Oleh: Kang Maul
Definisi: Hybrid contract
adalah suatu kontrak yang menghimpun beberapa kontrak dalam satu kontrak. Al-“Imrani
dalam buku Al-Ukud
al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikannya “Kesepakatan dua pihak
untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual
beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran
mata uang), syirkah, mudharabah.– sehingga semua akibat hukum akad-akad tersebut,
serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
1. Kenapa
Akad Hybrid dibolehkan?
Alasan
pertama adalah karena DSN MUI selaku otoritas ulama di Indonesia membolehkan. Ada
3 hadits yang dengan jelas melarang transaksi seperti ini (ada dibawah), namun
menurut Agustianto salah satu anggota DSN MUI di blognya menuliskan bahwa larangan
itu hanya berlaku kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama,
walaupun redaksinya berbeda. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal
dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak
ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd
al-Mâliyah al-Murakkabah).
Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan
riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain,
karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula
menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi Menurut Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah al-Muqaran
mengatakan “Tidak ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam
satu transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk memenuhi (wafa) syarat-syarat dan
akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad adalah boleh.
2.
Apakah Hybrid Contract Bisa Jatuh Dalam 2 Akad Dalam 1 Transaksi yang Dilarang?
Kontroversi
tentang akad hybrid ada beberapa hadits yang dngan jelas melarangnya yaitu: “Rasulullah
Saw melarang dua akad dalam satu transaksi[1].
Hadist ini jelas bertentangan dengan pendapat Aliudin Za’tary diatas. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal dua syarat yang ada dalam jual beli”. (HR Abu Dawud
dan Tirmidzi). Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Mughni berkata, “Dilarang dua
syarat dalam satu akad jual beli”.
Menurut hemat penulis, Praktek hybrid Contract lebih didorong oleh perkembangan teknologi
informasi dan semangat inovasi dalam produk keuangan syariah. Dan hal itu
sangat rentan untuk bisa jatuh ke dalam praktek yang dilarang seperti praktek
jual beli istghlol dan tawarruq. Dan inovasi ini terus berkembang. Namun idealnya
dasar pengembangan inovasi tersebut bukan hanya sekedar mencari akad yang
sesuai dengan praktek perbakan umum, merubah nama kontrak konvensional dengan
akad berbahasa arab, atau hanya sekedar menghindari produk yang haram namun
bila prakteknya cenderung lebih dekat ke arah ghoror, tidak jelas transaksinya
dan membuka peluang prilaku tadlis maka ia harus tegas dikatakan sebagai haram,
dengan mengacu pada asas kehat-hatian saddu dzari’ah. Apalagi dalam
hybrid kontrak akibat hokum dari akad-kad berbeda yang disatukan itu menjadi
satu kesatuan.
3. Contoh
2 Akad Dalam 1 Transaski yang jelas Dilarang.
Kasus pertama yang dilarang, adalah menggabungkan akad qardh
dengan jual beli sesuai dengan sabda Nabi Saw tentang hal tersebut.
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad)
Kasus
Kedua, bai’al-‘inah, Pendapat
ini dikutip dari pandangan Ibnu Qayyim yang menyatakan, bahwa dari 14
penafsiran terhadap hadits bai’atain fi bai’atin (dua akad dalam satu
transaksi), penafsiran yang paling shahih adalah bai’ al-‘inah tersebut. Berdasarkan Imam Malik dalam kitabnya
Al-Muwaththa’ berkata, “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, ia telah
mendapat kabar bahwa Rasulullah Saw melarang dua jual
beli dalam satu transaksi.).[2]
Kasus
ketiga yang dilarang, adalah penjual menawarkan
dua harga atau beberapa harga kepada pembeli, misalnya, harga barang jika
kontan Rp 10 juta, jika cicilan Rp 12 juta, kemudian pembeli menerima
(mengucapkan qabul), tanpa terlebih dahulu memilih salah satu harganya, Bentuk
jual beli ini dilarang karena tidak jelas harganya (gharar).
[1] (Muslim
3/1565, Nasa’i 7/4674, Ibnu Majah 2/2477)
[2] (Shahih, HR Tirmidzi No. 1231, Nasa’i No.
4632, Ahmad No. 9582 (2/432), Ibnu Hibban No. 4973 (11/347) dan Al-Baihaqi No.
10.660 (5/343
Agustiantocenter.com
Nevi Hasnita, M. Ag, Konsep dan Bentuk Multi Akad (Hybrid Contract) dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) diakses 6 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar