Nama : M. Maulana Hamzah
NRP : P056132843.18EK
Jur : Magister Manajemen Syariah
---------------------------------------------------------------------
Dikutip dan direview dai buku. Gareth Jones. Organizational Theory, Design, and Change: Text and Cases Hal 356 - 363
1. The Rational Model (Model Rasional)
Deskripsi:
Model ini secara berturut-turut
terdiri dari 3 tahapan proses:
·
Tahap 1: Mengidentifikasi
dan mendefinisikan masalah
·
Tahap 2: Membuat Beragam
Solusi Alternatif
·
Tahap 3: Menentukan solusi
dan menerapkannya
Catatan Penulis :
Model ini hanya cocok untuk
situasi ideal dimana factor tak terduga dianggap tak ada. Dan keadaan seperti itu
tak pernah benar-benar terjadi. Model Rasional mengabaikan faktor ambiguitas,
uncertainty dan chaos yang biasanya terjadi dalam setiap pengambilan keputusan.
Ada 3 kritik yang diajukan Gareth Jones pada model rasional yaitu:
·
Asumsi bahwa decision
makers memiliki semua informasi yang ia butuhkan
·
Asumsi bahwa decision
makers mempunyai kemampuan untuk membuat keputusan terbaik
·
Asumsi bahwa decision makers
setuju tentang kebutuhan apa saja yang hars dipenuhi.
Asumsi pertama
sangat tidak realistik karena manajer harus mengumpulkan setiap informasi yang
berkaitan dengan semua kemungkinan yang dihadapi organisasi. Padahal
pengetahuan yang akurat mustahil didapatkan karena factor lingkungannya susah
untuk dipredeksi. Kalaupun bisa akan membutuhkan biaya yang tinggi melampaui
keuntungan yang akan didapatkan. Contoh Restoran Kue Brownis berencana membuat
produk baru, berdasarkan modal ini pihak restoran harus membuat Beragam jenis
kue untuk dicoba satu-persatu kepada setiap pelanggan untuk mendapatkan produk
mana yang paling tepat untuk diluncurkan, model ini tentu akan membutuhkan
banyak biaya yang kemungkinan melebihi target keuntungan penjualan kelak.
Asumsi kedua
mengibaratakn manager selalu mempunyai kapabilitas intelektual yang cukup untuk
menghasilkan keputusan yang terbaik. Faktanya semua kemampuan manusia terbatas
baik intelegensinya maupun keputusannya.
Asumsi ketiga
menyatakan manajer yang berbeda akan
memliki preferensi dan nilai yang sama untuk menghasilkan keputusan terbaik dan
tujuan organisasi terbaik. Karena setiap orang mesti memilki orientasi yang
berbeda, world view yang berbeda dan tak ada yang benar-benar sama.
Notes: Praktek model ini pernah
dilakukan oleh minuman isotonic Japan “Pocari Sweat”. Ditengah pasar yang
mayoritas menjual minuman yang manis, ia malah menjual minuman yang asam dengan
ideology kesehatan, minuman in tercipta setelah melalui 1000 lebih kali
experiment. Faktanya ketika launching banyak yang tak suka, dan respon customer
sangat negative. Namun setelah uji coba minuman ini ternyata lebih enak diminum
saat selesai berolahraga atau beraktfitas. Maka “pocari sweat” membuat
keputusan yang luar biasa yaitu dengan membagikan produknya secara gratis
selama setahun penuh untuk memperkenalkan keunggulan produknya. Pembagian
produk difokuskan disarana olah raga dan untuk orang-orang yang kelelahan,
imbasnya perusahaan disinyalir merugi hingga 400 juta yen. Namun 2 tahun
berselang, Japan dilanda musim panas yang panjang. Minuman ini mulai banyak
dicari dipasaran karena terbukti cocok dan nikmat bagi yang sedang kelelahan
dan berkeringat. Akhirnya ditahun ini pocari sweat membukukan laba hingga 1 milyar
yen. Lalu pocari sweat melakukan ekspansi pasar keindonesia, ia masuk dengan
melihat budaya bulan puasa di Indonesia. Dengan metode marketing yang sama
akhirnya pocari sweat masuk di indoensia pertama kali dengan dibagikan secara
gratis di bulan ramadhan.
2. The Carnegie Model
Deskripsi:
Model decision
making ini mengaku lebih realistis. Karena dalam model ini, informasi dianggap
terbatas dan didapat malalui sejumlah biaya yang dikenal dengam istilah satisficing.
Informasi terbatas pada apa yang dibutuhkan saja dan untuk spesifik masalah
saja, jadi akan menghemat waktu dan biaya, dan mengurangi beban manajer dalam
mencari informasi yang tepat.
Carnegie model
mengasumsikan kemampuan para manajer terbatas pada terbatasnya kemampuan
rasional (bounded rationality). Namun kemampuan rasional dan
informasi terbatas manajaer bisa menutupinya dengan meningkatkan skill
analisisnya. Model ini menerangkan bahwa setiap kepuasan adalah subjectif dan
kualitasnya sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan, kepercayaan dan
intuisi masing-masing individu.
Maka dari itu
model ini melihat organisasi sebagai koalisi dari berbagai kepentingan, maka
setiap keputusan memerlukan kompromi, pengaruh dan negosiasi antar manajer dari
berbagai fungsi dan divisi. Jadi keputusan akhir sangat ditentukan oleh koalisi
yang dominan. Tak ada aturan keputusan yang objektif yang ada hanya pencapaian
dari tujuan dan kepentingan personal.
Biasanya pembentukan suatu
koalisi[1] didasarkan pada
perundingan yang berlangsung dibalik layar yang berusaha untuk memberikan
pertimbangan kepada semua kepentingan dalam posisi bersama di dalam koalisi.
Dengan kondisi tersebut, para pembuat keputusan menjadi tidak fokus pada
pencarian informasi pemecahan masalah, akan tetapi lebih menekankan menampung minat
alternatif.
Catatan Penulis:
Model ini
seperti mengabaikan visi dan misi perusahaan yang merupakan dasar objektifitas
dari setiap keputusan. Maka walaupun
memiliki beda pengalaman, pengetahuan dan kepercayaan diantara manajer tapi
mereka akan tetap memiliki satu kepentingan objektif, dan skill manajer dapat
disatukan diini. Asumsi model ini yang mengatakan bahwa taka da aturan
keputusan yang objektif yang ada hanyalah penyatuan keputusan personal, seakan
sudah melanggar konsep organisasi itu sendiri. Penerapan model ini rentan akan
mengubah visi perusahaan sesuai dengan SDM yang berkuasa diaamnya pada suatu
masa tertentu.
3. The Incrementalist Model
Definisi:
Model ini lebih
spesifik dengan memilih masalah dan informasi yang detail dengan antisipasi
yang ketat terhadap kesalahan. Jadi keputusan biasanya jarang yang berbeda
dengan keputusan yang pernah dibuat hal ini dikenal dengan sebutan “muddling
through”. Artinya manajer dengan terbatasnya informasi dan kapabilitas, model ini
bergerak hati-hati dalam setiap langkah disuatu waktu tertentu untuk
meminimalisasi peluang munculnya kesalahan. Bergerak dengan melihat perubahan
lingkungan untuk mencapai efektifitas keputusan yang tinggi.
Catatan Penulis:
Cenderung akan
menyebabkan perkembangan yang lambat dari perusahaan, terutama dalam merespon
peruabahan pasar yang sangat dinamis. Tidak cocok diterap kan pada situasi kini
dimana perubahan lingkungan begitu cepat. Karena setiap perubahan ditiap satuan
waktu membutuhkan internalisasi perubahan dalam organisasi itu sendiri.
Sehingga akan menghasilkan produktifitas yang tidak maksimal.
4. The Unstructured Model (Model tak Terstruktur)
Definisi:
Model ini
dikembangkan oleh Henry Mintzberg dan koleganya untuk melengkapi bentuk incremental
model, dimana unstructured model disinyalir lebih siap dalam menghadapi perubahan
lingkungan.
Model pengambilan
keputusan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kita asumsikan organisasi
adalah modil yang sedang melaju, dan ketika ia menghadapi hambatan, seperti pohon
tumbang, atau macet. Mobil (dalam hal ini organisasi) tinggal memikirkan jalan
alternatif dan kembali ke jalurnya (drawing board). Bentuk keputusannya
tidak linear, bertalian namun melalui proses yang tidak terprekdisi dan tidak
terstruktur. Keputusan yang diambil lebih cepat berdasarkan moral dan intuisi
manajer yang memaksa mereka untuk selalu menguji keputusannya secara kontinue
untuk menemukan pola solusi yang terbaik dari konstannya perubahan lingkungan.
Catatan Penulis:
Setiap keputusan
bisa saja selalu mendapatkan interupsi guna beradaptasi dengan perubahan lingkungan
yang tak pasti. Unstructured model lebih tepat digunakan dalam nonprogrammaed
decision, yang membutuhkan keputusan yang cepat dan ebih banyak bersifat jangka
pendiek namun ada kemungkinan punya dampak jangka panjang. Sedangkan
incremental model lebih tepat digunakan dalam programmed decision yang bersifat
continue dan kuantitatif.
5. The Garbage-Can Model (Model Tong Sampah)
Definisi:
Berbeda dengan
model keputusan sebelumnya. Model ini menyandarkan keputusan dengan focus pada
solusi bukan masalah. Jadi mereka biasanya mengumpukan berbagai solusi dari masalah
yang pernah ada ataupun belum ada sama sekali. Dan ketika maslaah muncul mereka
tinggal memilih solusi yang telah disiapkan sebelumnya.
Model ini
dibangun dari asumsi bahwa organisasi memiliki kompetensi dan skill
menyelesaikan beragam potensi masalah. Model ini lebih dekat kepada divisi Marketing
dan Riset Development. Atau organisai yang benuknya memnag organic dan sub
social. Dimana inovasi dan kreasi sangat dibutuhkan baik dalam menciptakan
pasar baru atau mengcreate produk baru. Dimana asumsi masalah kedepan sudah
disiapkan diawal lengkap denagn solusinya.
Namun diwaktu
yang sama manajer juga harus siap membuat keputusan yang tepat saat iklim
bisnis berjalan tak pasti. Rumitnya membuat keputusan membuat munculnya
persaingan antar manajer yang berkoalisi tentang maslah apa, solusi yang
bagaimana den preferensi yang berbeda bercampur untuk menentukan langkah organisasi
selanjutnya dan akhirnya pengaruh dan kekuasaan lah yang berbicara. Kesempatan, keberuntungan dan timing yang
tepat juga menjadi diantara factor-faktor keberhasilan. Tingkat keunikan
masalah adalah kesempatan besar untuk berbuat.
Model ini menjadikan
keputusan berubaha-ubah, tak bisa dipredeksi, dan bahkan kadang bertolak belakang
dengan preferesi dan priotas perubahan sang pembuat keputusan.
Catatan Penulis:
Model ini diberi
nama “tong sampah” untuk menekan ketidakteraturan dalam pengambilan keputusan.
Meskipun tidak terdapat organisasi yang beroperasi dalam modus ini sepanjang
waktu, namun setiap organisai akan menemui situasi seperti ini dari
waktu-kewaktu. Model inilah yang banyak terjadi kini. Menciptakan persaingan yang
tidak sehat, rasa individualis yang tinggi, melahirkan sifat menjilat dari
bawahan ke atasan, dan sifat superoitas dari atasan ke bawahan. Secara social
akan menciptakan lungkungan yang terkesan professional, koboi tapi kaku,
hirarki dan tidak humanis.
Menurut penulis
model yang tepat adalah yang memiilki satu panduan yang diyakini cocok untuk
semua tempat dan zaman, tak terpengaruh dengan perubahan lingkungan dan satu
panduan ini diyakini sebaga sesuatu yang benar. Karena perdebatan rasional tak
akan menemukan ujungnya sampai hari kiamat. Maka dalam pengambilan keputusan
dalam Islam ada standar dan panduan sebagai landasan berpikir rasional dengan
tetap mengendalikan spiritual. Panduan dan standar itu ada dalam ajaran
universal dalam Al-Quran dan Hadist. Sisanya pengambilan keputusan diramu
dengan pertimbangan akal dengan tetap mengacu pada Takwa (rasa takut) agar
keputusan yang diambil tidak subjektif tapi objekif untuk sebuah mashlahat yang
holistic baik bagi organisasi secara keseluruhan maupun bagi individu-indivudu
yang menjalankannya.
Wallahua’lam.
[1] Mary Jo Hatch , Organization Theory: modern, Symbolik,
Design and Post Modern Perspektif (New York : Oxford University Press,
1997) hlm. 277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar