oleh: Hendri Wijaya, M. Maulana Hamzah dan Nurul Shiyam Aprila
Pendahuluan
Berbicara
mengenai kenaikan harga, ada yang menarik jika kita melihat sejarah pada masa
kepemimpinan khalifah kedua, Umar bin Khattab. Ketika Allah menguji kaum
muslimin dengan kekeringan, hujan tidak turun selama dua tahun akibatnya gandum
menjadi langka dan akibatnya naiklah harga gandum dan menyulut naiknya harga
komoditas lainnya di Madinah. Ketika itu, Umar bin Khattab mengatasi persoalan
ini dengan cara mengimpor gandum secara besar-besaran dari Mesir. Kejadian
berikutnya adalah ketika para kafilah dagang dari Madinah mendapatkan
keuntungan besar sepulang perjalanan bisnis dari negeri Syam. Karena masuknya
uang secara tiba-tiba ke kota Madinah, maka terjadilah kenaikan supply uang
secara mendadak dan memicu terjadinya impulse buying. Hal ini
mengakibatkan peningkatan demand yang sangat tinggi untuk makanan pokok
(gandum dan kurma).
Inflasi
yang didorong oleh masuknya uang secara mendadak dalam jumlah besar ini
mengganggu stabilitas ekonomi Madinah pada saat itu, maka Umar bin Khattab
mengambil kebijakan melakukan suspend (penundaan) untuk transaksi
makanan pokok tersebut (gandum dan kurma) dan inflasi di Madinah saat itu dapat
dikendalikan. Dari kisah ini apabila kita kaitkan dengan salah satu pilar
ekonomi islam (sektor riil) membuktikan bahwa keseimbangan antara sektor riil
dan sektor moneter adalah salah satu syarat untuk mencapai stabilitas ekonomi.
Krisis atau inflasi yang kala itu terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin
Khattab adalah krisis yang disebabkan oleh faktor alamiah, berbeda dengan
krisis yang terjadi saat ini dimana krisis saat ini terjadi karena sistem.
Sistem ekonomi saat ini mengandung unsur riba dan spekulatif dimana sektor
moneter berjalan sendiri jauh meninggalkan sektor riil sehingga sektor moneter
rentan akan krisis karena tidak ditopang oleh penguatan sektor riil.
Ekonomi Islam pada hakikatnya berfokus pada pelarangan
riba, maysir dan ghoror, serta keseimbangan sector rill dan finansial ditambah
kewajiban zakat sebagai instrument yang menyeimbangkan distribusi kekayaan. Maka
solusi permaslaahan ekonomi kini adalah dengan terus mengurangi praktek “Maghrib”
dalam ekonomi, membuat sector financial makin match dengan sector rill,
dan promosi (dakwah) ZISWAF sebagai antitesa dari riba (QS: 2: 276) sebagai
sumber pendanaan proyek sektor rill yang aman tanpa meningkatkan bubble disector
keuangan yang berasal dari transaksi pasar modal sekunder yang masih didominasi
aksi spekulatif.
Dengan banyaknya dolar yang keluar akibat adanya
indikasi kenaikan suku bunga the fed, harusnya dapat menjadi momentum bagi
pemerintah untuk tidak lagi teralu fokus sama dolar, contohnya dalam transaksi
perdagangan internasional dalam konteks bilateral dan AFTA pemerintah dapat
menyepakati mata uang tertentu sebagai alat tukar. Mike Maloney penulis buku
best seller “Guide to Investing in Gold and Silver” mengatakan bahwa dolar
memiliki 60% dari nilai mata uang di dunia, dan lebih dari setengah jumlah uang
dolar berada diluar US dalam bentuk central bank reserve, dan paradigma yang
mengatakan bahwa negara maju adalah yang mempunyai cadangan reserve dolar
terbesar, membuat banyak Negara berkembang terjebak pada kompetisi ekonomi yang
tidak seimbang. Belum lagi ketatnya standar ekspor yang dibuat Negara maju,
sehingga ekspor Negara berkembang tak bisa berbuat banyak saat nilai currency
dolar meningkat.
Faktanya ada sekitar 40% nilai mata uang dunia yang
tidak terpengaruh oleh dolar, dan terus berkembang. Negara-negara seperti
China, Jepang, Rusia, mayoritas Negara di Amerika latin dan Negara di afrika
tengah dan selatan melakukan transaksi perdagangan tanpa menggunakan dolar.
Pemerintah harus menangkap peluang ini sebagai langkah untuk keluar dari
ketergantungan pada dolar, dengan mulai meningkatkan cadangan emas, dan
melakukan transkasi perdagangan bilateral tanpa dolar.
Islam menawarkan long term sustainable economy
bukan hanya short term economic euphoria melalui permainan data
statistik dan pembangunan opini publik. Mengedukasi masyarakat dengan
membandingkan nilai tukar rupiah dengan mata uang lainnya yang lebih anjlok
adalah metode lama yang tak lagi relevan, tapi membicarakan solusi yang bisa
dilakukan bersama akan mengurangi resistensi public terhadap perubahan. Ekonomi
pada hakikatnya adalah ilmu prediksi yang berasal dari analisa kuantitatif dan
kualitatif yang terbatas pada ruang dan waktu. Kepercayaan terhadap “kebiasaan
ekonomi” tertentu adalah awal dari kegagalan seperti kasus great depression
ditahun 1930-an. Dan layaknya agama, ekonomi memiliki mazhab dan aliran.
Tinggal kita yang memilih, apakah akan mengikuti praktek ekonomi yang diajarkan
Tuhan yang universal atau yang diajarkan oleh manusia dengan berbagai macam
kepentingannya.
Pertanyaan
1: Apa dampak kondisi
diatas kepada kinerja bank syariah khususnya kinerja keuangannya?
Kondisi ekonomi makro saat ini memang dapat dibilang
memprihatinkan, Indikator-indikator makro ekonomi Indonesia saat ini sedang
mengalami penurunan. Berdasarkan grafik di bawah, nilai rupiah telah
terdepresiasi sejak pertengahan tahun lalu walaupun pernah terapresiasi pada
bulan Oktober 2014. Setelah itu, rupiah terus melemah hingga pada hari Jumat
tanggal 20 Maret 2015, yang menyentuh angka Rp 13.075,00 per dolarnya.(Sumber: Bank Indonesia)
Pelemahan
rupiah terhadap dollar amerika masih berlangsung hingga saat ini yang menyentuh
di level sekitar 13.800/USD ditambah lagi dengan naiknya sejumlah komoditas
makanan seperti daging, sembako, dan bahan bakar minyak karena kelangkaan
pasokan menambah terdorongnya laju inflasi yang kian menggerus nilai rupiah
hingga melemahkan daya beli masyarakat. Berikut ini adalah grafik inflasi yang
terjadi dari tahun 2012 hingga 2014. Diakhir tahun 2014 Indonesia mencapai
tingkat inflasi diangka 8,36. (Sumber: Bank Indonesia)
Tentunya hal ini memberikan pengaruh
yang signifikan pada perbankan di Indonesia umumnya dan perbankan syariah
khususnya. Pelemahan kurs rupiah akan sangat berpengaruh pada kelancaran usaha
nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika
usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan memukul usaha nasabah
dan dapat meningkatkan rasio pembiayaan bermasalah. Sedangkan pengaruh
perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan menyebabkan
menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup masyarakat juga
turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk membayar angsuran
kreditnya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga mengalami peningkatan
yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut tidak mengalami
peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar angsurannya menjadi
melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh penghasilannya sudah digunakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai akibat dari harga-harga yang
meningkat.
Dari
hasil observasi laporan keuangan bank-bank syariah besar di Indonesia seperti
BSM, BNIS, BRIS, dan Muamalat mengalami penurunan rasio profitabilitas. NPF
nett semua bank tersebut hampir menyentuh ambang batas 5%.
Hal
ini menunjukkan bahwa terjadi pelambatan pertumbuhan perbankan nasional yang
salah satunya diindikasikan dari naiknya secara agregat nilai NPF bank-bank
nasional. Melihat sektor utama pembiayaan perbankan nasional masih terkonsentrasi
pada 3 sektor yaitu rumah tangga, industri pengolahan, dan perdagangan maka
dampak dari turunnya daya beli masyarakat disini sangat terlihat dari naiknya
NPF perbankan nasional yang sebagian besar penyaluran kreditnya terkonsentrasi
pada sektor konsumsi dan retail. Dampak lain tentunya juga memengaruhi ROA, ROE,
NIM yang juga ikut mengalami penurunan. Bank-bank syariah pun meendorong setiap
unit kerjanya untuk melakukan efisiensi secara ketat agar dapat menekan
biaya-biaya yang sekiranya tidak perlu atau bisa dihemat sebagai upaya menjaga
likuiditas dan membantu sedikit cadangan modalnya.
Pertanyaan
2: Apa strategi yang dapat dilakukan bank syariah untuk menurunkan potensi
pembiayaan bermasalah (NPF) akibat kondisi ekonomi tsb?
Bank
syariah dapat melakukan beberapa upaya untuk menurunkan rasio NPF diantaranya
adalah sebagai berikut:
Ø Melakukan penagihan kepada
nasabah-nasabah pembiayaan yang masih dapat ditagih yang masuk dalam
kolektabilitas 2, 3, dan 4 dalam rangka perbaikan status kolektabilitas.
Ø Melakukan diversifikasi penyaluran
pembiayaan yang lebih beragam ke sektor lainnya supaya konsentrasi pembiayaan
tidak terpaku hanya di 3 sektor yang karakteristik terjadinya kredit macet
relatif tinggi.
Ø Memperketat proses pemberian pembiayaan
dan screening resiko yang lebih komprehensif agar kemungkinan fraud dan kredit
macet dapat dideteksi sejak dini.
Ø Melakukan monitoring dan pendampingan
usaha kepada nasabah-nasabah pembiayaan khususnya nasabah pembiayaan dengan
skim bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).
Ø Meningkatkan prinsip kehati-hatian (prudential
principal) dalam menyalurkan dananya.
Ø Melakukan penagihan Intensif yaitu
penyelamatan pembiayaan yang dilakukan melalui penagihan secara intensif kepada
nasabah agar dapat memenuhi semua kewajibannya. Persyaratan minimal yang harus
dipenuhi untuk berhasilnya pelaksanaan penagihan adalah bahwa nasabah masih
memiliki itikad baik, usahanya masih berjalan sehingga mampu memberikan
penghasilan.
Ø Melakukan Restrukturisasi.
Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka
membantu nasabah pembiayaan agar dapat menyelesaikan kewajibannya.
Restrukutrisasi yang terdiri dari resecheduling (penjadwalan kembali),
reconditioning (persyaratan kembali), dan restructuring (penataan kembali).
Ø Melakukan penjualan barang agunan untuk
menurunkan maksimum pembiayaan. Penjualan barang agunan adalah penjualan asset
nasabah pembiayaan dan atau agunan yang dilakukan secara sukarela (private
selling) dalam rangka penyelamatan pembiayaan. Kreteria nasabah pembiayaan
dengan kebijakan penjualan barang agunan adalah prospek usaha tidak baik atau
kemampuan membayar menurun dan kualitas pembiayaan dalam perhatian khusus,
kurang lancar, diragukan, dan macet.
Pertanyaan
3: Apa rekomendasi saudara kepada regulator agar kinerja bank syariah tetap
baik?
Adapun
saran yang mungkin dapat kami usulkan
kepada regulator adalah regulator harus mengatur Loan to Value atau Financing
to Value yang ideal bagi tiap-tiap sektor ekonomi sehingga pemberian
pembiayaan menjadi proporsional pada setiap sektornya yang dihadapkan dengan
kemungkinan terjadinya kredit macet di tiap sektor. Regulator juga harus
memiliki keberanian yang kuat untuk
mengurangi percetakan uang dan menurunkan suku bunga seminimal mungkin agar
tidak memicu kenaikan inflasi.
Dari aspek regulasi kebijakan yang
ada kurang mendukung terhadap penyaluran pembiayaan bagi hasil. Salah satu
contoh kebijakan yang paling banyak disoroti adalah masalah ketentuan
kolektibilitas bagi skim pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang
dirasa memberatkan bank. Dimana tingkat peringatan kolektibilitas untuk
pembiayaan bagi hasil dibuat lebih longgar dari pembiayaan murabahah yang
notabene disamakan menurut regulasi, dan hal itu memberatkan bagi nasabah
pembiayaan bagi hasil. Apabila hal ini memang merupakan keadaan yang dirasakan
oleh sebagian besar pelaku perbankan syariah, maka disarankan aturan-aturan
yang kurang mendukung perlu untuk dievaluasi kembali. Sementara itu,
ketentuan-ketentuan yang bersifat mendorong dan memberi insentif untuk penyaluran
pembiayaan bagi hasil perlu dipertimbangkan.
Menjadi
mediator antara BAZNAS dan Asbisindo terkait penyakuran dana wakaf ke sector
riil. Disatu sisi BAZNAS memiliki modal dana social dari masyarakat yang besar,
sedangkan bank memiliki kekuatan disisi analisa bisnis, prudential dan risk
management sehingga alokasi dana diharapkan dapat teroptimalkan dengan baik.
Harus diakui produk bank syariah kini belum
banyak yang mampu menyentuh masyarakat menengah kebawah. Hal inilah yang
membuat hampir 50% penduduk Indonesia masih belum bankbale dan disini peran
regulator untuk membuat kebijakan dalam bentuk regulasi dan contoh produk yang
merakyat. Yang dipromosikan melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa
campuran istilah inggris yang membingungkan. Disisi lain, sosialisasi tentang
perbedaan bank konvensional dan syariah harus terus digalakkan untuk
menghilangkan opini bahwa “bank syariah sama saja dengan konvensional”.
Selain
itu program GNNT (Gerakan nasional non tunai) hendaknya ditunda dulu, mengingat
praktek non tunai hanya didominasi oleh masyarakat jabodetabek dan Jawa. Padahal
mayoritas masyarakat Indonesia belum bankbale. Dan bank syariah belum
sepenuhnya recovery. Implementasi GNNT, dari sisi mashlahah memang akan
meningkatkan transaksi ekonomi namun perlu dipikirkan kembali apakah ini akan
semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin. Memang gerakan
ini akan membuat percetakan uang kian menurun, tapi hal yang harus diantisipasi
adalah uang kedepannya hanyalah “computer typing” yang harus dianalisa
detail resikonya. Apalagi sistem tersebut disinyalir lebih cepat mem”freeze”
aktifitas ekonomi bila terjadi failure system.
Dan
sudah menjadi rahasia umum kalau the fed mencetak dolar out of nothing,
terlepas dari berbagai rumus matematis yang membenarkan argument mereka. Namun
faktanya kini uang sudah menjadi tujuan, sehingga ada distorsi pemikiran
“mencari kerja” atau “mencari uang”. Bekerja bukan lagi menjadi bagian dari
kehidupan, ia hanya sarana semu untuk mengumpulkan uang. Perubahan dari printed
money menjadi typed money, harus benar-benar melihat dampak
psikologi terhadap masyarakat, karena kelak ujung-ujungnya adalah prilaku
konsumenlah yang akan berpengaruh pada baik tidaknya ekonomi suatu bangsa. Kembali
lagi ke qaidah ushuliyah “darul mafashid muqoddamun ‘ala jalbil masholih” (menghindari
kerusakan lebih utama ketimbang menebarkan manfaat).
Satu
lagi yang rekomendasi yang kami tawarkan. Kebijakan regulator baik dalam hal
ini bank sentral ataupun kementrian keuangan hendaklah melihat asumsi
pertumbuhan kesejahteraan social dan pemerataan ekonomi sebagai indicator
kebijakan. Bukan hanya menghitung total GDP, asset perbankan atau market share
sebagai tujuan dari penetapan kebijakan. John Spielberg, penulis buku Confession
of An Economic Hitman, mengaku
sering menggunakan model ekonomi seperti teori markov untuk mempredeksi hasil
investasi dari hutang yang diajukan Negara berkembang, namun dalam bukunya ia
juga mengakui bahwa teorinya sangat mengabaikan kesejahteraan social. Bila ingin
menerapkan ekonomi islam yang kaffah yang bertujuan falah, asumsi kesejahteraan
social, harus menjadi basis dalam mengeluarkan kebijakan, terutama dalam
kebijakan perbankan syariah. Bukan hanya terpaku pada paradigm peningkatan market
share, atau total asset. tapi ditambahkan lebih kepada penyaluran dana CSR,
jumlah masyarakat terberdaya oleh bank syariah. Jadi seccara eksplisit masyarat
bisa melihata beda dan peran nyata bank syariah bagi kemajuan ekonomi di
Indonesia.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar