Minggu, 23 Agustus 2015

DAMPAK MAKRO EKONOMI TERHADAP KINERJA BANK SYARIAH INDONESIA



oleh: Hendri Wijaya, M. Maulana  Hamzah dan Nurul Shiyam Aprila
 
Pendahuluan
Berbicara mengenai kenaikan harga, ada yang menarik jika kita melihat sejarah pada masa kepemimpinan khalifah kedua, Umar bin Khattab. Ketika Allah menguji kaum muslimin dengan kekeringan, hujan tidak turun selama dua tahun akibatnya gandum menjadi langka dan akibatnya naiklah harga gandum dan menyulut naiknya harga komoditas lainnya di Madinah. Ketika itu, Umar bin Khattab mengatasi persoalan ini dengan cara mengimpor gandum secara besar-besaran dari Mesir. Kejadian berikutnya adalah ketika para kafilah dagang dari Madinah mendapatkan keuntungan besar sepulang perjalanan bisnis dari negeri Syam. Karena masuknya uang secara tiba-tiba ke kota Madinah, maka terjadilah kenaikan supply uang secara mendadak dan memicu terjadinya impulse buying. Hal ini mengakibatkan peningkatan demand yang sangat tinggi untuk makanan pokok (gandum dan kurma).
Inflasi yang didorong oleh masuknya uang secara mendadak dalam jumlah besar ini mengganggu stabilitas ekonomi Madinah pada saat itu, maka Umar bin Khattab mengambil kebijakan melakukan suspend (penundaan) untuk transaksi makanan pokok tersebut (gandum dan kurma) dan inflasi di Madinah saat itu dapat dikendalikan. Dari kisah ini apabila kita kaitkan dengan salah satu pilar ekonomi islam (sektor riil) membuktikan bahwa keseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter adalah salah satu syarat untuk mencapai stabilitas ekonomi. Krisis atau inflasi yang kala itu terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab adalah krisis yang disebabkan oleh faktor alamiah, berbeda dengan krisis yang terjadi saat ini dimana krisis saat ini terjadi karena sistem. Sistem ekonomi saat ini mengandung unsur riba dan spekulatif dimana sektor moneter berjalan sendiri jauh meninggalkan sektor riil sehingga sektor moneter rentan akan krisis karena tidak ditopang oleh penguatan sektor riil.

Ekonomi Islam pada hakikatnya berfokus pada pelarangan riba, maysir dan ghoror, serta keseimbangan sector rill dan finansial ditambah kewajiban zakat sebagai instrument yang menyeimbangkan distribusi kekayaan. Maka solusi permaslaahan ekonomi kini adalah dengan terus mengurangi praktek “Maghrib” dalam ekonomi, membuat sector financial makin match dengan sector rill, dan promosi (dakwah) ZISWAF sebagai antitesa dari riba (QS: 2: 276) sebagai sumber pendanaan proyek sektor rill yang aman tanpa meningkatkan bubble disector keuangan yang berasal dari transaksi pasar modal sekunder yang masih didominasi aksi spekulatif.
Dengan banyaknya dolar yang keluar akibat adanya indikasi kenaikan suku bunga the fed, harusnya dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk tidak lagi teralu fokus sama dolar, contohnya dalam transaksi perdagangan internasional dalam konteks bilateral dan AFTA pemerintah dapat menyepakati mata uang tertentu sebagai alat tukar. Mike Maloney penulis buku best seller “Guide to Investing in Gold and Silver” mengatakan bahwa dolar memiliki 60% dari nilai mata uang di dunia, dan lebih dari setengah jumlah uang dolar berada diluar US dalam bentuk central bank reserve, dan paradigma yang mengatakan bahwa negara maju adalah yang mempunyai cadangan reserve dolar terbesar, membuat banyak Negara berkembang terjebak pada kompetisi ekonomi yang tidak seimbang. Belum lagi ketatnya standar ekspor yang dibuat Negara maju, sehingga ekspor Negara berkembang tak bisa berbuat banyak saat nilai currency dolar meningkat.
Faktanya ada sekitar 40% nilai mata uang dunia yang tidak terpengaruh oleh dolar, dan terus berkembang. Negara-negara seperti China, Jepang, Rusia, mayoritas Negara di Amerika latin dan Negara di afrika tengah dan selatan melakukan transaksi perdagangan tanpa menggunakan dolar. Pemerintah harus menangkap peluang ini sebagai langkah untuk keluar dari ketergantungan pada dolar, dengan mulai meningkatkan cadangan emas, dan melakukan transkasi perdagangan bilateral tanpa dolar.
Islam menawarkan long term sustainable economy bukan hanya short term economic euphoria melalui permainan data statistik dan pembangunan opini publik. Mengedukasi masyarakat dengan membandingkan nilai tukar rupiah dengan mata uang lainnya yang lebih anjlok adalah metode lama yang tak lagi relevan, tapi membicarakan solusi yang bisa dilakukan bersama akan mengurangi resistensi public terhadap perubahan. Ekonomi pada hakikatnya adalah ilmu prediksi yang berasal dari analisa kuantitatif dan kualitatif yang terbatas pada ruang dan waktu. Kepercayaan terhadap “kebiasaan ekonomi” tertentu adalah awal dari kegagalan seperti kasus great depression ditahun 1930-an. Dan layaknya agama, ekonomi memiliki mazhab dan aliran. Tinggal kita yang memilih, apakah akan mengikuti praktek ekonomi yang diajarkan Tuhan yang universal atau yang diajarkan oleh manusia dengan berbagai macam kepentingannya.                      
Pertanyaan 1: Apa dampak kondisi diatas kepada kinerja bank syariah khususnya kinerja keuangannya?

Kondisi ekonomi makro saat ini memang dapat dibilang memprihatinkan, Indikator-indikator makro ekonomi Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Berdasarkan grafik di bawah, nilai rupiah  telah terdepresiasi sejak pertengahan tahun lalu walaupun pernah terapresiasi pada bulan Oktober 2014. Setelah itu, rupiah terus melemah hingga pada hari Jumat tanggal 20 Maret 2015, yang menyentuh angka Rp 13.075,00 per dolarnya.(Sumber: Bank Indonesia)
Pelemahan rupiah terhadap dollar amerika masih berlangsung hingga saat ini yang menyentuh di level sekitar 13.800/USD ditambah lagi dengan naiknya sejumlah komoditas makanan seperti daging, sembako, dan bahan bakar minyak karena kelangkaan pasokan menambah terdorongnya laju inflasi yang kian menggerus nilai rupiah hingga melemahkan daya beli masyarakat. Berikut ini adalah grafik inflasi yang terjadi dari tahun 2012 hingga 2014. Diakhir tahun 2014 Indonesia mencapai tingkat inflasi diangka 8,36. (Sumber: Bank Indonesia)
            Tentunya hal ini memberikan pengaruh yang signifikan pada perbankan di Indonesia umumnya dan perbankan syariah khususnya. Pelemahan kurs rupiah akan sangat berpengaruh pada kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan memukul usaha nasabah dan dapat meningkatkan rasio pembiayaan bermasalah. Sedangkan pengaruh perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup masyarakat juga turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk membayar angsuran kreditnya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut tidak mengalami peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar angsurannya menjadi melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh penghasilannya sudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai akibat dari harga-harga yang meningkat.
Dari hasil observasi laporan keuangan bank-bank syariah besar di Indonesia seperti BSM, BNIS, BRIS, dan Muamalat mengalami penurunan rasio profitabilitas. NPF nett semua bank tersebut hampir menyentuh ambang batas 5%.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelambatan pertumbuhan perbankan nasional yang salah satunya diindikasikan dari naiknya secara agregat nilai NPF bank-bank nasional. Melihat sektor utama pembiayaan perbankan nasional masih terkonsentrasi pada 3 sektor yaitu rumah tangga, industri pengolahan, dan perdagangan maka dampak dari turunnya daya beli masyarakat disini sangat terlihat dari naiknya NPF perbankan nasional yang sebagian besar penyaluran kreditnya terkonsentrasi pada sektor konsumsi dan retail. Dampak lain tentunya juga memengaruhi ROA, ROE, NIM yang juga ikut mengalami penurunan. Bank-bank syariah pun meendorong setiap unit kerjanya untuk melakukan efisiensi secara ketat agar dapat menekan biaya-biaya yang sekiranya tidak perlu atau bisa dihemat sebagai upaya menjaga likuiditas dan membantu sedikit cadangan modalnya.

Pertanyaan 2: Apa strategi yang dapat dilakukan bank syariah untuk menurunkan potensi pembiayaan bermasalah (NPF) akibat kondisi ekonomi tsb?

Bank syariah dapat melakukan beberapa upaya untuk menurunkan rasio NPF diantaranya adalah sebagai berikut:
Ø  Melakukan penagihan kepada nasabah-nasabah pembiayaan yang masih dapat ditagih yang masuk dalam kolektabilitas 2, 3, dan 4 dalam rangka perbaikan status kolektabilitas.
Ø  Melakukan diversifikasi penyaluran pembiayaan yang lebih beragam ke sektor lainnya supaya konsentrasi pembiayaan tidak terpaku hanya di 3 sektor yang karakteristik terjadinya kredit macet relatif tinggi.
Ø  Memperketat proses pemberian pembiayaan dan screening resiko yang lebih komprehensif agar kemungkinan fraud dan kredit macet dapat dideteksi sejak dini.
Ø  Melakukan monitoring dan pendampingan usaha kepada nasabah-nasabah pembiayaan khususnya nasabah pembiayaan dengan skim bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).
Ø  Meningkatkan prinsip kehati-hatian (prudential principal) dalam menyalurkan dananya.
Ø  Melakukan penagihan Intensif yaitu penyelamatan pembiayaan yang dilakukan melalui penagihan secara intensif kepada nasabah agar dapat memenuhi semua kewajibannya. Persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk berhasilnya pelaksanaan penagihan adalah bahwa nasabah masih memiliki itikad baik, usahanya masih berjalan sehingga mampu memberikan penghasilan.
Ø  Melakukan Restrukturisasi. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah pembiayaan agar dapat menyelesaikan kewajibannya. Restrukutrisasi yang terdiri dari resecheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali), dan restructuring (penataan kembali).
Ø   Melakukan penjualan barang agunan untuk menurunkan maksimum pembiayaan. Penjualan barang agunan adalah penjualan asset nasabah pembiayaan dan atau agunan yang dilakukan secara sukarela (private selling) dalam rangka penyelamatan pembiayaan. Kreteria nasabah pembiayaan dengan kebijakan penjualan barang agunan adalah prospek usaha tidak baik atau kemampuan membayar menurun dan kualitas pembiayaan dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.

Pertanyaan 3: Apa rekomendasi saudara kepada regulator agar kinerja bank syariah tetap baik?

Adapun saran yang mungkin dapat kami usulkan kepada regulator adalah regulator harus mengatur Loan to Value atau Financing to Value yang ideal bagi tiap-tiap sektor ekonomi sehingga pemberian pembiayaan menjadi proporsional pada setiap sektornya yang dihadapkan dengan kemungkinan terjadinya kredit macet di tiap sektor. Regulator juga harus memiliki keberanian yang kuat untuk mengurangi percetakan uang dan menurunkan suku bunga seminimal mungkin agar tidak memicu kenaikan inflasi.
            Dari aspek regulasi kebijakan yang ada kurang mendukung terhadap penyaluran pembiayaan bagi hasil. Salah satu contoh kebijakan yang paling banyak disoroti adalah masalah ketentuan kolektibilitas bagi skim pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang dirasa memberatkan bank. Dimana tingkat peringatan kolektibilitas untuk pembiayaan bagi hasil dibuat lebih longgar dari pembiayaan murabahah yang notabene disamakan menurut regulasi, dan hal itu memberatkan bagi nasabah pembiayaan bagi hasil. Apabila hal ini memang merupakan keadaan yang dirasakan oleh sebagian besar pelaku perbankan syariah, maka disarankan aturan-aturan yang kurang mendukung perlu untuk dievaluasi kembali. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang bersifat mendorong dan memberi insentif untuk penyaluran pembiayaan bagi hasil perlu dipertimbangkan.
Menjadi mediator antara BAZNAS dan Asbisindo terkait penyakuran dana wakaf ke sector riil. Disatu sisi BAZNAS memiliki modal dana social dari masyarakat yang besar, sedangkan bank memiliki kekuatan disisi analisa bisnis, prudential dan risk management sehingga alokasi dana diharapkan dapat teroptimalkan dengan baik.
 Harus diakui produk bank syariah kini belum banyak yang mampu menyentuh masyarakat menengah kebawah. Hal inilah yang membuat hampir 50% penduduk Indonesia masih belum bankbale dan disini peran regulator untuk membuat kebijakan dalam bentuk regulasi dan contoh produk yang merakyat. Yang dipromosikan melalui bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa campuran istilah inggris yang membingungkan. Disisi lain, sosialisasi tentang perbedaan bank konvensional dan syariah harus terus digalakkan untuk menghilangkan opini bahwa “bank syariah sama saja dengan konvensional”.
Selain itu program GNNT (Gerakan nasional non tunai) hendaknya ditunda dulu, mengingat praktek non tunai hanya didominasi oleh masyarakat jabodetabek dan Jawa. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia belum bankbale. Dan bank syariah belum sepenuhnya recovery. Implementasi GNNT, dari sisi mashlahah memang akan meningkatkan transaksi ekonomi namun perlu dipikirkan kembali apakah ini akan semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin. Memang gerakan ini akan membuat percetakan uang kian menurun, tapi hal yang harus diantisipasi adalah uang kedepannya hanyalah “computer typing” yang harus dianalisa detail resikonya. Apalagi sistem tersebut disinyalir lebih cepat mem”freeze” aktifitas ekonomi bila terjadi failure system.
Dan sudah menjadi rahasia umum kalau the fed mencetak dolar out of nothing, terlepas dari berbagai rumus matematis yang membenarkan argument mereka. Namun faktanya kini uang sudah menjadi tujuan, sehingga ada distorsi pemikiran “mencari kerja” atau “mencari uang”. Bekerja bukan lagi menjadi bagian dari kehidupan, ia hanya sarana semu untuk mengumpulkan uang. Perubahan dari printed money menjadi typed money, harus benar-benar melihat dampak psikologi terhadap masyarakat, karena kelak ujung-ujungnya adalah prilaku konsumenlah yang akan berpengaruh pada baik tidaknya ekonomi suatu bangsa. Kembali lagi ke qaidah ushuliyah “darul mafashid muqoddamun ‘ala jalbil masholih” (menghindari kerusakan lebih utama ketimbang menebarkan manfaat).
Satu lagi yang rekomendasi yang kami tawarkan. Kebijakan regulator baik dalam hal ini bank sentral ataupun kementrian keuangan hendaklah melihat asumsi pertumbuhan kesejahteraan social dan pemerataan ekonomi sebagai indicator kebijakan. Bukan hanya menghitung total GDP, asset perbankan atau market share sebagai tujuan dari penetapan kebijakan. John Spielberg, penulis buku Confession of An Economic Hitman,  mengaku sering menggunakan model ekonomi seperti teori markov untuk mempredeksi hasil investasi dari hutang yang diajukan Negara berkembang, namun dalam bukunya ia juga mengakui bahwa teorinya sangat mengabaikan kesejahteraan social. Bila ingin menerapkan ekonomi islam yang kaffah yang bertujuan falah, asumsi kesejahteraan social, harus menjadi basis dalam mengeluarkan kebijakan, terutama dalam kebijakan perbankan syariah. Bukan hanya terpaku pada paradigm peningkatan market share, atau total asset. tapi ditambahkan lebih kepada penyaluran dana CSR, jumlah masyarakat terberdaya oleh bank syariah. Jadi seccara eksplisit masyarat bisa melihata beda dan peran nyata bank syariah bagi kemajuan ekonomi di Indonesia.

Wallahu a’lam.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar