Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kritis “Models of Organizational Decision Making by Gareth Jones”


Nama  : M. Maulana Hamzah
NRP    : P056132843.18EK
Jur       : Magister Manajemen Syariah
---------------------------------------------------------------------
Dikutip dan direview dai buku. Gareth Jones. Organizational Theory, Design, and Change: Text and Cases Hal 356 - 363



1. The Rational Model (Model Rasional)

Deskripsi:
Model ini secara berturut-turut terdiri dari 3 tahapan proses:
·         Tahap 1: Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah
·         Tahap 2: Membuat Beragam Solusi Alternatif
·         Tahap 3: Menentukan solusi dan menerapkannya

Catatan Penulis :
Model ini hanya cocok untuk situasi ideal dimana factor tak terduga dianggap tak ada. Dan keadaan seperti itu tak pernah benar-benar terjadi. Model Rasional mengabaikan faktor ambiguitas, uncertainty dan chaos yang biasanya terjadi dalam setiap pengambilan keputusan. Ada 3 kritik yang diajukan Gareth Jones pada model rasional yaitu:

·         Asumsi bahwa decision makers memiliki semua informasi yang ia butuhkan
·         Asumsi bahwa decision makers mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan terbaik
·         Asumsi bahwa decision makers setuju tentang kebutuhan apa saja yang hars dipenuhi.


Asumsi pertama sangat tidak realistik karena manajer harus mengumpulkan setiap informasi yang berkaitan dengan semua kemungkinan yang dihadapi organisasi. Padahal pengetahuan yang akurat mustahil didapatkan karena factor lingkungannya susah untuk dipredeksi. Kalaupun bisa akan membutuhkan biaya yang tinggi melampaui keuntungan yang akan didapatkan. Contoh Restoran Kue Brownis berencana membuat produk baru, berdasarkan modal ini pihak restoran harus membuat Beragam jenis kue untuk dicoba satu-persatu kepada setiap pelanggan untuk mendapatkan produk mana yang paling tepat untuk diluncurkan, model ini tentu akan membutuhkan banyak biaya yang kemungkinan melebihi target keuntungan penjualan kelak.
Asumsi kedua mengibaratakn manager selalu mempunyai kapabilitas intelektual yang cukup untuk menghasilkan keputusan yang terbaik. Faktanya semua kemampuan manusia terbatas baik intelegensinya maupun keputusannya. 

Asumsi ketiga menyatakan manajer yang berbeda  akan memliki preferensi dan nilai yang sama untuk menghasilkan keputusan terbaik dan tujuan organisasi terbaik. Karena setiap orang mesti memilki orientasi yang berbeda, world view yang berbeda dan tak ada yang benar-benar sama. 

Notes: Praktek model ini pernah dilakukan oleh minuman isotonic Japan “Pocari Sweat”. Ditengah pasar yang mayoritas menjual minuman yang manis, ia malah menjual minuman yang asam dengan ideology kesehatan, minuman in tercipta setelah melalui 1000 lebih kali experiment. Faktanya ketika launching banyak yang tak suka, dan respon customer sangat negative. Namun setelah uji coba minuman ini ternyata lebih enak diminum saat selesai berolahraga atau beraktfitas. Maka “pocari sweat” membuat keputusan yang luar biasa yaitu dengan membagikan produknya secara gratis selama setahun penuh untuk memperkenalkan keunggulan produknya. Pembagian produk difokuskan disarana olah raga dan untuk orang-orang yang kelelahan, imbasnya perusahaan disinyalir merugi hingga 400 juta yen. Namun 2 tahun berselang, Japan dilanda musim panas yang panjang. Minuman ini mulai banyak dicari dipasaran karena terbukti cocok dan nikmat bagi yang sedang kelelahan dan berkeringat. Akhirnya ditahun ini pocari sweat membukukan laba hingga 1 milyar yen. Lalu pocari sweat melakukan ekspansi pasar keindonesia, ia masuk dengan melihat budaya bulan puasa di Indonesia. Dengan metode marketing yang sama akhirnya pocari sweat masuk di indoensia pertama kali dengan dibagikan secara gratis di bulan ramadhan. 
   
2. The Carnegie Model
Deskripsi:
Model decision making ini mengaku lebih realistis. Karena dalam model ini, informasi dianggap terbatas dan didapat malalui sejumlah biaya yang dikenal dengam istilah satisficing. Informasi terbatas pada apa yang dibutuhkan saja dan untuk spesifik masalah saja, jadi akan menghemat waktu dan biaya, dan mengurangi beban manajer dalam mencari informasi yang tepat.
Carnegie model mengasumsikan kemampuan para manajer terbatas pada terbatasnya kemampuan rasional (bounded rationality). Namun kemampuan rasional dan informasi terbatas manajaer bisa menutupinya dengan meningkatkan skill analisisnya. Model ini menerangkan bahwa setiap kepuasan adalah subjectif dan kualitasnya sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan, kepercayaan dan intuisi masing-masing individu.
Maka dari itu model ini melihat organisasi sebagai koalisi dari berbagai kepentingan, maka setiap keputusan memerlukan kompromi, pengaruh dan negosiasi antar manajer dari berbagai fungsi dan divisi. Jadi keputusan akhir sangat ditentukan oleh koalisi yang dominan. Tak ada aturan keputusan yang objektif yang ada hanya pencapaian dari tujuan dan kepentingan personal.
Biasanya pembentukan suatu koalisi[1] didasarkan pada perundingan yang berlangsung dibalik layar yang berusaha untuk memberikan pertimbangan kepada semua kepentingan dalam posisi bersama di dalam koalisi. Dengan kondisi tersebut, para pembuat keputusan menjadi tidak fokus pada pencarian informasi pemecahan masalah, akan tetapi lebih menekankan menampung minat alternatif.

Catatan Penulis:
Model ini seperti mengabaikan visi dan misi perusahaan yang merupakan dasar objektifitas dari setiap keputusan.  Maka walaupun memiliki beda pengalaman, pengetahuan dan kepercayaan diantara manajer tapi mereka akan tetap memiliki satu kepentingan objektif, dan skill manajer dapat disatukan diini. Asumsi model ini yang mengatakan bahwa taka da aturan keputusan yang objektif yang ada hanyalah penyatuan keputusan personal, seakan sudah melanggar konsep organisasi itu sendiri. Penerapan model ini rentan akan mengubah visi perusahaan sesuai dengan SDM yang berkuasa diaamnya pada suatu masa tertentu.
  
3. The Incrementalist Model
Definisi:
Model ini lebih spesifik dengan memilih masalah dan informasi yang detail dengan antisipasi yang ketat terhadap kesalahan. Jadi keputusan biasanya jarang yang berbeda dengan keputusan yang pernah dibuat hal ini dikenal dengan sebutan “muddling through”. Artinya manajer dengan terbatasnya informasi dan kapabilitas, model ini bergerak hati-hati dalam setiap langkah disuatu waktu tertentu untuk meminimalisasi peluang munculnya kesalahan. Bergerak dengan melihat perubahan lingkungan untuk mencapai efektifitas keputusan yang tinggi.

Catatan Penulis:
Cenderung akan menyebabkan perkembangan yang lambat dari perusahaan, terutama dalam merespon peruabahan pasar yang sangat dinamis. Tidak cocok diterap kan pada situasi kini dimana perubahan lingkungan begitu cepat. Karena setiap perubahan ditiap satuan waktu membutuhkan internalisasi perubahan dalam organisasi itu sendiri. Sehingga akan menghasilkan produktifitas yang tidak maksimal.  

4. The Unstructured Model (Model tak Terstruktur)
Definisi:
Model ini dikembangkan oleh Henry Mintzberg dan koleganya untuk melengkapi bentuk incremental model, dimana unstructured model disinyalir lebih siap dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Model pengambilan keputusan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kita asumsikan organisasi adalah modil yang sedang melaju, dan ketika ia menghadapi hambatan, seperti pohon tumbang, atau macet. Mobil (dalam hal ini organisasi) tinggal memikirkan jalan alternatif dan kembali ke jalurnya (drawing board). Bentuk keputusannya tidak linear, bertalian namun melalui proses yang tidak terprekdisi dan tidak terstruktur. Keputusan yang diambil lebih cepat berdasarkan moral dan intuisi manajer yang memaksa mereka untuk selalu menguji keputusannya secara kontinue untuk menemukan pola solusi yang terbaik dari konstannya perubahan lingkungan.

Catatan Penulis:
Setiap keputusan bisa saja selalu mendapatkan interupsi guna beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang tak pasti. Unstructured model lebih tepat digunakan dalam nonprogrammaed decision, yang membutuhkan keputusan yang cepat dan ebih banyak bersifat jangka pendiek namun ada kemungkinan punya dampak jangka panjang. Sedangkan incremental model lebih tepat digunakan dalam programmed decision yang bersifat continue dan kuantitatif.

5. The Garbage-Can Model (Model Tong Sampah)
Definisi:
Berbeda dengan model keputusan sebelumnya. Model ini menyandarkan keputusan dengan focus pada solusi bukan masalah. Jadi mereka biasanya mengumpukan berbagai solusi dari masalah yang pernah ada ataupun belum ada sama sekali. Dan ketika maslaah muncul mereka tinggal memilih solusi yang telah disiapkan sebelumnya.
Model ini dibangun dari asumsi bahwa organisasi memiliki kompetensi dan skill menyelesaikan beragam potensi masalah. Model ini lebih dekat kepada divisi Marketing dan Riset Development. Atau organisai yang benuknya memnag organic dan sub social. Dimana inovasi dan kreasi sangat dibutuhkan baik dalam menciptakan pasar baru atau mengcreate produk baru. Dimana asumsi masalah kedepan sudah disiapkan diawal lengkap denagn solusinya.
Namun diwaktu yang sama manajer juga harus siap membuat keputusan yang tepat saat iklim bisnis berjalan tak pasti. Rumitnya membuat keputusan membuat munculnya persaingan antar manajer yang berkoalisi tentang maslah apa, solusi yang bagaimana den preferensi yang berbeda bercampur untuk menentukan langkah organisasi selanjutnya dan akhirnya pengaruh dan kekuasaan lah yang berbicara.  Kesempatan, keberuntungan dan timing yang tepat juga menjadi diantara factor-faktor keberhasilan. Tingkat keunikan masalah adalah kesempatan besar untuk berbuat.
Model ini menjadikan keputusan berubaha-ubah, tak bisa dipredeksi, dan bahkan kadang bertolak belakang dengan preferesi dan priotas perubahan sang pembuat keputusan.

Catatan Penulis:
Model ini diberi nama “tong sampah” untuk menekan ketidakteraturan dalam pengambilan keputusan. Meskipun tidak terdapat organisasi yang beroperasi dalam modus ini sepanjang waktu, namun setiap organisai akan menemui situasi seperti ini dari waktu-kewaktu. Model inilah yang banyak terjadi kini. Menciptakan persaingan yang tidak sehat, rasa individualis yang tinggi, melahirkan sifat menjilat dari bawahan ke atasan, dan sifat superoitas dari atasan ke bawahan. Secara social akan menciptakan lungkungan yang terkesan professional, koboi tapi kaku, hirarki dan tidak humanis.
Menurut penulis model yang tepat adalah yang memiilki satu panduan yang diyakini cocok untuk semua tempat dan zaman, tak terpengaruh dengan perubahan lingkungan dan satu panduan ini diyakini sebaga sesuatu yang benar. Karena perdebatan rasional tak akan menemukan ujungnya sampai hari kiamat. Maka dalam pengambilan keputusan dalam Islam ada standar dan panduan sebagai landasan berpikir rasional dengan tetap mengendalikan spiritual. Panduan dan standar itu ada dalam ajaran universal dalam Al-Quran dan Hadist. Sisanya pengambilan keputusan diramu dengan pertimbangan akal dengan tetap mengacu pada Takwa (rasa takut) agar keputusan yang diambil tidak subjektif tapi objekif untuk sebuah mashlahat yang holistic baik bagi organisasi secara keseluruhan maupun bagi individu-indivudu yang menjalankannya.        

Wallahua’lam.


[1] Mary Jo Hatch , Organization Theory: modern, Symbolik, Design and Post Modern Perspektif (New York : Oxford University Press, 1997) hlm. 277

Tidak ada komentar:

Posting Komentar