang tumbuh berkembang. Misalnya anak dan tanaman.
Kata “rabaw “ berarti ketinggian. Sedangkan “ribawah” berarti tempat yang tinggi.
Secara bahasa “riba “ juga berarti tambahan harta atau kelebihan. Kata “riba” menggunakan mim badal dan mad.
Dalam Al-Qur’an kata riba berarti bertambah, berkembang, dan tinggi. Seperti dikatakan dalam surah fushshilat,
  
Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau Lihat bumi kering dan gersang, Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Berdasarkan beberapa referensi diketahui bahwa terminologi riba yang disampaikan oleh para ahli fiqih termasuk para pendiri mashab diantaranya dalam terminologi mazhab hanafi adalah penyerahan barang tertentu tanpa ada barter yang sepadan. Terminologi ini kemudian di kritisi oleh Ibnu Abidin bahwa riba bisa terjadi meskipun tanpa syarat. Terminologi yang benar menurut beliau adalah kelebihan pada barang barter yang dipertukarkan dengan ukuran syara dari salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi , tanpa ada barter yang sepadan dari pihak kedua.
Sedangkan menurut mazhab syafi’i adalah transaksi pertukaran suatu barang tertentu yang di ukur dengan takaran syara dengan barang lain yang belum ada ketika terjadi akad. Atau pertukaran suatu barang yang penyerahannya di tangguhkan baik oleh kedua belah pihak ataupun salah satunya. Maksud “barang yang belum ada” adalah barang barter yang belum diketahui kadarnya secara pasti ketika terjadi akad. Karena kesamaan kadar barang yang akan ditukarkan tersebut diragukan maka disebut riba. ketidakpastian kadar barang barter ini termasuk kategori tambahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tambahan telah dibahas sebelumnya.
Definisi terbaik dari mazhab hanbali adalah definisi yang diungkapkan oleh Mansur Bin Yunus. Beliau mengatakan bahwa riba adalah tambahan , tenggang waktu, dan persyaratan tertentu semua diharamkan oleh syara. Dan dari mazhab Hambali melalui Ali Bin Ahmad al-Adawi as-shuaidi berkata “ wujud riba adalah kelebihan pada takaran atau timbangan , baik dengan penundaan penyerahan barang barter tersebut yang waktunya diketahui secara pasti ataupun yang masih diragukan.

Jenis-Jenis Riba
Sebab Hukum (‘Illat) Riba
Yang dimaksud dengan sebab hukum (‘Illat) riba adalah suatu sifat yang jika ditemukan dalam harta, harta itu akan menjadi harta riba dan apabila ditemukan dalam transaksi, transaksi menjadi transaksi ribawi. (3) Beberapa ahli fiqih berbeda pendapat mengenai sifat yang menularkan hukum dari jenis-jenis harta yang terdapat dalam nash diatas kepada jenis harta yang lain karena sifat tersebut tidak termaktub dalam nash.
Jenis Barang Ribawi (4)
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1.      Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya,
2.      Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang- barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebutpun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,00 dengan Rp. 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar- menukar.
2.      Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp. 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
3.      Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang (emas, perak atau kertas dengan pakaian).
4.      Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaandan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

Harta-harta yang berpotensi riba
            Para ulama fikih sepakat berdasarkan nash yang shahih bahwa riba terjadi pada enam jenis harta berikut, yaitu emas, perak, gandum (qamh), jelai (syair), kurma dan garam.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Umar bin Khaththab, beliau berkata, Rasulullah bersabda:
“Emas dengan emas terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, gandum dengan gandum terdapat riba kecuali ambillah yang ini dengan yang ini, syair dengan syair terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, begitu juga kurma dengan kurma terdapat riba kecuali yang ini dengan yang ini”. (5)
Sebagian ulama membagi riba atas tiga macam saja yaitu, riba fadli, riba yad, riba nasa’. Riba qardi termasuk dalam riba nasa’. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna untuk mengenyangkan misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum, diperlukan tiga syarat (1) tunai (2) serah terima (3)  sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ilat ribanya satu seperti emas dengan perak, boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima.

Kalau jenis dan ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain, tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu . (6)
Mazhab Syafi’i membedakan antara riba nasiah dengan riba yad. Dengan demikian, menurut mereka riba ada tiga macam. Jika penundaan waktu pembayaran itu tercatat ketika akad maka akan disebut riba nasiah. Jika penundaan waktu pembayaran itu tidak tercatat ketika akad maka disebut riba yad. Lebih jelasnya riba nasiah adalah penundaan pembayaran dari kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya dengan menyebutkan jatuh tempo ketika akad , walaupun jangka waktunya sangat pendek.
Mazhab Hanafi misalnya , mereka mensyaratkan dengan menggunakan alat takar tertentu. Jika tidak menggunakan alat takar tertentu. Jika menggunakan alat tersebut maka tidak termasuk riba. Oleh karena itu , mereka membolehkan menukarkan satu genggam beras dengan dua genggam beras meskipun ada kelebihan. Tentunya pendapat ini berbeda dengan definisi yang telah di sebutkan sebelumnya bahwa semua tambahan pada salah satu barang yang sejenis adalah termasuk riba.
Sedangkan definisi riba nasiah yang telah disebutkan diatas merupakan terminologi yang tidak mewakili semua pendapat empat mazhab. Meskipun kontennya saling berkaitan bisa dikatakan bahwa definisi tersebut bertentangan dengan pendapat-pendapat para tokoh empat mazhab. Perbedaan ini terjadi disebabkan masing-masing tokoh memiliki alasan hukum riba nasiah tersendiri.
Menurut Hanafi  misalnya riba nasiah bisa terjadi pada pertukaran dua barang yang sejenis, meskipun tidak ada tambahan. Riba ini juga bisa terjadi pada semua barang yang kadarnya tidak bisa diukur dengan alat ukur yang akurat misalnya : seperti yang kita telah kupas dalam pembahasan fadhl. Definisi terminologi riba nasiah yang paling tepat menurut mereka adalah penundaan waktu penyerahan kedua barang barter yang sejenis baik dengan ada kelebihan ataupun tidak. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, riba nasiah ada syaratnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang termasuk riba jenis ini adalah penundaan waktu penyerahan  pada salah satu barang barter dengan jatuh tempo yang tercatat ketika akad. Definisi ini tidak ada kaitannya dengan model alasan hukum, namun terkait dengan bentuk akadnya.

Selain klasifikasi riba menurut para ulama fiqih tersebut, dalam perkembangannya terdapat terminologi riba yang lain yakni riba hutang. Seperti yang dikemukakan oleh Khatib Syarbini dalam Azhim , 2011, bahwa ada jenis riba lain yaitu riba qiradh (utang). Riba utang ini adalah tambahan bersyarat yang harus dibayar oleh pengutang kepada pemberi pinjaman sebagi imbalan atau kompensasi dari penundaaan waktu pelunasan pembayaran. Adanya tambahan biaya yang dibebankan kepada pihak yang memperoleh hutang ketika terjadi transaksi baik berupa transaksi pinjam-meminjam, jual beli , sewa menyewa atau sejenisnya adalah termasuk dalam kategori riba. Inilah praktik riba jahiliyah yang diharamkan  oleh Al-Quran dan dipertegas oleh As-Sunnah. Model riba utang ini misalnya adalah seorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain. Kemudian pada suatu saat pemberi utang menagih utang tersebut. Akan tetapi , pihak pengutanng belum bisa melunasinya, padahal telah jatuh tempo pembayaran. Selanjutnya , pemberi pinjaman memberikan tenggang waktu lagi dengan kompensasi biaya tambahan yang akan digabungkan dengan utang pokok (dalam praktek perbankan sering disebut plafondering).
Meskipun beberapa ahli fiqih tidak menyebutkan jenis riba ini sebagai bagian dari jenis riba. akan tetapi mereka sepakat atas keharamannya. Sebab praktik itu seperti menjual utang dengan utang atau menjual keterlambatan membayar utang dengan keterlambatan membayar utang juga. Syafii, 2011, membedakan karakteristik bunga yang diakui sebagai keuntungan dalam praktek riba hutang dan bagi hasil pada transaksi musyarakah atau mudharabah adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Perbedaan Bunga (Interest) dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan   berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,     kerugian akan ditanggung bersama oleh    kedua belah pihak
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai       dengan peningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
Tidak ada yang meragukan kebsahan bagi        hasil

Riba Jahiliyah 
Selanjutnya disampaikan juga adanya terminologi riba jahiliyah yang terjadi pada riba hutang dan riba pinjaman.  Beberapa hal yang disinyalir sebagai ciri-ciri yang menunjukkan adanya praktik riba jahiliah, yaitu :
1.      Adanya persyaratan biaya tambahan dalam akad pinjam-meminjam.
2.      Contohnya, meminjamkan 80 asalkan dikembalikan 100.
3.      Adanya biaya tambahan dari transaksi jual beli yang di bebankan kepada pembeli karena penundaan waktu pelunasan.
4.      Jika telah tiba jatuh tempo, sementara pihak pengutang belum mampu melunasi utangnya maka pemberi utang menambah bunga tambahan karena dia diberi tenggang waktu lagi.
5.      Adanya biaya tambahan dari transaksi pinjam-meminjam yang dibebankan kepada peminjam.
6.      Adanya biaya tambahan yang dibebankan kepada pengutang karena dia diberi tenggang waktu pelunasan lagi.
7.      Adanya bunga tambahan yang dibebankan kepada peminjam.

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keharaman riba jahiliyah, diantaranya firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi,
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Memakan riba dengan berlipat ganda ini maksudnya adalah model riba jahiliyah yang telah dijelaskan sebelumnya. Ayat ini telah menjelaskan bahwa “dengan berlipat ganda”  ini merupakan salah satu bentuk dari riba utang.



Larangan dan Sanksi Riba

Secara umum larangan terhadap praktek riba telah ditegaskan dalam al-Quran , Sunnah dan ijma. Diantaranya telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi,
   
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Selanjutnya disebutkan juga pada surat Al-Baqarah ayat 278 yang menyatakan perintah bahwa pengenaan riba yang telah dilakukan pada masa sebelumnya wajib ditinggalkan, meskipun belum sampai berakhirnya masa transaksi yang mengandung unsur ribawi. 

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Sedangkan contoh adanya larangan praktek riba dalam As-Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad saw pernyataan Rasul pada sahabat yang dijelaskan pada hadits riwayat Bukhari sebagai berikut :
“jauhilah tujuh macam dosa besar!”.
“apa saja wahai Rasulullah? Tanya para sahabat
“menyekutukan Allah, sihir membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba , memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan memfitnah seorang wanita mukmin yang sedang lalai dari tuduhan keji”.
Disamping adanya larangan terhadap riba, diketahui juga adanya sangsi terhadap para pelaku riba , diantaranya hadits yang di riwayatkan oleh Jabir Abdullah, dia berkata ” Rasulullah saw. Melaknat pemakan riba, orang yang  mewakili transaksi riba, penulis riba, dan kedua saksi riba. mereka semua adalah sama”. ( HR Muslim )
Dalam pandangan hadits tersebut antar pemakan riba dan orang yang mewakili transaksi riba adalah sama sama mendukung terjadinya riba dimana keduanya dilaknat oleh Rasulullah saw. Beliau juga melaknat pencatat akad riba serta orang yang menjadi saksi dari transaksi tersebut. Derajat kesalahan pencatat akad riba dan saksinya dipandang sepadan dengan  pelaku dan pendukung riba.
Dengan demikian riba merupakan salah satu bentuk kedzaliman, dimana orang yang mendzalimi dan yang terdzalimi, saksi kedzaliman dan pendukunya hukumnya sama saja. Orang yang terdzalimi ini di hukum sama. Sebab dia juga memberikan kesempatan kepada orang yang dzalim untuk melakukan ke dzaliman.sedangkan pencatat akad dan saksi merupakan pihak yang membiarkan transaksi dzalim ini terjadi, bahkan mungkin justu mendukungnya.

Dampak Riba

Selain berdampak secara langsung terhadap pelaku riba, dalam kenyataannya praktek riba memiliki pengaruh yang luas terhadap berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan pengaruh negatif riba tidak hanya berlaku pada suatu negara, namun juga kepada negara lain. Ambruknya perekonomian sebuah negara akibat riba ditunjukkan dengan bangkrutnya beberapa negara pada saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998, 2002 dan 2008. Negara Indonesia, Thailand, Korea Selatan, Yunani dan sebagian besar negara Eropa merupakan contoh konkrit kebangkrutan ekonomi sebuah negara akibat praktek riba. Tidak terlepas negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Rusia pun mengalami hal yang sama yakni resesi ekonomi berkepanjangan disebabkan tidak mampu membayar bunga pinjaman surat utang negara yang telah jatuh tempo.   Yunani memang dikenal sebagai negara dengan kinerja hutang paling buruk. Potensi gagal bayarnya begitu tinggi sampai otoritas Eropa harus melakukan bailout masif dalam satu tahun terakhir. Namun patut diketahui bahwa Yunani bukanlah negara dengan jumlah hutang terhadap GDP paling besar (peringkat 16). Sayangnya, produk domestik bruto negara ini hanya sebesar $318,1 miliar (data 2010) dan terus menyusut. Di saat yang sama, jumlah hutangnya makin tinggi seiring waktu berjalan. Sementara negara penghutang lain, yang jumlah pinjaman publiknya lebih besar, masih bisa mengimbangi neraca dengan penggenjotan GDP.
Peringkat Indonesia sebagai negara pengutang terbesar dunia diantara negara-negara berkembang bertengger di urutan 6 pada 2012, naik dari sebelumnya pada urutan ke-7 dunia tahun sebelumnya. Bank Dunia melalui Debtor Reporting System (DRS) melaporkan peringkat utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya US$213,5 miliar menjadi US$254,9 miliar pada 2012. Berdasarkan data yang dipublikasikan Bank Dunia, pada Februari 2014, peringkat negara pengutang terbesar masih diraih oleh Tiongkok yang memiliki utang sebesar US$775 miliar. Posisi Indonesia hanya terpaut satu peringkat dari Turki yang berada di urutan ke-5. Turki memiliki utang luar negeri sebesar US$337,5 miliar pada 2012.(7)
Analisis yang dilakukan oleh Bank Dunia berdasarkan laporan arus aktual transaksi yang berhubungan dengan utang sesuai dengan laporan dari 124 negara berkembang di dunia. Hutang bersih yang masuk ke negara-negara berkembang pada periode 2012 secara keseluruhan mencapai US$412 miliar. Jumlah tersebut mengalami penurunan 9% dibandingkan periode 2011. Kendati demikian, secara agregat jumlah utang bersih negara-negara berkembang didominasi oleh penurunan tajam utang Tiongkok yang mencapai 30% dibandingkan tahun lalu. Saat Tiongkok dikecualikan, utang bersih yang mengalir ke negara-negara berkembang mengalami peningkatan 20% pada 2012 dengan utang jangka panjang yang naik 14% dan utang jangka pendek melesat 14% dari sebelumnya.


Berdasarkan laporan dari World Bank Debtor Reporting System, diketahui daftar negara penghutang terbesar di dunia yang dirilis pada bulan Februari 2014 dalam www.bisnis.makassar.com adalah sebagai berikut :                                                             Tabel 2. Tabel Peringkat Hutang Luar Negeri

No
Negara
Hutang Luar Negeri

Jumlah                 (US$ miliar)
% total

1
Tiongkok
775.0
15.6

2
Brasil
440.5
9.1

3
India
379.1
7.8

4
Meksiko
354.9
7.3

5
Turki
337.5
7.0

6
Indonesia
254.9
5.3

7
Hungaria
203.8
4.2

8
Afrika Selatan
137.5
2.8

9
Kazhakhstan
137.0
2.8

10
Ukraina
135.1
2.8


Total 10 negara peminjam terbesar
3134.2
64.9


Negara berkembang lainnya
1695.4
35.1


Semua negara berkembang
4829.6
100.0
















Sumber : World Bank Debtor Reporting System – Februari 2014
Hutang Luar Negeri merupakan konsekuensi biaya yang harus dibayar sebagai akibat pengelolaan perekonomian yang tidak seimbang, ditambah lagi proses pemulihan ekonomi yang tidak komprehensif dan konsisten. Pada masa krisis ekonomi, utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah telah meningkat drastis. Sehingga, pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak di Indonesia.
Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat bertumbuh hingga sebelum terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan dalam jangka panjang akumulasi dari utang luar negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang.
Defisit current account ditutup dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portfolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan nilai mata uang rupiah. Semakin bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama dari sektor pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan anggaran belanjanya. (8)
Abdul Azhim, 2011, mengatakan bahwa secara khusus dampak dari praktek riba terhadap perekonomian diantaranya meliputi :
1.         Meningkatnya harga barang dan jasa
Peningkatan harga barang dan jasa (komoditas) dapat terjadi karena para produsen dan distributor menambahkan komponen biaya bunga dalam harga.
2.         Terjadinya inflasi
Inflasi adalah bertambahnya nilai mata uang tetapi tidak diikuti oleh peningkatan harga barang dan jasa. Praktik riba merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi ini.
3.         Terjadinya krisis ekonomi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi

4.         Kolapsnya perusahaan-perusahaan kecil yang didanai dari uang riba.
Sebagian besar penyebab kebangkrutan (kolaps) suatu perusahaan adalah ketidakmampuan untuk melunasi utang yang bunganya yang semakin melejit.
5.         Pemupukan kekayaan pada segelintir orang. Para pemodal besar dalam memberikan dana riba dapat memonopoli kehidupan orang lain, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan dana  namun kemampuan untuk mengembalikan utang tersebut sangat minim.
6.         Munculnya fenomena pinjaman ribawi global
Hal ini akan memicu terjadinya penghamburan harta untuk hal-hal yang mewah namun tidak esensial. Contohnya, pemerintah Afrika Tengah memberikan pinjaman dengan bunga melebihi 50% jumlah budget awal hanya demi mempersiapkan pesta penobatan aparatur negara.
7.         Monopoli negara-negara kaya terhadap negara-negara miskin.
Negara kaya menawarkan pinjaman dana untuk mencukup kebutuhan negara  miskin dengan bunga yang dikehendaki. Inilah yang sering kali yang membuat kekayaan negara miskin terkuras habis oleh negara kaya.
8.         Independensi negara yang berutang kepada negara yang memberikan utang.
Besar kemungkinan , negara-negara pemberi utang tersebut akan melakukan intervensi urusan kebijakan perekonian kepada negaa-negara yang berutang kepadanya, baik secara langsung ataupun tidak. Bahkan mereka bisa saja memberikan tekanan negatif kepada negara-negara yang berutang dengan cara mengeruk kekayaannya dengan kompensasi pengurangan atas bunga dari utangnya, baik dengan strategi yang berkaitan langsung dengan perekonomian atau tidak.

Demikian pula di bidang politik dan sosial, riba membawa dampak yang besar atas berbagai kebijakan sebuah negara terhadap negara lain diantaranya,
1.         Adanya pengaruh dari keinginan negara-negara pemberi pinjaman (kreditor) terhadap kebijakan sistem politik internal (politik dalam negeri), misalnya intervensi IMF (International Monetery Fund) terhadap penyusunan kabinet pada masa orde baru.   
2.         Kebijakan sistem politik eksternal (politik luar negeri) yang berkaitan dengan hubungan  international dengan negara didunia akan dipengaruhi juga oleh kebijakan negara pemberi utang. Bahkan hubungan terhadap negara-negara rekanan mereka sekalipun harus disesuaikan dengan negara pemberi utang. Contohnya seperti yang telah kita ketahui bersama, beberapa negara Arab tunduk kepada kebijakan Barat setelah berakhirnya Perang Teluk.
3.         Terjadinya kesenjangan sosial yang tajam diantara anggota masyarakat.
4.         Terjadinya penyakit jiwa , yaitu iri , dengki dan hasad yang terjalin antara pemberi utang yang zalim dan peminjam utang yang terzalimi.
5.         Melonjaknya angka pengangguran di tengah-tengah masyarakat serta penindasan hak asasi manusia (HAM).
6.         Terjadinya aturan main yang merugikan pihak pemimpin dana riba yang akan digunakan untuk pengembangan bisnis.
7.         Terciptanya ambisi penguat riba (lintah darah) untuk meraih keuntungan yang besar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya manakala tidak menenemukan uang orang yang meminjamnya.
8.         Terjadinya fitnah agama terhadap orang kafir.
9.         Hilangnya nilai moral yang bersumber dari akal budi manusia yang notabene merupakan esensi dari eksistensinya.

Kesimpulan

Praktek riba yang terjadi sebelum masa kerasulan sampai dengan saat ini menunjukkan bahwa fenomena riba telah menjadi bagian dari sebuah peradaban dan bahkan telah merasuki sendi-sendi kehidupan. Berbagai macam dan bentuk riba telah dipraktekan sampai pada suatu keadaan kita sangat membedakan antara yang riba dan yang bukan riba. Dunia perekonomian, perindustrian, perdagangan, pertanian, perbankan dan lainnya merupakan lahan yang potensial untuk tumbuhnya riba.  Berbagai kerugian yang disebabkan oleh praktek riba kadangkala tidak disadari oleh para pelaku riba baik dalam skala pribadi maupun dalam hubungan sosial.
Alhamdulillah, Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ para ulama telah memberikan tuntunan dan garis besar untuk mengetahui ciri-ciri dari riba baik dalam bentuk harta maupun transaksi-transaksi perdagangan dan keuangan. Sehingga kita dapat membedakannya agar terhindar dari melakukan praktek riba untuk sekaligus menghancurkannya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala hal yang kita lakukan sebagai implementasi dari khalifatul ard’. Aamiin.


Daftar Pustaka

Al Qur’an
Al Hadits
Abu Zaid, Abdul Azhim Jalal, Fiqih riba, Senayan Publishing, Jakarta, 2011
Antonio, Muhammad Syafii, M.Ec., Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, 2001
Al Bugha, Musthafa Dib, Buku Pintar Transaksi Syariah, Penerbit Hikmah, Bandung, 2010
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Majid, M. Khairin, Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (ULN) Dan Penanaman Modal Asing (Pma) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1986-2011, Jurnal Ilmiah Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, 2013

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Penerbit Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar