oleh: M. Maulana Hamzah
A. Pendahuluan
Rendahnya kinerja SDM
(Sumber Daya Manusia) di BUMD telah disadari oleh pihak manajemen, maka
dilakukanlah beberapa solusi untuk meningkatkan efektifitas kinerjanya
diantaranya:
1. Berperan Aktif dalam Pendidikan dan
Pelatihan. Bentuknya ada dua yaitu teknis dan administratif, lokasinya didalam
dan diluar negeri. Didalam negeri melalui diklat-diklat, seminar lokakarya dan
studi banding. Namun hal ini belum optimal karena belum dilakukan berdasarkan
hasil penilaian kebutuhan pelatihan. Dan tidak ada laporan progress yang jelas.
2. Sistem Karir. Tujuannya agar
pegawai dapat berkembang baik kemampuan wawasan dan pekerjaan. Sistem karir
dilakukan berdasarkan DUK (daftar urut kepangkatan) secara transparan oleh
direksi. Namun banyak pegawai yang terhambat oleh sistem ini, contoh pegawai
NIP hanya bisa naik golongan tiga kali walaupun punya kemampuan lebih, sistem
karir dengan pangkat lokalpun masih terkendala “budaya lingkungan” Pemda.
3. Penilaian Kinerja Pegawai. Meliputi
perencanaan kinerja, pelatihan kerja dan evaluasi kinerja. Diterapkan sistem
penilaian pelaksanaan kinerja melalui DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan PNS) orientasinya adalah attitude dan prestasi kerja. DP3 diisi oleh
pejabat penilai. Ditandatangani oleh yang dinilai, pejabat penilai dan atasan
pejabat penilai. Namun sistem ini belum mencerminkan aspek keadilan dan
obyektifitas penilaian. Karena unsur penilain dianggap belum mencerminkan
pekerjaan. Dan hasil penilaian ini belum ada tindak lanjutnya pada karir.
Menurut Salah satu
Pimpinan BUMD dalam wawancara disoal, kinerja SDM di BUMD memiliki aturan baku tentang penilaian
prestasi pegawai, aturan itu dilaksanakan secara teratur tiap tahun dengan
mengisi suatu formulir yang disebut dengan Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP3).
Namun kendalanya
aturan ini hanya bersifat formalitas, pegawai BUMD hanya menganggapnya baik
bila diisi sesuai waktu, jadi untuk menghindari punishment bukan berlomba-lomba
dalam meningkatkan kinerja. Kendala lain adalah belum mampu menunjukkan
objektifitas penilaian dan mencerminkan prestasi pegawai. Salah satu
indikasinya adalah hasil penilaian sering sama antara yang berprestasi dengan
yang tidak berprestasi. Imbasnya pegawai tidak terobsesi melakukan perubahan
kualitas kerjanya, mereka berpendapat cukup tidak melakukan kesalahan maupun
pelanggaran dan absen tetap terisi.
Masalah lain adalah kriteria
dalam DP3 belum menunjukkan standar jabatan seseorang sehingga sulit menetapkan
prestasi seseorang pada jabatan yang berbeda. Sehingga hal ini kerap
menimbulkan rasa iri antar pegawai. Pegawai yang prestasi bagus kerap disisihkan
oleh pegawai yang “akrab” dengan pimpinannya. Selain itu tindak lanjut hasil
penilaian tersebut belum nampak jelas bagi pegawai.
Selain fakta
inefisiensi dalam penilain kerja DP3, sistem karir pegawai yang didominasi DUK
(Daftar Urut Kepangkatan) kerap mendapatkan kritik diantaranya DUK hanya
membolehkan 3 kali naik pangkat pada pegawai tanpa melihat perkembangan
prestasi. Kritik lain adalah hal itu dikarenakan tidak adanya standar kinerja
jabatan, baik jabatan struktural maupun fungsional.
Padahal untuk
meningkatkan Kinerja BUMD telah didukung dengan fasilitas atau kesejahteraan
pegawai. Namun ternyata masih sulit beranjak maju dan tingkat kebocorannya
masih dua kali dari batas kebocoran yang ditoleransi. Walaupun kontribusi BUMD
memang relatif meningkat dari tahun ke tahun tapi hal itu hanya karena faktor
kenaikan harga produk bukan karena faktor kinerja dan produktiifitas.
B. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
memperbaiki Sistem DP3 untuk meneghasilkan penilaian kinerja SDM yang adil di
BUMD?
b.
Bagaimana
Membuat Sistem Karir DUK yang tepat sehingga mampu menempatkan orang yang tepat
di posisi yang tepat?
c.
Apakah saja
pembaharuan dan pembenahan kinerja SDM saat BUMD akan melakukan privatisasi dan
pada saat posisi status quo?
C. Kerangka Solusi (Landasan Teoritis)
MSDM (Manajemen
Sumber Daya Manusia) secara umum dapat dipahami baik dari makna sistem maupun
fungsi. Dari sisi makna sistem, MSDM tidak lain merupakan suatu sistem
manajemen yang sengaja dirancang untuk dapat memastikan bahwa potensi atau
bakat semua individu dalam organisasi dapat diutilisasi (digunakan) secara
efektif dan efisien (Mathis & Jackson 2008). Utilisasi individu tersebut dimaksudkan untuk
mencapai tujuan dan target yang telah ditentukan organisasi
Menurut Marihot Tua
Efendi Hariandja (2007,p12-13) manajemen sumber daya manusia yang strategis di
definisikan sebagai adanya keterkaitan antara SDM dengan tujuan dan sasaran
strategis untuk meningkatkan kinerja bisnis dan mengembangkan budaya organisasi
yang mendorong inovasi dan fleksibilitas untuk memampukan organisasi dalam
mencapai tujuannya
Menurut Brian E.
Becker, Mark A Huselid & Dave Ulrich (2009,pxii) human resource
scorecard adalah kapasitas untuk merancang dan menerapkan sistem pengukuran
SDM yang strategis dengan merepresentasikan “alat pengungkit yang penting” yang
digunakan perusahaan untuk merancang dan mengerahkan strategi SDM yang lebih
efektif secara cermat
Menurut mangkuprawira
(2011) penilaian kinerja karyawan memiliki manfaat dilihat dari berbagai
perspektif pengembangan perusahaan, yaitu: perbaikan kinerja, penyesuaian
kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan pelatihan dan pengembangan,
perencanaan dan pengembangan karir, defisiensi proses penempatan staf,
ketidakakuratan informasi, kesalahan rancangan pekerjaan, kesempatan kerja yang
adil, dan tantangan-tantangan eksternal.
Menurut wirawan
(2009) Kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang padanannya
dalam bahasa inggris adalah performance. Kinerja adalah keluaran yang
dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau
suatu profesi dalam waktu tertentu. Ketiadaan standar kinerja untuk setiap
pegawai dalam DP3 menyebabkan penilaian kinerja tidak valid, tidak reliabel
serta penuh dengan halo error, leniency error dan recency error. penilaian
didasarkan dari hubungan baik antara penilai dengan ternilai. Pengukuran juga
sering dimanipulatif.
Masih menurut wirawan (2009) sebaiknya
konsep manajemen kinerja perusahaan diarahkan pada:
·
Upaya mencapai
tujuan yang telah ditetapkan organisasi
·
Upaya
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi pegawai secara terus
menerus.
·
Upaya
meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses pencapaian tujuan.
·
Upaya mengukur
kinerja individu karyawan, tim kerja dan kinerja perusahaan secara periodik.
Nugraha (2002)
menyatakan setidaknya ada dua pengertian dari privatisasi. Pertama, privatisasi
merupakan aksi untuk mengurangi campur tangan pemerintah dalam berbagai
kehidupan masyarakat sehari – hari dengan tanpa mengurangi tanggung jawab
pemerintah untuk hal tersebut. Kedua, privatisasi juga berarti dikuranginya
secara maksimal campur tangan pemerintah dalam pengelolaan badan usaha yang
dimiliki oleh pemerintah atau di Indonesia dikenal dengan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).Dua pengertian tersebut sebenarnya
kembali kepada konsep privatisasi yang ada di dunia.
Dewasa ini terdapat
dua haluan terkait dengan privatisasi, yaitu model Amerika Serikat dan Model
Inggris (Nugraha, 2002). Model Amerika Serikat lebih memfokuskan privatisasi
pada pelayanan publik. Di sisi lain, model Inggris lebih memfokuskan pada
privatisasi BUMN. Nugraha (2002) mendefinisikan privatisasi sebagai kegiatan
yang bertujuan untuk melepaskan ketergantungan BUMN terhadap negara dan
memandirikan BUMN agar tidak lagi terjebak dalam persaingan para politikus dan
birokrat di suatu negara.
4. Kembangkan informasi
Fokus Pembianaan SDM
di BUMD masih terpatok pada pola piker pemberian “rumput emas” Pepatah China
kuno mengatakan: Chi Le Jin Zhao Hou Ma Hui Pao Gen Kuai, yang maknanya
kira-kira: Kuda Akan Berlari Kencang Kalau Diberikan Rumput Emas. Rumput emas
yang dinikmati karya-wan suatu perusahaan membuat ge-muruhnya derap langkah
mereka ketika memasuki ruangan kerjanya di pagi hari dan merdunya canda tawa
ketika me-ninggalkan tempat bekerjanya di sore hari. Ini pertanda tingkat
kesejahteraan karya-wan telah berada pada posisi yang tinggi dan dapat
menciptakan suasana kerja yang menyejukkan. Kalau sudah begitu motivasi dan
produktivitas kerja para karyawan berada pada posisi yang tinggi pula, yang
pada akhirnya terwujud kinerja perusahaan yang sound dan sehat. Peningkatan
motivasi berprestasi merupakan salah satu cara me-ningkatkan keberhasilan karyawan
se-kaligus perusaha-annya.
Hal ini juga
diipenaruhi oleh teori hierarki kebutuhan maslow sebagai motivasi untuk
bekerja, yakini kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan akan
kebersamaan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri.[1] Namun pada prakteknya
teori ini malah dimanfaatkan oleh sebagai pejabat khususnya di BUMD untuk
meningkatkan kesejahteraan dengan dalih peningkatan kinerja. Padahal kita tahu
dalam pelajaran PPKN (pendidikan Kewarganegaraan) sejak SD, warga indoensia
sudah dianjurkan untuk melkasanakan kewajiban dulu baru menuntut hak. Bukankah
kita selalu dimintai pajak Negara baru Negara membangun. Bial telat pajak
dikenakan denda, bagaimana dengan BUMD, apakah panats meminta hak dulu baru
menunaikan kewajiban?.
Menurut Sekda Provinsi Jawa Tengah Sri Puryono BUMD tidak boleh hanya bekerja dalam kotak karena itulah yang membuat perannya tidak maksimal.
BUMD dituntut harus bisa
memberikan multiplier effect agar perekonomian masyarakat dapat meningkat.[2]
5. Analisa SWOT Kinerja SDM di BUMD
Untuk membuat simulais perbaikan DP3, DUK dan
bagaimana penerapan kesaat privatisasi dan status quo perlu dilakuakan analisa
deksriptif tentang kekuatan, kelemahan, peluang dna tangangan BUMD kedepanyya.
Hal tersebut dapat dilihiat dari tabel dibawah ini.
Tabel 1. Analisa SWOT
Strengts
·
Punya Back Up Pemerintah
·
Rata-Rata Pasarnya Monopolistik
|
Weakness
·
Kinerja SDM
·
Sistem Karir yang Belum objektif
·
Budaya Kerja Kurang Kondusif
|
Opportunities
·
Kenaikan Harga Produk
·
Makin Banyaknya Jumlah Sarjana
|
Threats
·
Daya Siang MEA
·
Peningkatan Jumlah Penduduk
|
6. Simulasi Perbaikan Sistem DP3 dan
DUK
6.1. Simulasi Perbaikan Sistem DP3
dengan DP4
Metode Pelaksanaan
DP3 dengan Mengsis Formulir sesuai denga waktunya, dari Latar belakang diatas
kita melihat ada beberapa poin masalah dari pelaksanaan DP3 ini dianataranya:
1.
Sifatnya masih
formalitas
2.
Belum objektif
dalam penilaian dan prestasi pegawai, indikasinya ada nilai yang sama antara
pegawai berprestasi dan tidak.
3.
Ketidakpercayaan
pegawai pada DP3, motivasi hilang, cukup menghindari kesalahan bukan berlomba
dalam kebaikan.
4.
Kriteria dalam
DP3 belum menunjukkan standar jabatan seseorang.
5.
Pegawai
berprestassi versus Pegawai Akrab
6.
Follow Up
dari DP3 yang belum Jelas
Dari permasalahan diatas kita bisa
membuat simulasi perbaikan pelaksanaan DP3. Yaitu:
1.
Memperbaiki
budaya kerja dan meningkatkan kepercayaan pegawai terhadap DP3. Langkah awal
adalah pergantian nama DP3 menjadi DP4 (Daftar Penilaian Penerapan Prestasi
Kerja) semacam brand baru untuk merefresh pola penilaian lama yang terlanjur
memilki stigma negative di mata pegawai.
2.
DP4 harus mampu
menunjukkan Objektifitas penilaian. Ada mekanisme reward dan punishment
sebagai follow up nya dan diumumkan secara mingguan atau bulanan dengan
transparan. Sebagai contohnya setiap yang berprestasi akan memiliki kesempatan
untuk pelatihan kerja dan peluang peningkatan karir. Hal itu bisa dimmonitor
melalui human resource scorecard yang terintegrasi secara sistem, bisa diakses
siapa saja setiap harinya sehingga pengawasan bisa lebih objektif.
3.
Membuat
Kriteria yang jelsa dalam DP4 sesuai dengan standar jabatan seseorang. Artinya load
suatu jabatan jelas, dan target yang ingin dicapai juga jelas, dan semua
pegawai mampu melihatnya. Jadi secara tidak langusng akan membentuk pengawasan
lingkungan. Setiap studi banding harus memliki report yang jelas dan semua
pihak baik lingkungan internal dan eksternal memilki akses untuk mengawasinya.
4.
Menghindari
Peluang terciptanya budaya “pegawai akrab” melalui perbaikan mental kepemimpinan
yang melayani bukan minta dillayani. Seua hal diatas tak akan berjalan bila
pemimpinnya tidak berubah. Maka perlu perbaikan budaya, maka dari itu kajian
strategis anatar pimpinan harus selalu direcharge dengan pendekatan
social, agama dan ilmiah. Bukan sekedar pendekatan gaya, birokrasi dan
otorisasi.
6.2. Simulasi Perbaikan Sistem DUK
yang terintgerasi dengan DP4.
Setidaknya ada 2 hal
yang menjadi poin utama kritik terhadap sIStem Karir DUK (Daftar Urut
Kepangkatan) di BUMD yaitu:
1.
DUK hanya
membolehkan 3 kali naik pangkat pada pegawai tanpa melihat perkembangan
prestasi.
2.
Tidak adanya
standar kinerja jabatan, baik jabatan struktural maupun fungsional.
Untuk menjawab kritik diatas ada
beberapa simulasi yang bisa diterapkan melalui model succession Planningnya
walker. Model ini menggambarkan situasi siapa yang akan keluar atau
meninggalkan jabatan tertentu dan sipa yang akan mengisi jabatan tersebut. jadi
initinya kaderisasi dapat disistemkan.[3]
Untuk menerapkannya
tentu perlu sinergi dengan sistem DP4 yang telah kita bahas sebelumnya. Peran
DP4 disini ada dalam fungsi development dan Assessmant performance. Sehingga
Sistem karir DUK tidak stuck pada sistem pangkat militer yang mekanistik, tapi
tetap mangacu pada prestasi dan load kerja yang bisa diawasi secara organic.
Maka dari itu perlu definisi standar kerja yang jelas, salah satu langkah yang
bsisa diambil adalah konsep Just In Time melalui DMAIC (Define, Measure,
Analyze, Improve dan Control).
Dari sini, konsep
pelatihan bisa kita bagi menjadi 2 jenis yaitu: pelatihan kebutuhan kerja dan
pelatihan pengembangan kinerja. Pelatihan pertama diperuntukkan sesuai dengan
kebutuhan kerja sesuai perubahan zaman serpti arsipisasi, dan teknologi
informasi. Pelatihan kedua hanya untuk mereka yang berprestasi sebagai peluang
untuk meningkatkan karir.
7. Implementasi Kebijakan Saat Privatisasi
dan Status Quo
7.1. Kebijakan Saat Privatisasi
Pengertian
Privatisasi berdasarkan UU no 19 Tentang BUMN adalah penjualan saham Persero,
baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Adapun maksud dan tujuan
privatisasi menurut pasal 74 UU Undang-undang tersebut adalah memperluas
kepemilikan masyarakat atas Persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas
perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang
baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan
Persero yang berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim
usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Program privatisasi dalam
BUMD bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero Privatisasi
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggung-jawaban, dan kewajaran.
Namun, terjadi atau
tidaknya privatisasi pada BUMD tetap harus didasarkan pada beberapa perhitungan
cermat, diantaranya terkait dengan status yuridisnya. Usaha untuk melakukan privatisasi harus
didasarkan pada beberapa kejelasan berikut ini, yaitu:
1.
Prosedur yang
berlangsung serta keterbukaan kepada publik mengenai sektor usaha yang akan
terkena program privatisasi. Sektor ini tidak diukur dari efektifitas manajemen
melainkan juga bagaimana kemampuannya untuk memenuhi hajat hidup rakyat.
2.
Pelaksanaan
privatisasi harus mampu memenuhi serta memberikan pelayanan sosial kepada
rakyat. Pencabutan subsidi yang dilakukan dengan secara asal-asalan yang
tujuannya sebagai perimbangan APBN/APBD mestinya tidak lagi menjadi tolak ukur
bagi pertumbuhan ekonomi. Tolak ukur yang tepat adalah bagaimana struktur
perekonomian memberikan akses serta perlindungan bagi rakyat.[4]
Setidaknya program
privatisasi pada BUMD harus didasarkan pada pertanyaan bagaimana kemampuannya
untuk memberikan pelayanan dan jaminan sosial terbaik bagi rakyat. Sebab
privatisasi apapun bentuk alasannya, selama tidak menjamin, melin-dungi, dan
berpihak kepada rakyat, maka itu merupakan bentuk penindasan.
7.2. Implemntasi Kebijakan Status Quo
Jika kondisi BUMD nya
status quo maka yang dapat dilakukan adalah menerapkan suatu evaluasi
terstandar (assessment) dengan menggunakan assesor terhadap perilaku
organisasi berdasarkan berbagai masukan. Assessment Center adalah metode
terstandar yang dilakukan untuk menilai/mengukur kompetensi
dan prediksi keberhasilan pegawai (Aparatur Sipil Negara) dalam suatu jabatan, dengan menggunakan alat ukur
simulasi paling kurang 2 (dua) simulasi disamping
alat ukur psikotes, kuesioner kompetensi, dan wawancara kompetensi berdasarkan persyaratan kompetensi
jabatan dan dilakukan oleh beberapa Assessor.[5]
Sumber: assessmentcenterhard-hismartconsulting (2015)
Dari gambar tersebut diatas maka dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Dilakukan analisis pekerjaan yang
relevan dengan perilaku pegawai BUMD yang ada untuk menentukan karakteristik,
kualitas, keterampilan, kemampuan, motivasi, pengetahuan atau tugas-tugas yang
diperlukan untuk menciptakan kinerja pekerjaan serta menentukan apa yang harus
dievaluasi oleh assessment center. Jenis dan cakupan analisa pekerjaan
bergantung pada tujuan asesmen, kompleksitas pekerjaan, kecukupan informasi
sebelum dilakukan analisis pekerjaan dan kesamaan pekerjaan baru dengan
pekerjaan yang telah dianalisis sebelumnya
2. Observasi perilaku oleh asesor
harus diklasifikasikan dalam katagori-katagori yang relevan seperti berdasarkan
dimensi-dimensi, karakteristik, sikap, kualitas, keterampilan, pengetahuan dan
tugas-tugas.
3. Teknik
yang digunakan harus didisain untuk menyediakan informasi untuk mengevaluasi
dimensi-dimensi yang sebelumnya ditentukan oleh analisis pekerjaan
4. Teknik
asesmen multiple yang harus dipakai meliputi tes, wawancara, kuesioner,
alat-alat sosiometrik dan simulasi
5. Teknik
asesmen harus mencakup sejumlah simulasi yang berhubungan dengan pekerjaan yang
mencukupi untuk memungkinkan penilai multipel mempunyai peluang untuk
mengobservasi setiap dimensi perilaku asesi
6. Setiap
asesi harus dinilai oleh multipel asesor. Rasio asesor dan asesi adalah 2:1 dan
supervisor asesi tidak boleh menjadi asesor
7. Asesor
harus mendapatkan pelatihan dan memahami proses dan pedoman asesmen center.
8. Sejumlah
prosedur sistematik harus digunakan oleh asesor untuk merekam secara akurat
perilaku asesi yang muncul. Prosedur ini antara lain catatan tertulis, skala
observasi perilaku dan checklist perilaku
9. Para
asesor harus mempersiapkan sejumlah laporan atau rekaman observasi untuk
diskusi integrasi
10. Integrasi
perilaku-perilaku asesi harus berdasarkan pooling informasi dari para asesor
atau melalui proses integrasi statistik yang divalidasi menurut standar yang
diterima secara profesional.
Referensi
Jusuf Irianto. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia
Sektor Publik di Indonesia: Pengantar Pengembangan Model MSDM Sektor Publik.
Volume 24, Nomer 4.
M. Syamsul Maarif dan Hendri Tanjung, 2003.
Manajemen Operasi. PT Grasindo Jakarta
Mangkuprawira, Sjafri. 2004. Manajemen Sumberdaya Manusia Strategik.
Galia Indonesia. Bogor.
Mathis RL and Jackson JH (2008) Human Resource Management, 12th
edition. Mason, Ohio: Thomson South Western.
Nugraha, Safri. 2002. Privatisasi di Berbagai Negara; Pengantar
untuk Memahami Privatisasi.
Wirawan. 2009. Evaluasi kinerja Sumberdaya manusia. Penerbit
Salemba Empat. Jakarta.
http://menonthenet.blogspot.com diakses 10 April 2015
https://amirtengku.wordpress.com/ diakses 10 april 2015
http://www.jatengprov.go.id/id/
diakses 11 April 2015
http://www.bkn.go.id/
diakses 11 April 2015
[3]
M. Syamsul Maarif dan Hendri Tanjung, 2003. Manajemen Operasi. Hal 290
[4] http://menonthenet.blogspot.com/2013/03/optimalisasi-kinerja-sdm-dalam.html diakses 10 April 2015
[5]
http://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2014/05/Materi-BookLet-untuk-Puspenkom-ASN-BKN.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar